Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/43

e-Konsel edisi 43 (1-7-2003)

Menghindari Perceraian

><>                  Edisi (043) -- 01 Juli 2003                  <><

                               e-KONSEL
*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
        Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*

Daftar Isi:
    - Pengantar            : Perceraian vs Pernikahan yang Bahagia
    - Cakrawala            : Apakah Pernikahan Kami
                                             Masih Bisa Diharapkan?
    - Telaga               : Perceraian [Kaset T 31B]
    - Bimbingan Alkitabiah : Mempertimbangkan Perceraian
    - Tips                 : Menghindari Perceraian
    - Surat                : Edisi 40 Memberi Berkat

*REDAKSI -*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*- REDAKSI*

                    -*- PENGANTAR DARI REDAKSI -*-

  Dalam kehidupan pernikahan, kata 'perceraian' adalah kata yang
  sangat mengerikan untuk didengarkan atau diucapkan. Walaupun
  demikian, kata 'perceraian' toh seringkali muncul dalam pikiran
  suami atau istri yang mulai menghadapi masalah dalam perkawinan
  mereka. Masalah memang pasti akan muncul dalam kita mengarungi
  bahtera pernikahan, tapi pertanyaannya, apakah perceraian menjadi
  solusi satu-satunya untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi? Dalam
  kenyataannya perceraian tidak pernah memberikan pemecahan, apalagi
  kebahagiaan. Sebaliknya perceraian justru mengakibatkan penderitaan
  dan luka hati yang lebih besar, baik untuk suami/istri maupun anak
  dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Dan sebagai orang Kristen
  kita tahu bahwa orang yang paling kita lukai hatinya adalah Tuhan,
  karena Tuhan tidak menghendaki adanya perceraian.

  Sajian edisi e-Konsel kali ini, yang membahas topik "Menghindari
  Perceraian", kami harap dapat menolong kita untuk memahami betapa
  pentingnya mempertahankan pernikahan bagi orang Kristen. Selain
  untuk menolong pernikahan-pernikahan yang sedang mengalami masalah,
  kiranya sajian ini juga dapat menolong menguatkan pernikahan yang
  sudah dibina dengan baik. Dengan demikian "Pernikahan yang Bahagia"
  (seperti yang dibahas dalam e-Konsel edisi 40), yang sangat diidam-
  idamkan oleh banyak pasangan, bisa terwujud. Selamat menyimak sajian
  berikut ini dan kiranya kata 'perceraian' dapat berubah menjadi
  'rekonsiliasi', sehingga nama Tuhan dimuliakan.

  Tuhan memberkati!

  Tim Redaksi


*CAKRAWALA *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* CAKRAWALA*

        -*- APAKAH PERNIKAHAN KAMI MASIH BISA DIHARAPKAN? -*-

  Pertanyaan yang nadanya pesimistis ini sering saya dengar melalui
  mulut orang-orang yang berkonsultasi dengan saya. Mereka
  mengemukakan pergumulan yang mendalam dan seringkali sangat
  menyakitkan dalam kehidupan pernikahan mereka. Mengapa demikian?
  Tentu ada berbagai penyebabnya. Tetapi salah satu sebab yang sering
  dikemukakan adalah perasaan dan keyakinan (yang tentunya didukung
  oleh fakta) bahwa suaminya/istrinya tidak mencintainya lagi. Mereka
  mengatakan, "Kalau sudah tidak ada cinta, untuk apa diteruskan?
  Kalau sudah tidak ada cinta, apakah pernikahan masih bisa
  diharapkan?"

  Memang pernikahan tanpa cinta sulit untuk dapat diperbaiki. Tetapi
  apakah sebenarnya cinta itu? Apakah perasaan menyenangkan pada saat-
  saat permulaan pernikahan pasti merupakan manifestasi dari cinta?
  Apakah perubahan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan selalu
  merupakan bukti 'sudah hilangnya cinta?' Apakah kata-kata yang
  mengkonfirmasikan tidak adanya cinta adalah bukti bahwa cinta benar-
  benar sudah tidak ada lagi?

  Pernah seorang ibu bercerita bahwa pada saat bertengkar, suaminya
  sering mengucapkan kata-kata yang sangat menyakitkan, seperti, "Aku
  sudah muak dan bosan dengan kamu. Kamu perempuan yang tidak berharga
  sama sekali. Kalau saya belum meninggalkan kamu, itu semata-mata
  oleh karena anak-anak. Aku menyesal mengapa dulu tidak menikah
  dengan si A (bekas pacarnya)."

