Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/92

e-Konsel edisi 92 (1-8-2005)

Kejenuhan dalam Pernikahan


><>                 Edisi (092) -- 01 Agustus 2005                <><

                               e-KONSEL
*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
        Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*

Daftar Isi:
    - Pengantar            : Gambaran Masa Kecil tentang Pernikahan
    - Cakrawala            : Perasaan Hambar terhadap Orang yang
                             Terdekat
    - TELAGA               : Kejenuhan dalam Pernikahan
    - Stop Press           : Pembukaan Kursus Kelas Virtual Pesta
    - Tanya Jawab Konseling: Pernikahan Dingin

*REDAKSI -*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*- REDAKSI*

                    -*- PENGANTAR DARI REDAKSI -*-

  Ingatkah Anda, ketika masih kecil kita sering membaca dongeng-
  dongeng yang berakhir dengan "happy end", yaitu sang putri yang
  akhirnya menemukan cintanya, lalu menikah dan hidup bahagia selama-
  lamanya bersama sang pangeran. Sungguh gambaran yang sangat indah
  tentang pernikahan yang didasari oleh keagungan cinta. Pernikahan
  digambarkan sebagai akhir hidup yang bahagia, selama-lamanya!
  Benarkah demikian? Setelah menjadi dewasa, kita mulai melihat hal-
  hal yang berbeda, tidak seperti kisah indah dalam dongeng-dongeng
  tersebut. Banyak pernikahan yang ternyata kandas, dan gambaran masa
  kecil kita tentang "pernikahan yang bahagia selama-lamanya" menjadi
  semakin kabur. Bahkan, berita perceraian pun sekarang sudah bukan
  lagi hal yang mengejutkan.

  Pernikahan ternyata bukanlah sebuah akhir, melainkan justru
  merupakan sebuah awal babak baru yang berbeda dari masa pacaran.
  Dalam perjalanannya, pernikahan, pada kenyataannya banyak menemui
  masalah. Salah satunya adalah masalah kejenuhan. Ya, kejenuhan
  nampaknya tidak terlihat seperti sebuah masalah besar yang
  membahayakan. Namun pada kenyataannya, kejenuhan seringkali menjadi
  pemicu awal keretakan sebuah rumah tangga. Edisi e-Konsel kali ini
  akan mengangkat tema Kejenuhan dalam Pernikahan agar para pembaca
  e-Konsel dapat terus waspada jika ancaman kejenuhan mulai datang
  dalam pernikahan Anda. Bagi pasangan-pasangan yang saat ini sedang
  mengalaminya, kami harap sajikan kami dapat menjadi inspirasi untuk
  menemukan solusi yang tepat bagi masalah Anda. Selamat membaca dan
  merenungkan! (Sil)

  Redaksi


*CAKRAWALA *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* CAKRAWALA*

         -*- PERASAAN HAMBAR TERHADAP ORANG YANG TERDEKAT -*-

  "Ah, kalau saja perasaan manusia tidak berubah-ubah ...." Keluhan
  dengan berbagai kemungkinan ini seringkali muncul dalam percakapan-
  percakapan pribadi. Rupanya, dibalik keluhan ini ada jeritan
  penyesalan dan ketidakberdayaan dari individu-individu yang
  mendambakan kebahagiaan. Sekarang mereka memelihara hidup dengan
  perasaan tidak berdaya. Apa yang indah dan membahagiakan di masa
  lampau, sekarang hanya tersisa, dalam bentuk serpihan kenangan. Masa
  lampau sudah lewat, sejarah tak dapat diulang lagi, dan kesempatan
  sudah semakin pudar.

  Kasus: Rini pernah mengecap apa yang ia dambakan sebagai kebahagiaan
  keluarga. Tahun-tahun pertama pernikahannya dengan Arif diisi dengan
  banyak kebersamaan yang sangat dinikmati. Ke mana-mana mereka selalu
  berdua dan dalam segala hal Arif selalu terbuka, bercerita, dan
  berdiskusi dengannya.

  Sekarang semua itu sudah tidak ada lagi. Hubungan dengan Arif sudah
  menjadi sangat hambar. Rini menyibukkan diri dengan anak-anak dan
  urusan di rumah, sedangkan Arif sibuk meniti karir. Keduanya hidup
  dalam dunianya sendiri-sendiri. Terus terang Rini merasa bosan dan
  lelah dengan jerat kehidupan keluarga yang seperti ini. Ia kecewa
  dengan Arif yang dirasanya sangat egois dan gampang marah. Ia merasa
  terhina jikalau Arif mengatakan dirinya goblok dan tidak tahu apa-
  apa.

  Memang Arif pernah mengeluh tentang Rini. Bagi Arif, Rini seperti
  katak di bawah tempurung, tahunya hanya urusan dapur. Ia malu kalau
  mengajak Rini ke pertemuan dengan rekan-rekan bisnisnya. Perasaannya
  terhadap Rini sudah berubah.

  Kasus di atas sebenarnya merupakan kasus yang polanya hampir selalu
  hadir dalam setiap keluarga, yaitu "perubahan perasaan yang tidak
  pernah diantisipasi." Sebagai konselor, seharusnya kita waspada
  bahwa 90% pernikahan membawa benih masalah yang siap untuk
  berkembang dan benar-benar akan menjadi masalah yang serius di
  kemudian hari. Memang, setiap pernikahan harus dikerjakan, atau
  pasangan akan menghadapi konsekuensi logisnya, yaitu perubahan
  perasaan yang menjadi penyebab segala macam masalah keluarga.

  Perubahan perasaan? Apakah itu dan bagaimanakah menghadapinya?
  Menurut ilmu faal, perasaan terjadi karena ada stimulus yang
  dialami. Stimulus (bisa bentuknya kebutuhan yang ingin dipenuhi)
  tersebut merangsang Hypothalamus di otak, yang kemudian menstimulir
  susunan syaraf sympatis, dan susunan syaraf sympatis tersebut
  menstimulir kelenjar adrenal untuk melepaskan cairan kimiawi
  epinephrine yang menghasilkan perasaan takut atau sedih, atau
  norepinephrine yang menghasilkan perasaan marah atau gairah
  (McKeachi and Doyle, "Psychology," NY.: Addison-Wesley, 1966,
  p.233). Begitulah terjadinya perasaan dan setiap individu mempunyai
  keunikannya masing-masing. Kadang-kadang ada individu yang entah
  mengapa, pada saat menghadapi pengalaman yang tidak menyenangkan,
  kelenjar adrenalnya melepaskan epinephrine secara berlebihan
  sehingga ia menjadi pemurung, berpikiran negatif, bahkan depresif.
  Atau sebaliknya, ada individu yang jika mendapat perlakuan ramah
  sedikit saja sudah menjadi sangat bahagia karena adrenal melepaskan
  norepinephrine secara berlimpah-limpah.

  Keunikan kerja bagian-bagian tubuh manusia merupakan bagian integral
  dari keunikan kepribadiannya. Untunglah 60-70% manusia berada dalam
  kategori normal. Artinya, meskipun masing-masing mempunyai keunikan
  kepribadian dengan traitsnya, mereka semua dapat belajar dan
  beradaptasi. Mereka menyadari dan dapat mengontrol perasaan, pikiran
  dan tingkah lakunya, bahkan mereka mampu (kalau mau) mengarahkannya
  kepada hal-hal yang positif dan membangun.

  Sekarang, apa yang terjadi dengan Rini dan Arif dan bagaimanakah
  caranya untuk menolong mereka?

  PERTAMA, kalau mereka berdua adalah pribadi-pribadi yang normal
  (artinya tidak mempunyai kelainan-kelainan) dan tidak ada persoalan
  yang serius (misalnya kehadiran "PIL" atau "WIL"), maka perubahan
  perasaan terjadi oleh karena mereka terjebak dalam "sistem mandeg"
  yang memaksa mereka memainkan peran yang keliru dan yang itu-itu
  saja tanpa kekuatan untuk merubah dan memperbaharuinya.