  Kata-kata ini memang benar-benar merupakan konfirmasi dari tidak
  adanya cinta. Dan benar-benar dalam hatinya ada kekecewaan dan rasa
  bosan terhadap istrinya. Bahkan tidak dapat disangkal ia masih
  menyimpan rasa suka terhadap bekas pacarnya. Tetapi apakah ini semua
  merupakan bukti yang otentik bahwa cintanya terhadap istrinya sudah
  tidak ada lagi?

  Masalah ini merupakan masalah yang rumit. Karena hanya mereka yang
  memahami psikologi dengan cukup baik yang dapat memahami pula apa
  yang sesungguhnya terjadi dalam jiwa si suami.

  Kapan kata-kata yang buruk itu diucapkan? Dalam kondisi apakah si
  suami sampai mengucapkan kata-kata yang sedemikian? Apakah ia betul-
  betul mengucapkannya dengan penuh kesadaran? Apakah memang hal-hal
  yang diucapkannya itulah yang dikehendakinya?

  Ternyata seringkali tidak demikian, dengan jujur si istri mengatakan
  bahwa di luar pertengkaran, si suami adalah seorang suami yang baik.
  Ia sabar, penuh perhatian, lembut, dan setelah bertengkar, ia betul-
  betul menyesal dan meminta maaf. Sebagai orang Kristen, ia sangat
  membenci perbuatan dan kata-kata yang ia ucapkan pada saat itu.

  Cinta dalam hubungan suami istri benar-benar mengandung banyak
  misteri. Antara kebutuhan, realitas, perasaan, persepsi, penafsiran,
  dan komunikasi terdapat berbagai macam manifestasi kebenaran (truth)
  yang harus dikenali dan dipatuhi, antara lain:

  1. Kalaupun apa yang dikatakan si suami pada saat bertengkar betul-
     betul dari dalam hatinya, tak berarti si suami sudah tidak
     mencintai istrinya lagi.
     -----------------------------------------------------------------
     Apa yang ada di dalam hati manusia betul-betul merupakan suatu
     misteri tersendiri. Banyak orang menyimpan berbagai memori
     (kenangan) yang busuk dan tidak sepantasnya di dalam hati
     mereka tanpa mereka dapat membuangnya begitu saja. Kenangan yang
     tersimpan dalam alam bawah sadar dan setengah sadar (unconscious
     dan preconscious) itu seringkali begitu saja memanifestasikan
     diri di luar kendali orang yang bersangkutan. Dan itu terjadi
     terutama pada saat-saat kritis (misalnya marah) atau pada saat
     orang tersebut mengalami kekosongan jiwa (misalnya melamun).

     Dalam kasus di atas, si suami mengeluarkan kata-kata yang tidak
     sepantasnya pada saat marah. Apakah yang dikatakannya itu benar-
     benar dari dalam hatinya? Tentu saja ya. Apakah ia masih memiliki
     rasa 'tertarik' pada bekas pacarnya? Tentu saja ya. Apakah ia
     pernah muak dengan istrinya? Tentu saja ya. Itu semua realitas
     yang ada dan tersimpan di dalam lubuk hatinya. Dan tidak seorang
     pun, termasuk dirinya sendiri yang dapat membuang itu begitu
     saja.

     Jadi, yang dikatakan si suami pada saat marah itu 'betul-betul
     realitas' yang ada di dalam hatinya. Tetapi kehadiran realitas
     itu di dalam hatinya tak berarti ia tidak mencintai istrinya.
     Kebenaran yang objektif mesti dikenali. Kita perlu bertanya,
     "Apakah dan bagaimanakah 'sikap hati' yang sesungguhnya dari si
     suami? Apakah kehadiran memori bahkan perasaan yang tidak pantas
     itu disukai dan dinikmatinya? Atau sebagai anak Tuhan, ia
     membencinya dan selama bertahun-tahun sudah menggumuli untuk
     membuangnya meskipun ia belum berhasil?"

     Di sinilah letak 'truth' (kebenaran) di belakang fenomena
     tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa ia adalah suami yang
     baik walaupun ia masih mempunyai kenangan dan perasaan yang tidak
     sepantasnya. Bahkan jikalau pada saat marah ia 'slip of tongue'
     dan mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitkan hati istrinya.