  Hidup manusia memang naturnya mesti terus berubah. Mungkin Rini dan
  Arif memasuki pernikahan tanpa persiapan yang matang untuk
  mengantisipasi perubahan. Sama seperti mungkin lebih dari 90%
  pasangan yang lain, mereka memasuki dan kemudian menghidupi
  pernikahan secara alami, persis seperti daun kering yang ikut arus
  sungai saja. Apa yang mereka lakukan hanyalah menjalankan hidup
  selayaknya (kerja atau menyelesaikan tugas-tugas rutin rumah tangga)
  dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul secara alami
  subjektif juga. Akibatnya, mereka terjebak dalam "sistem mandeg".

  Sistem memang merupakan "subtle enemy" atau musuh dalam selimut yang
  selalu menjadi penyebab utama kegagalan hidup pernikahan. Mula-mula
  "sistem mandeg" tersebut terjadi karena masing-masing pribadi tidak
  kreatif dan rela menghidupi pernikahan sebagai rutinitas saja.
  Kemudian mereka menghadapi realita hidup yang rutin dan itu-itu
  saja, dan central nervous system di otak manusia bereaksi dalam
  bentuk menghadirkan perasaan flat, tanpa gairah, serta bosan.
  Setelah itu mulailah muncul perubahan sikap dari individu-individu
  tersebut. Mungkin Rini cenderung menyerah dengan cara meneruskan
  rutinitas mengasuh anak dan menyelesaikan tugas rumah tangga yang
  tak ada habisnya. Bahkan, mungkin ia belajar menimba kenikmatan
  dalam rutinitas tersebut sehingga tidak memperjuangkan perubahan
  sistem. Tanpa sengaja dan tanpa sadar, ia sudah menghadirkan dirinya
  sebagai pribadi yang kurang membutuhkan Arif dan makin lama makin
  tidak mempedulikan kebutuhan suami (karena antara lain kebutuhan
  emosinya sudah terpuaskan dengan anak-anak). Pihak lain, Arif juga
  begitu. Ia tidak melawan dan berupaya mengatasi perubahan perasaan
  terhadap Rini. Kebosanan dan kegelisahannya pada saat di rumah
  diatasi dengan menguatkan fokus perhatian di luar dan pada karirnya.
  Akibatnya, setiap kali mereka bertemu di rumah, mereka terjebak
  dalam "sistem mandeg" yang memaksa mereka memainkan peran yang itu-
  itu saja.

  Menghadapi kasus "sistem mandeg" ini konselor harus menolong
  menyadarkan dan mengenali apa yang sudah dan sedang terjadi dalam
  kehidupan mereka. Kemudian, menolong masing-masing menemukan
  keunikan diri sendiri, mengapa mereka bereaksi begitu untuk kondisi
  dan realita yang ada. Setelah itu barulah konselor menolong mereka
  menemukan strategi yang dapat memecah dan mengubah sistem hidup
  pernikahan mereka, dari yang "mandeg" menjadi sistem yang
  menstimulir kreativitas dan produktivitas masing-masing. Konselor
  harus terus menerus bertanya, langkah-langkah perubahan apa yang
  akan mereka lakukan dan mengapa begitu? Apa yang akan mereka lakukan
  jikalau proses perubahan sistem tidak lancar dan menghadapi
  halangan-halangan?

  KEDUA, konselor perlu waspada bahwa perubahan perasaan dalam kasus
  Rini dan Arif juga terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus. Di
  tengah sistem yang "mandeg" timbul perasaan gelisah dan kemudian
  ketidakpuasan yang memicu kepekaan terhadap pasangan. Itulah yang
  terjadi, sehingga ada peristiwa-peristiwa dimana masing-masing
  individu saling melukai. Arif menyebut Rini seperti katak di bawah
  tempurung, goblok, dan bisanya cuma urusan dapur, dan Rini menilai
  Arif sebagai satu pribadi egois yang tidak dapat diajak bicara,
  sehingga komunikasi dengannya tidak lagi dirindukan.

  Menghadapi kondisi seperti ini, konselor harus dapat menolong mereka
  menyadari apa yang sudah terjadi dalam diri mereka masing-masing,
  dan bagaimana mereka sudah terjebak dan "cenderung selalu memakai
  kacamata tertentu" dalam mendengar, menilai, dan menyikapi
  pasangannya. Konselor harus waspada bahwa "tanpa Rini dan Arif"
  mempunyai pengalaman-pengalaman baru yang positif, mereka tidak akan
  mampu melepas dan mengganti kacamata "buruk" yang mereka pakai. Oleh
  sebab itu, setelah mereka sadar diri atau memiliki "self-aware",
  mereka harus ditolong untuk menemukan konteks-konteks perjumpaan
  yang baru yang dapat mereka pakai untuk masing-masing dapat
  memainkan peran-peran yang baru pula. Misalnya, adanya waktu
  berduaan untuk "fun" atau bersenang-senang (keluar makan malam,
  nonton film, atau apa saja kegiatan tanpa beban rutin masing-
  masing). Atau, meminta mereka sendiri menentukan apa yang akan
  mereka lakukan untuk "break the system" atau memecah kebekuan sistem
  di rumah, misalnya dengan membuat kebiasaan-kebiasaan baru seperti
  misalnya, makan malam selalu bersama sambil membicarakan firman
  Tuhan kemudian saling mendoakan dengan jujur di hadapan Tuhan.

  Perubahan perasaan, dari cinta menjadi hambar, adalah gejala umum
  yang terjadi pada hampir semua pernikahan. Meskipun demikian,
  sebagai anak-anak Tuhan, kita semua terpanggil untuk mewaspadai dan
  mengatasinya. Mulailah dengan langkah kesadaran diri, barulah
  setelah itu menyusun strategi untuk membangun kehidupan pernikahan
  dengan sistem baru yang lebih produktif. Dengan pertolongan Tuhan
  dan kerelaan memulai cara hidup yang baru pernikahan dapat
  diselamatkan dan nama Tuhan dipermuliakan.

-*- Sumber diambil dari: -*-
  Judul Buletin: Parakaleo (Edisi April - Juni 2003, Vol. X/2)
  Penulis      : Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D.
  Penerbit     : STTRII, Jakarta, 2003
  Halaman      : 1 - 2


*TELAGA *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* TELAGA*

  Perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, Ph.D. berikut ini akan
  mengupas masalah kejenuhan yang biasa terjadi dalam suatu
  pernikahan. Silakan pembaca menyimaknya dan semoga dari ringkasan
  tanya jawab ini, Anda mendapat berkat.

                  -*- KEJENUHAN DALAM PERNIKAHAN -*-

  T : Faktor-faktor apakah yang menyebabkan timbulnya perasaan bosan
      atau jemu itu?

  J : Kita ini manusia yang memang mempunyai daya tarik atau daya
      ketertarikan yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua
      hal yang telah kita miliki dan nikmati untuk suatu periode
      tertentu akan kehilangan daya tariknya. Misalnya, kita mencintai
      istri kita karena dia cantik, kita mencintai pria ini karena
      kegantengan dan kelembutannya. Lama-kelamaan, semua itu
      berubah menjadi sesuatu yang biasa, memang itu adalah kodrat
      manusiawi. Sesuatu yang baru cenderung mempunyai daya tarik yang
      lebih kuat dan kalau sudah terbiasa daya tarik itu akan mulai
      menghilang pula. Adakalanya, hal-hal yang sama, yang terus-
      menerus kita lakukan akan membuat kita jenuh dalam pernikahan
      tersebut. Tapi sebetulnya, ada hal-hal yang bisa kita lakukan
      untuk menghindarkan kejenuhan tersebut. Misalnya, hubungan yang
      saling mengisi, menyuburkan, menggairahkan, seharusnya
      mengimbangi kecenderungan kita untuk merasa jenuh. Jadi, dengan
      kata lain, pernikahan itu seperti suatu keseimbangan, suatu
      equilibrium dimana harus ada keseimbangan antara dua faktor itu.
      Di satu pihak, memang kecenderungan manusia secara kodrati
      adalah untuk merasa bosan. Dengan cara itulah pernikahan kita
      akan langgeng.
------
  T : Kebosanan itu terkait erat dengan emosi dan perasaan kita,
      apakah kalau timbul kebosanan lalu ada perasaan lain yang
      sebenarnya mengatakan jangan-jangan kita ini tidak mencintai
      pasangan kita lagi?