     Bukankah rasul Paulus yang begitu agung juga bergumul dengan
     fenomena yang serupa? Ia mengeluh, "Sebab apa yang aku perbuat,
     aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku
     perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat. ...
     tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain
     yang berjuang melawan hukum akal budiku ... (Roma 7:15,23).

  2. Bahkan jikalau si suami sampai jatuh ke dalam pencobaan, tetap
     tidak dapat dikatakan bahwa pernikahan mereka sudah tidak dapat
     diharapkan lagi.
     ------------------------------------------------------------------
     Kadang-kadang kita menjumpai realitas yang lebih menyakitkan
     lagi. Bukan hanya pada saat bertengkar si suami mengeluarkan
     kata-kata yang sangat menyakitkan hati, tetapi terbukti ia
     jatuh, bahkan mungkin ia jatuh berkali-kali dalam pencobaan.

     Dalam percakapan konseling tadi, si istri akhirnya menceritakan
     hal yang jauh lebih menyakitkan lagi. Dengan terisak-isak ia
     menceritakan hubungan suaminya dengan bekas pacarnya, yang masih
     berkelanjutan sampai sekarang. "Ia masih sering menelepon suami
     saya, minta tolong ini dan itu. Misalnya urusan perpanjangan SIM
     baru-baru ini. Ia 'kan punya suami. Mengapa minta suami saya yang
     mengurusi? Saya tidak tahu apa saja yang mereka berdua lakukan."

     Untuk cerita ini, si suami mengaku memang semuanya itu benar, dan
     bahkan ia mengatakan, "Saya memang bukan suami yang baik, tapi
     saya sendiri tidak tahu mengapa saya selalu tidak dapat menolak
     permintaannya. Bahkan terus-terang saya akui, kadang-kadang saya
     sendiri yang mau. Saya benci sekali dengan kelemahan saya ini."
     Apakah pernikahan mereka masih dapat diharapkan? Jawabannya,
     sekali lagi, ya.

     Dalam kasus-kasus seperti ini, kita sebenarnya dapat membedakan
     antara suami yang sengaja (mau menghancurkan rumah tangganya
     sendiri) dengan suami yang tidak sengaja. Untuk yang pertama,
     Paulus bahkan mengatakan, "Kalau mereka mau bercerai, silakan."
     (1Korintus 7:15). Karena bagi orang yang 'melawan kebenaran',
     segala sesuatu yang baik sulit untuk diharapkan. Kalau mereka
     mempunyai masalah dalam pernikahan, masalah terbesar hampir
     mustahil untuk dapat diselesaikan dengan baik. Tetapi lain halnya
     dengan kasus ketidaksengajaan dan ketidakberdayaan pribadi.

  Banyak orang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan dan
  kondisi keluarga yang kurang 'kondusif' untuk pertumbuhan pribadi
  yang sehat. Akibatnya setelah dewasa, mereka mengalami banyak
  kesulitan dalam membina hubungan dan kerja sama dengan sesamanya.
  Dan mereka menghadapi persoalan-persoalan yang seharusnya 'tidak
  perlu' dihadapi. Kadang-kadang, seperti si suami tadi, bentuknya
  adalah 'ketidakberdayaan' untuk menolak pencobaan. Meskipun hati
  nuraninya sadar dan mengatakan 'tidak', tetapi dengan kepribadiannya
  yang lemah, ia toh melakukan hal yang kemudian ia sesali.

  Memang setiap individu harus bertanggung jawab atas apa yang telah
  diperbuat. Tetapi perlu juga dipahami bahwa hal memikul tanggung
  jawab bukanlah penyelesaian pada dirinya sendiri. Ia harus bertobat,
  mendisiplinkan diri, menciptakan sistem kehidupan baru yang tidak
  memberi peluang untuk pencobaan, bahkan bertekad untuk memulai suatu
  kehidupan doa dan puasa, plus kerelaan untuk menerima terapi dari
  orang yang tepat.

  Banyak individu yang mempunyai kelemahan seperti si suami tadi.
  Mereka bukan hanya sering kali melukai hati pasangannya dengan
  kata-kata yang tidak sepatutnya, mereka bahkan menunjukkan praktek
  kehidupan yang banyak diwarnai oleh kejatuhan dan kegagalan dalam
  membuktikan cinta dan kesetiaannya.

  Apakah pernikahan dengan individu seperti ini merupakan pernikahan
  yang sudah tidak dapat diharapkan lagi? Saya yakin, sebagai orang
  percaya, tidak seharusnya kita mengatakan demikian. Karena
     "... dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia."
     (1Korintus 15:58)

-*- Diedit dari sumber -*-:
  Judul Buletin: Parakaleo, Volume III/3, Juli-September 1996
  Judul Artikel: Apakah Pernikahan Kami Masih Bisa Diharapkan?
  Penulis      : Dr. Yakub B. Susabda
  Halaman      : 1 - 2


*TELAGA *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* TELAGA*

                          -*- PERCERAIAN -*-

  Dalam Alkitab Allah berfirman kepada kita untuk tidak melakukan
  perceraian. Mengapa Allah berfirman demikian? Bagaimana proses
  terjadinya perceraian dan apa akibatnya? Berikut ini kami sajikan
  tanya jawab mengenai perceraian dengan Pdt. Paul Gunadi, Ph.D.
  sebagai narasumbernya. Selamat menyimak!

  T: Kita tahu bahwa Tuhan Allah melarang perceraian. Bagaimana
     proses terjadinya sehingga pasangan bisa memutuskan hubungan
     pernikahan yang suci dan sakral itu?

  J: Sebenarnya penyebabnya bisa dibagi dalam 2 kategori. Yang pertama
     adalah perceraian yang disebabkan karena kekurangan makanan
     emosional pada pernikahan. Ibaratnya seperti pohon yang kurang
     sekali dirawat sehingga akhirnya pohon itu lama-lama kering dan
     mati. Yang kedua adalah perceraian yang diakibatkan karena adanya
     hama yang menyerang pernikahan itu, misalnya pertengkaran, atau
     masuknya orang lain -- yang akhirnya membuat pernikahan itu
     rontok.
-----
  T: Bagaimana sebenarnya tahapan-tahapan terjadinya perceraian?

  J: Biasanya dimulai dengan perceraian emosional. Salah satu
     penyebabnya adalah "kekeringan makanan pupuk" atau kurangnya
     kebutuhan emosional yang seharusnya diterima oleh seseorang. Ada
     juga yang akhirnya mengalami kematian cinta yang bukan karena
     kekurangan pupuk saja tapi karena pertengkaran, hati yang terlalu
     dilukai oleh pasangannya, terus-menerus dimaki, disalahkan, dsb.
     Pertengkaran itu juga berpotensi besar membunuh cinta atau relasi
     dalam pernikahan. Akibat dari semuanya itu adalah padamnya cinta
     antara keduanya. Setelah perceraian emosional, biasanya terjadi
     perceraian fisik baik secara langsung atau setelah ada selang
     waktu yang cukup lama. Perceraian fisik maksudnya adalah tidak
     lagi tidur bersama lagi. Hal ini bisa berlangsung untuk jangka
     waktu tertentu dan sebetulnya menimbulkan problem baru karena
     membuka pintu bagi masuknya orang ketiga.
-----
  T: Banyak pasangan yang mencari alasan mengatakan bahwa daripada
     bertengkar terus dan memberi pengaruh jelek terhadap anak-anak,
     maka lebih baik berpisah dengan baik-baik. Bagaimana pendapat
     Bapak?

  J: Saya harus mengakui alasan ini memang ada betulnya. Dalam salah
     satu hasil riset yang pernah saya baca, dalam rumah tangga di
     mana pertengkaran sudah begitu mengerikan (ada teriakan-teriakan,
     pemukulan yang mengancam keselamatan jiwa si istri atau si
     suami), maka si anak akan mengalami tekanan yang sangat besar.
     Jadi jika kedua orang tua itu berpisah/tidak serumah, otomatis si
     anak akan lebih menikmati kedamaian, meskipun perceraian itu
     sendiri nantinya akan membawa dampak kerugian yang lain pada
     anak.
-----
  T: Bagaimana pengaruh perceraian itu terhadap anak-anak?