  J : Dugaan itu acapkali muncul, kita cenderung beranggapan bahwa
      pasangan kita itu sudah berubah, tidak lagi seperti dulu,
      cintanya kepada kita mulai berkurang. Jadi, pada dasarnya
      pernikahan itu memang perlu dipupuk agar kuat, supaya kita yang
      menjadi insan nikah itu merasakan keamanan. Rasa tidak aman
      cenderung membuat kita berpikir apakah dia masih mencintai kita
      atau tidak. Tapi rasa aman tidak menggugah kita untuk
      mempertanyakan hal-hal seperti itu. Rasa aman merupakan sesuatu
      yang perlu ditanam dan dipupuk dalam pernikahan. Otomatis ini
      berkaitan dengan perasaan dicintai. Ada orang yang beranggapan
      sekali mencintai, akan selama-lamanya mencintai. Sekali dicintai
      selama-lamanya akan dicintai, ini harapan pada pasangan kita.
      Kenyataannya tidaklah demikian, cinta itu bisa padam, kita bisa
      kurang mencintai dan kebalikannya pasangan kita bisa kurang
      mencintai kita pula.
------
  T : Hal apa yang bisa kita lakukan untuk memupuk hubungan pernikahan
      supaya kebosanan itu jangan menjadi-jadi atau menguasai
      kehidupan kita?

  J : Kita perlu membangun suatu hubungan yang saling mengisi. Kita
      ibaratkan saja bahwa kita ini seperti wadah kosong yang perlu
      diisi. Sebetulnya, kita datang ke pernikahan dengan harapan
      pasangan kita akan mengisi kita. Meskipun kita orang yang
      mandiri, orang yang sudah sehat tetapi tetap terbersit harapan
      bahwa pasangan kita akan mengisi kita. Kita mengharapkan,
      PERTAMA, pasangan kita bisa mengerti kita. Kita adalah orang
      yang sangat butuh pengertian, supaya kita merasakan hidup ini
      masuk akal. Kalau kita hidup di tengah-tengah orang yang tidak
      bisa mengerti kita, kita merasakan hidup ini tidak masuk akal.
      KEDUA, kita akan merasa sendiri atau sepi kalau tidak ada yang
      bisa benar-benar memahami kita. Salah satu hal mendasar yang
      kita harapkan dari pasangan kita adalah dimengerti. Adakalanya,
      problem belum bisa selesai pada hari yang sama, tapi kalau kita
      merasakan bahwa pasangan kita sudah mengerti yang ingin kita
      sampaikan atau kemukakan, sebetulnya kita merasa lebih lega.
      Jadi, kebutuhan untuk dimengerti itu penting sekali, ini adalah
      salah satu dari sejumlah kebutuhan-kebutuhan yang lainnya.
      Mengisi artinya adalah mengisi kebutuhan yang mendasar, misalnya
      merasakan kita ini berharga, dicintai, dan diperhatikan. Jadi,
      sebetulnya pernikahan yang bisa terhindar dari kejenuhan adalah
      pernikahan yang saling mengisi.
------
  T : Apakah mungkin yang dibutuhkan adalah kreativitas dari suami
      istri itu supaya pasangannya tidak bosan?

  J : Betul, pernikahan adalah sesuatu yang mempunyai dua sisi yang
      kelihatannya paradoks. Kita menikah karena pernikahan itu
      memenuhi kodrat kita sebagai manusia sosial, kita menginginkan
      kedekatan, keintiman itu sebabnya kita menikah. Pernikahan
      memberikan wadah untuk terpenuhinya kebutuhan keintiman
      tersebut. Di pihak lain, sebetulnya pernikahan itu mempunyai
      sisi yang berlawanan dengan kodrat kita, yaitu kita ini memang
      orang yang tidak tahan lama dengan sesuatu yang sama, sejak
      kecil kita terbiasa hidup dengan yang baru. Mainan lama yang
      tidak kita sukai akan kita singkirkan, kita minta dibelikan
      mainan yang baru. Sekarang kita menikah dengan orang yang kita
      cintai, tapi lama-kelamaan mulai ada problem, ada konflik. Cinta
      itu tidak lagi segemerlap sebelumnya, kejenuhan mulai muncul.
      Kita tidak bisa mengatakan, "Aku sudah bosan, aku hendak
      melepaskan engkau dan mencari yang baru." Itu bertentangan
      dengan yang Tuhan minta, tapi sesungguhnya kita harus mengakui
      itu dalam sifat manusiawi kita. Jadi, pernikahan memang
      mempunyai sisi atau aspek yang paradoks dan kita harus bekerja
      keras untuk mempertahankannya dan melawan sifat manusiawi kita
      itu. Agar kita bisa mengatasi sifat manusiawi kita yang
      cenderung jenuh, kita harus kreatif dan yang namanya kreatif
      tidak memerlukan kreativitas yang sangat tinggi. Kita bisa
      melakukannya dengan berjalan-jalan berdua, pergi belanja berdua,
      itu sesuatu yang bisa dilakukan oleh semua orang.
------
  T : Apa tanda-tanda yang lazimnya muncul ketika kebosanan datang?