  J: Perceraian berpengaruh negatif terhadap anak-anak. Saya pernah
     membaca hasil riset longitudinal (riset yang dilakukan sepanjang
     waktu tertentu dan waktunya lumayan cukup lama) yang menunjukkan
     bahwa luka-luka yang diderita si anak saat orang tuanya bercerai,
     ternyata masih dibawa sampai anak itu dewasa. Meskipun perceraian
     orang tua itu terjadi mungkin lebih dari 10 tahun yang lampau.
-----
  T: Apakah ada kebenaran Firman Tuhan yang berbicara tentang
     perceraian?

  J: Saya akan awali dengan perkataan guru saya, dia berkata:
        "Saya yakin Tuhan melarang perceraian karena Tuhan tahu
        dampak dari perceraian itu terlalu pahit, baik bagi yang
        melakukannya, korbannya, pasangannya atau anak-anaknya."
     Firman Tuhan dalam Matius 19:6 berkata,
        "Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena
        itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh
        diceraikan manusia."
     Jadi sekali lagi jelas bahwa Tuhan tidak mau terjadi perceraian
     dalam pernikahan, karena Tuhan tahu dampaknya terlalu pahit bagi
     banyak orang dan tidak sesuai dengan rencana-Nya.

-*- Sumber -*-:
   [[Sajian di atas, kami ambil/edit dari isi kaset TELAGA No. #31B
     yang telah diringkas/disajikan dalam bentuk tulisan.]]
     -- Jika Anda ingin mendapatkan transkrip lengkap kaset ini lewat
        e-Mail, silakan kirim surat ke: < owner-i-kan-konsel@xc.org >
                                  atau: < TELAGA@sabda.org >


*BIMBINGAN *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*--*-*-*-*-*-*-*-*-* ALKITABIAH*

                 -*- MEMPERTIMBANGKAN PERCERAIAN -*-

  AYAT ALKITAB
  ============
  Roma 7:2         1Petrus 3:7         1Korintus 7:3-4
  Amsal 18:22      Filipi 2:3-5

  LATAR BELAKANG
  ===============
  Perceraian, yaitu pemutusan ikatan nikah secara hukum, merupakan
  penyimpangan dari maksud Allah, tidak disokong Alkitab kecuali
  dalam batas-batas kondisi tertentu. Perceraian adalah akibat dosa
  dari salah satu atau kedua belah pihak pasangan suami istri itu.
  Kerap kali, kedua pihak sama bersalah. Kesombongan dan pementingan
  diri sendiri, sering menambah andil pada keadaan yang mendorong
  terjadinya perceraian.

  Perceraian sering dihasilkan oleh kehendak yang kaku.
     "Kata Yesus kepada mereka: 'Karena ketegaran hatimu Musa
     mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula
     tidaklah demikian.'" (Matius 19:8).
  Perceraian bukan maksud asli Allah bagi pernikahan.

  Walaupun diputar balik bagaimanapun, Alkitab tidak membenarkan
  perceraian. Alkitab menandaskan:
     "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan
     ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi
     satu daging." (Kejadian 2:24). Rasul Paulus menulis: "Kepada
     orang- orang yang telah kawin aku - tidak, bukan aku, tetapi
     Tuhan - perintahkan, supaya seorang suami tidak boleh
     menceraikan istrinya." (1Korintus 7:10)

     "Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan
     apakah yang dikendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi
     jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap istri
     dari masa mudanya. Sebab Aku membenci perceraian, Firman Tuhan,
     Allah Israel - juga orang yang menutupi pakaiannya dengan
     kekerasan, Firman Tuhan semesta alam. Maka jagalah dirimu dan
     janganlah berkhianat!" (Maleakhi 3:15-16)

  Perceraian diizinkan, terbatas pada kondisi-kondisi berikut:
  1. Bila teman hidup melakukan pelanggaran seks seperti perzinahan
     atau homoseks, dan tidak berniat untuk bertobat atau mencari
     pengampunan Allah, atau meninggalkan dosanya dan kembali setia
     kepada istri atau suaminya. (Lihat Matius 19:9).
  2. Bila salah satu meninggalkan pasangannya, khususnya bila pasangan
     yang tidak beriman meninggalkan pasangannya yang Kristen. (Lihat
     1Korintus 7:15)

  Jika sebelum menerima Kristus, seseorang telah menikah dan kemudian
  bercerai, dia harus tetap dalam keadaannya itu. Jika seseorang
  sempat menikah ulang, dia harus berupaya agar perkawinannya yang
  kedua itu berhasil. Meninggalkan pasangan yang kedua untuk kembali
  pada pasangan yang pertama, adalah salah. Dua kesalahan tidak
  menciptakan kebenaran!

  Berpasangan dengan yang bukan Kristen, bukanlah alasan untuk
  bercerai. Sebaliknya, yang Kristen dianjurkan untuk hidup berdamai
  dengan pasangannya yang bukan Kristen, untuk memenangkannya ke
  dalam iman pada Kristus (1Korintus 7:12-16).

  Perhitungkan resikonya:
  1. Senang atau tidak senangkah Allah?
  2. Perceraian itu akan menganggu kelangsungan hidup dan membawa
     pengaruh buruk pada orang lain (anak-anak, orang tua, sanak
     keluarga), atau tidak?
  3. Sungguhkah ia akan menyelesaikan masalah, atau akan menciptakan
     masalah-masalah baru? Perceraian adalah suatu pengalaman
     emosional buruk yang membekas dalam.

  Gunakan segala sumber untuk mencari jalan keluar:
  1. Mulailah berusaha dari diri sendiri, mencari jalan keluar dengan
     penuh kerendahan hati dan semangat mengampuni.
     (Lihat Matius 18:21-22)
  2. Mintalah dan ikuti secara serius, bimbingan pernikahan Kristen
     dari pusat bimbingan Kristen atau dari pendeta.
  3. Jika perlu, mulailah dengan mencoba hidup terpisah dalam usaha
     mencari perbaikan terutama dalam kasus penyiksaan jasmani dan
     mental, homoseks, alkohol, kecanduan, dan sebagainya. Dalam
     kasus ini pemisahan sementara sangat dianjurkan.

  STRATEGI UNTUK MEMBIMBING
  =========================
  1. Tunjukkan sikap kasih dan memperhatikan. Yakinkan dia bahwa Anda
     senang berbicara dengannya dan berusaha mencarikan jalan keluar.
     Anda ingin bertindak sebagai sahabat yang membagikan wawasan yang
     Anda miliki.

  2. Dengarkan dengan penuh perhatian. Silakan dia menceritakan
     kasihnya dan menyalurkan perasaannya, sampai Anda merasa telah
     mengerti situasinya.

  3. Jangan bersikap sebagai hakim. Jangan memihak. Sasaran Anda
     adalah menyampaikan sudut pandang Alkitab dan menantangnya untuk
     mengambil keputusan sendiri dan menerima akibatnya sepanjang
     hidup seterusnya. Ingat teladan Tuhan Yesus. Dengan lembut Dia
     melayani si perempuan Samaria, walaupun diketahui-Nya bahwa dia
     telah bersuami lima orang dan yang terakhir hidup bukan dengan
     suaminya. Dia menyatakan diri-Nya sebagai Juruselamat dan
     menawarkan "air hidup" kepadanya. (Yohanes 4:9-42)

  4. Katakan padanya, bahwa bila ingin menerima pertolongan dari
     Allah, dia harus menyerahkan dirinya kepada Kristus dengan segala
     konsekuensinya. Penyerahan diri itu harus tetap, tidak tergantung
     pada pemecahan masalahnya. Tanyakan apakah dia pernah menerima
     Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya.

  5. Sesudah menerima Kristus, dia berhak menantikan pertolongan dari
     Tuhan. Orang itu kini akan memiliki dimensi dan sudut pandang
     hidup yang baru, yang akan sangat membantunya dalam mencari
     pemecahan masalah. Dia bisa bergantung pada sumber pertolongan
     dan pengertian yang ada dalam Firman Tuhan, yang seharusnya mulai
     dibaca dan dipelajarinya. Orang itu pun bisa membawa seluruh
     permasalahannya kepada Allah dalam doa. Doa dan penelaahan
     Alkitab akan menciptakan pengaruh pada penyesuaian sikap-sikap
     kepribadiannya dan akan membantu dia mencari penyelesaian dengan
     pasangan hidupnya, melalui pertobatan dan pengakuan.

  6. Anjurkan dia untuk berupaya mencari segala kemungkinan untuk
     mendapatkan jalan keluar yang sesuai dengan Alkitab.