  J : Salah satu tanda adalah kita cepat merasa terganggu dengan
      pasangan kita, misalnya ketika ditanya oleh pasangan kita
      mengapa pulang terlambat, kita merasa terganggu, jengkel, dan
      marah. Itu merupakan suatu tanda bahwa kita ini bosan atau tidak
      lagi menikmati hubungan ini, mulai merasa jenuh atau jemu dengan
      kita, tidak ada lagi yang menarik tentang kita seperti dulu atau
      mungkin masih ada tetapi sudah sangat berkurang.
------
  T : Biasanya, kita tidak mau mengakui bahwa kita itu sedang bosan.
      Kalaupun seandainya pasangan kita menanyakan secara terbuka,
      walau kita sedang bosan, kita sulit mengatakannya, takut dia
      tersinggung. Bagaimana pemecahannya?

  J : Sebaiknya kita tidak menggunakan kata bosan, kita langsung masuk
      kepada problemnya. Sebab kejenuhan identik dengan problem, ada
      hal-hal yang tidak kita sukai, sebetulnya itu intinya. Jadi,
      langsung saja soroti pada problemnya, apa yang kita harapkan
      yang tidak terpenuhi, problem apa yang belum terselesaikan dalam
      hubungan kita ini, apa yang tidak kita sukai tentang dirinya
      yang terus-menerus harus kita terima, hal-hal itu langsung harus
      kita bicarakan. Jadi selesaikan masalahnya, bukan kebosanannya.
------
  T : Di dalam kebosanan yang mulai timbul, biasanya mudah sekali
      orang ketiga masuk ke sana. Bagaimana hal itu bisa diatasi oleh
      pasangan suami istri, yang salah satu mungkin atau bahkan dua-
      duanya, sedang dilanda oleh kebosanan?

  J : Mengutip satu bagian firman Tuhan yang mungkin bisa menjadi
      kesimpulannya juga, yaitu cerita tentang pencobaan Tuhan Yesus
      di padang gurun. Dikatakan oleh si pencoba atau Iblis kepada
      Tuhan kita, dicatat di Matius 4:3, "Jika Engkau Anak Allah,
      perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti." Tetapi
      Yesus menjawab, "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti
      saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah."
      Yesus Tuhan kita sudah tentu dalam problem yang besar, yaitu
      tidak makan setelah 40 hari 40 malam berpuasa. Jalan pintas yang
      tercepat adalah memerintahkan atau mengubah batu menjadi roti,
      dan Ia mampu melakukannya. Tapi Tuhan Yesus di sini memberikan
      suatu jalan keluar yang lebih panjang tidak sepintas seperti
      tadi itu, yakni mempercayakan problem hidup ini, kesulitan hidup
      ini kepada Tuhan. Sebab yang lebih penting daripada jalan pintas
      ini adalah mentaati perintah Tuhan itu sendiri. Maka, Dia
      mengatakan bahwa yang lebih penting adalah setiap firman yang
      keluar dari mulut Allah sendiri. Bagi siapa yang sedang
      mengalami kejenuhan, kebosanan, godaan untuk mencicipi yang
      lebih besar di luar, luar biasa besarnya dan itu jalan pintas
      yang akan mengobati kejenuhan kita, akan menyemarakkan kehidupan
      kita, tapi masalahnya itu tidak keluar dari mulut Allah, itu
      keluar dari mulut si Iblis. Nasihat dari Tuhan adalah
      pentingkanlah yang keluar dari mulut Allah, memang jalannya
      lebih pintas tapi itu keluar dari mulut si Iblis. Jalan Allah
      mungkin lebih panjang tapi keluar dari mulut Allah sendiri.