  7. Berdoalah dengannya, agar Allah memulihkan kembali hidup dan
     pernikahannya.

-*- Sumber -*-:
  Judul Buku: Buku Pegangan Pelayanan
  Penulis   : Billy Graham
  Penerbit  : Persekutuan Pembaca Alkitab, 1993
  Halaman   : 192 - 194


*TIPS *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* TIPS*

                    -*- MENGHINDARI PERCERAIAN-*-

  Cara yang paling jelas untuk menghindari perceraian adalah dengan
  membangun pernikahan yang lebih kokoh lagi -- pernikahan yang
  didasarkan pada prinsip-prinsip Alkitabiah dan ditandai dengan
  kasih, komitmen, dan komunikasi yang terbuka. Apa yang dapat
  dilakukan untuk mencegah perceraian ketika ada pasangan yang sudah
  memutuskan untuk berpisah?

  1. Konseling
     ---------
     Sebelum pasangan memutuskan untuk berpisah mereka mempunyai
     tanggung jawab pada Tuhan, diri mereka sendiri, dan keluarga
     mereka sendiri untuk melakukan apa saja yang bisa digunakan untuk
     menghindari perceraian dan membawa pembaharuan pada pernikahan.
     Hal ini membutuhkan pendekatan yang halus dan beralasan untuk
     menyelesaikan masalah dalam pernikahan; suatu pendekatan yang
     seringkali tidak dilakukan. Namun, jika suami istri itu mempunyai
     keinginan untuk menyelesaikan konflik dan membangun hubungan,
     maka kesempatan untuk menghindari perceraian terbuka lebar.

  2. Intropeksi Diri
     ---------------
     Dengan atau tanpa konseling, setiap pasangan harus bertanya,
        "Apa yang aku lakukan (atau yang gagal dilakukan) yang
        menyebabkan masalah dalam pernikahanku?"
     Penyebabnya bisa jadi karena adanya kritikan, harapan yang tidak
     masuk akal, perbuatan yang disebabkan oleh pengalaman pahit,
     penolakan untuk mengampuni, ketidaksetiaan pada pasangan,
     ketidakinginan untuk membangun suatu pernikahan, atau perbuatan-
     perbuatan serupa yang merugikan dan membuat ketegangan dalam
     pernikahan. Tuhan Yesus memerintahkan para pengikut-Nya untuk
     melihat (dan kiranya menghindari) kesalahan-kesalahan yang
     dilakukan diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Kita tidak
     mungkin bisa melihat diri kita sendiri dengan jelas, tetapi jika
     kita meminta Tuhan untuk membuka pikiran kita, Tuhan pasti
     mengabulkannya, mungkin melalui penilaian yang dilakukan oleh
     konselor atau pandangan dari salah seorang teman. Lalu pasangan
     itu harus mencari pertolongan dari Tuhan atau sesamanya untuk
     menghilangkan tingkah laku yang merugikan ini.

  3. Rekonsiliasi
     ------------
     Setelah mempunyai keinginan untuk bercerai, hanya satu dari
     delapan pasangan yang mencoba untuk melakukan rekonsiliasi.
     Meskipun demikian sebagian dari mereka masih tetap mengusahakan
     proses rekonsiliasi ini. Seringkali rekonsiliasi muncul setelah
     dilakukan diskusi selama berjam-jam untuk menyelesaikan masalah
     diantara pasangan tersebut. Namun, sebenarnya rekonsiliasi adalah
     wujud dari keinginan Allah yang tidak menghendaki perceraian.

  4. Pimpinan Tuhan
     --------------
     Hanya Tuhan yang dapat benar-benar memperbaiki dan menyembuhkan
     suatu pernikahan yang gagal. Baik secara pribadi atau bersama-
     sama, setiap pasangan harus mencari kehendak, kekuatan, dan
     pimpinan Tuhan sebagai cara untuk menjaga agar kehidupan rohani
     mereka tetap hidup dan berkembang; juga sebagai usaha untuk
     mencegah perceraian. Membaca Alkitab dan berdoa setiap hari
     adalah suatu kekuatan ampuh bagi pasangan untuk mendapatkan
     kuasa kesembuhan dari Tuhan. Setelah hampir 50 tahun hidup
     bersama dan mengadakan seminar-seminar pernikahan, Charlie dan
     Martha Shedd menyimpulkan bahwa hanya ada dua cara yang menjamin
     secara pasti keabadian suatu pernikahan, yaitu: berdoa bersama
     dan memahami Alkitab bersama-sama.

  Semuanya itu tidak lepas dari pengaruh gereja. Orang-orang percaya
  diperintahkan untuk saling menanggung beban orang lain, saling
  memperhatikan, dan saling mendoakan. Bagi orang Kristen, doa,
  perhatian, pemeliharaan, dan dukungan bukan merupakan pilihan.
  Semuanya itu telah diperintahkan oleh Tuhan. Dengan demikian, untuk
  menghindari perceraian, orang-orang percaya diperintahkan untuk
  berdoa bagi pasangan-pasangan yang sudah menikah, bahkan ketika
  pernikahan-pernikahan itu dalam kondisi sehat/baik-baik saja. Doa
  yang efektif dan perhatian yang tulus sangat membantu dalam proses
  pemulihan, dan bahkan pemulihan bagi pernikahan-pernikahan yang
  tidak sehat.

-*- Diterjemahkan dan diedit dari sumber -*-:
  Judul Buku   : Christian Counseling a Comprehensive Guide
  Judul Artikel: Preventing Divorce
  Penulis      : Gary R. Collins, Ph.D.
  Penerbit     : Word Publishing, U.S.A, 1998
  Halaman      : 464 - 465


*SURAT*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-DARI ANDA-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*SURAT*

  Dari: <rani@>
  >Saya ingin mengucapkan banyak terima kasih atas dimuatnya edisi 40
  >yang mengambil tema "Pernikahan yang Bahagia". Saya adalah seorang
  >istri dari seorang suami yang sangat sibuk sehingga kami jarang
  >bisa saling berbagi seperti pada saat kami masih pacaran. Bahkan
  >pertengkaran bukan hal yang aneh lagi dalam pernikahan kami. Saya
  >sering menuduh suami saya dengan hal-hal yang tidak bisa saya
  >buktikan yang sebenarnya hanyalah ketakutan saya. Pada waktu itu
  >pernah terlintas dalam pikiran saya untuk bercerai karena saya
  >merasa suami saya sudah tidak pernah memperhatikan saya lagi dan
  >saya mengganggap suami saya sudah tidak mencintai saya lagi. Tetapi
  >setelah saya membaca edisi 40, saya merasa dibukakan oleh Tuhan
  >bahwa sebenarnya pernikahan saya masih bisa diselamatkan dan saat
  >ini saya sedang mencoba untuk mempraktekkan tips yang diberikan.
  >Sekali lagi saya mengucapkan banyak terima kasih dan semoga Tuhan
  >memberkati pelayanan Anda!

  Redaksi:
  Kami bersyukur jika apa yang disajikan e-Konsel bisa membantu
  menyelesaikan masalah yang Anda hadapi. Kami yakin kasih Tuhan
  akan menolong Anda untuk terus bersabar dan mencari jalan keluar
  bagi masalah Anda. Tekunlah berdoa kepada Tuhan agar usaha Anda
  untuk meghidupkan kembali pernikahan Anda bisa berhasil.

  Untuk melengkapi bahasan tentang pernikahan, maka edisi 43 yang
  kami sajikan ini diharapkan akan semakin mengukuhkan iman Anda
  bahwa Tuhan tidak menghendaki perceraian dan Ia pasti akan
  menyediakan jalan keluar bagi mereka yang mau menuruti kehendak-Nya.


e-KONSEL*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*e-KONSEL

                         STAF REDAKSI e-Konsel
                Yulia, Ratri, Natalia, Purwanti, Kiki
                   PENANGGUNG JAWAB ISI dan TEKNIS
                        Yayasan Lembaga SABDA
                   INFRASTRUKTUR dan DISTRIBUTOR
                         Sistem Network I-KAN
                      Copyright(c) 2003 oleh YLSA

*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
  Anda punya masalah atau perlu konseling? <masalah-konsel@sabda.org>
  Informasi/artikel/bahan/sumber konseling/surat/saran/pertanyaan/dll.
  dapat dikirimkan ke alamat:             <owner-i-kan-konsel@xc.org>
*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
  Berlangganan: Kirim e-mail kosong ke: subscribe-i-kan-konsel@xc.org
  Berhenti:     Kirim e-mail kosong:  unsubscribe-i-kan-konsel@xc.org
  Sistem lyris: http://hub.xc.org/scripts/lyris.pl?enter=i-kan-konsel
  ARSIP publikasi e-Konsel:  http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/
*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org