-*- Sumber: -*-
[[Sajian di atas, kami ambil/edit dari isi kaset TELAGA No. #036A
  yang telah diringkas/disajikan dalam bentuk tulisan.
  ==> http://www.telaga.org/transkrip.php?kejenuhan_dalam_pernikahan.htm
  --  Jika Anda ingin mendapatkan transkrip lengkap kaset ini lewat
      e-Mail, silakan kirim surat ke: < owner-i-kan-konsel(at)xc.org>
                                atau: < TELAGA(at)sabda.org >       ]]


*STOP PRESS *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* STOP PRESS*

             -*- PEMBUKAAN KURSUS KELAS VIRTUAL PESTA -*-

  Kabar Gembira!

  Bagi Anda yang ingin mengikuti KURSUS KELAS VIRTUAL -- PESTA
  (Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam), mulai bulan Agustus ini
  YLSA membuka pendaftaran baru periode Agustus - September 2005.

  Dengan dibukanya Kursus Kelas Virtual PESTA, maka sekarang peserta
  PESTA tidak hanya dapat mengambil bahan Kursus, tapi juga bisa
  belajar bersama-sama dengan rekan-rekan lain dalam satu kelas
  diskusi dengan didampingi oleh seorang Moderator (hanya sebagai
  fasilitator) melalui sistem Milis (Mailing List - email).

  Kursus perdana yang akan dibuka adalah: KEHIDUPAN RASUL PAULUS --
  (KRP). Kursus KRP ini terdiri dari 6 pelajaran, dan berlangsung
  selama 2 bulan, untuk mempelajari tentang latar belakang dan
  kehidupan Rasul Paulus. Pendaftaran peserta dimulai pada 1 Agustus
  dan akan ditutup 15 Agustus 2005 (atau kalau jumlah peserta 30 orang
  sudah terpenuhi). Biaya: Gratis.

  Syarat-syarat menjadi peserta Kelas Virtual PESTA:
  1. Mengisi Formulir Pendaftaran Kelas Virtual PESTA (tersedia di:
     ==>  http://www.pesta.org//formulir.php?jenis=kelas).
  2. Memiliki akses ke internet (minimal seminggu 3 kali).
  3. Belum pernah mengikuti pendidikan teologia formal (STT).
  4. Mengerjakan tugas menjawab semua pertanyaan dalam pelajaran yang
     diberikan.
  5. Berpartisipasi dalam diskusi secara aktif dan positif (taat pada
     peraturan diskusi).
  6. Memiliki sikap sportif dan keterbukaan untuk belajar.
  7. Mempunyai ketekunan untuk mengikutinya sampai akhir pelajaran.

  Jika Anda tertarik untuk mengikutinya, silakan mengisi Formulir
  Pendaftaran di:
  ==>      http://www.pesta.org//formulir.php?jenis=kelas
  atau menulis ke:
  ==>      < staf-PESTA(at)sabda.org >

  Nah, tunggu apalagi? Segera daftarkan diri Anda!


*TANYA JAWAB*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*--*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*KONSELING*

                       -*- PERNIKAHAN DINGIN -*-

  Setelah menjalani kehidupan pernikahan selama beberapa tahun, banyak
  pasangan suami istri yang mengeluh pernikahannya sudah tidak seindah
  dan sehangat pada masa-masa pacaran. Keluhan ini sangat wajar dan
  manusiawi. Lalu, bagaimana kita mengurai masalah ini agar tidak
  berlarut-larut? Simak saja tanya jawab dari seorang ibu berikut ini!

  T : Saya seorang ibu rumah tangga. Kami sudah menikah selama 2 tahun
      dan dikaruniai seorang putri. Pernikahan kami berjalan cukup
      lancar. Tidak banyak konflik yang terjadi dan kalaupun ada,
      dapat kami atasi dengan baik. Tetapi akhir-akhir ini saya
      merasakan pernikahan kami tidak sehangat ketika masa pacaran
      dulu. Saya tidak lagi sepenuhnya dapat menikmati kehidupan
      keluarga kami. Bukankah Tuhan mempersatukan kami untuk dapat
      menikmatinya? Kadangkala saya mulai berpikir apakah perpisahan
      dapat menolong kami untuk mengatasi keadaan ini?

  J : Kehidupan rumah tangga memang jauh berbeda dengan kehidupan masa
      pacaran. Selama masa pacaran kita tidak terlalu dituntut untuk
      bertanggung jawab, waktu bertemu pun terbatas. Tidak heran
      setiap pertemuan penuh dengan bunga dan kemesraan. Berbeda
      dengan kehidupan rumah tangga yang sarat dengan tugas dan
      tanggung jawab, sehingga suami istri seringkali terjebak pada
      rutinitas dan kejenuhan. Diperlukan motivasi, komitmen, dan
      usaha yang keras dari suami istri untuk memelihara dan
      meningkatkan kemesraan dan kehangatan hubungan yang telah
      terbina selama masa pacaran. Yang jelas, perpisahan bukanlah
      solusi untuk masalah ini. Selain sangat dibenci oleh Tuhan,
      perpisahan akan meninggalkan luka yang dalam pada kedua belah
      pihak, anak-anak dan keluarga besar.

      Ketika sepasang mempelai mengikatkan diri dengan janji
      pernikahan, mereka meyakini bahwa Tuhan yang telah mempersatukan
      mereka, sampai maut memisahkan mereka. Karena itu, suami istri
      perlu memiliki waktu untuk bersekutu bersama setiap hari, baik
      dalam doa maupun pembacaan Firman Tuhan. Melalui waktu
      persekutuan seperti ini, baik suami maupun istri dibangun secara
      rohani untuk mengatasi setiap persoalan yang mereka hadapi.

      Langkah praktis lain yang dapat dilakukan adalah dengan
      menyediakan waktu khusus untuk membina hubungan pribadi di
      antara suami dan istri. Kesibukan pekerjaan, pelayanan, dan
      rumah tangga seringkali menyebabkan komunikasi menjadi renggang.
      Apalagi jika suami dan istri sama-sama terikat pada pekerjaan
      penuh waktu. Selain komunikasi suami istri, diperlukan juga
      waktu untuk berkencan yang bebas dari gangguan pihak lain
      termasuk anak-anak. Pergantian suasana akan sangat membantu
      dalam mendapatkan romantisme yang lebih daripada yang didapatkan
      selama masa pacaran. Nikmatilah bulan madu kedua, ketiga, dan
      seterusnya untuk bisa mendapatkan kembali kehangatan bersama
      suami.

-*- Sumber diedit dari: -*-
  Judul Majalah : GetLife! (Edisi: #03/2004)
  Judul Artikel : Pernikahan Dingin
  Penjawab      : Daniel & Lidya Kurnia
  Penerbit      : Yayasan Pelita Indonesia, Bandung, 2004
  Halaman       : 42 - 43


e-KONSEL*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*e-KONSEL

                        STAF REDAKSI e-Konsel
                         Ratri, Evie, Silvie
                    PENANGGUNG JAWAB ISI dan TEKNIS
                         Yayasan Lembaga SABDA
                     INFRASTRUKTUR dan DISTRIBUTOR
                         Sistem Network I-KAN
                      Copyright(c) 2005 oleh YLSA
                      http://www.sabda.org/ylsa/
                    http://www.sabda.org/katalog/
                    Rekening: BCA Pasar Legi Solo
                 No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati

*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
Anda punya masalah atau perlu konseling? <masalah-konsel(at)sabda.org>
Informasi/artikel/bahan/sumber konseling/surat/saran/pertanyaan/dll.
dapat dikirimkan ke alamat:             <owner-i-kan-konsel(at)xc.org>
*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
Berlangganan: Kirim e-mail kosong ke: subscribe-i-kan-konsel(at)xc.org
Berhenti:     Kirim e-mail kosong:  unsubscribe-i-kan-konsel(at)xc.org
Sistem lyris: http://hub.xc.org/scripts/lyris.pl?enter=i-kan-konsel
ARSIP publikasi e-Konsel:  http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/
*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org