|
Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
https://sabda.org/https://sabda.org/publikasi/e-konsel/373 |
|
e-Konsel edisi 373 (9-6-2015)
|
|
______________________________e-KONSEL________________________________
Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
______________________________________________________________________
e-Konsel Pemulihan Luka Batin
Edisi 373/Juni 2015
Salam konseling,
Kita tentu tidak mengetahui persoalan apa yang dialami konseli yang
kita layani. Namun, dengan mendengarkan dia dan mengamati caranya
mengekspresikan perasaan, kita dapat mengetahui apa yang dia alami dan
pertolongan apa yang dibutuhkannya. Luka batin, misalnya, adalah
keadaan yang tidak dapat dilihat dari luar. Akan tetapi, kita bisa
menolong konseli untuk mendapatkan kesembuhan asalkan kita sudah
mengetahui akar penyebabnya. Pada bulan Juni ini, e-Konsel menyajikan
sebuah artikel tentang memulihkan luka batin serta contoh surat dari
konseli yang mengalami luka batin. Kiranya apa yang kami hadirkan
dapat melengkapi Anda dalam menolong konseli yang mengalami luka
batin. Selamat menyimak.
Pemimpin Redaksi e-Konsel,
S. Setyawati
< setya(at)in-christ.net >
< http://c3i.sabda.org/ >
CAKRAWALA: MENGATASI LUKA BATIN
Diringkas oleh: S. Setyawati
Luka batin dan luka fisik memiliki persamaan dan perbedaan.
Persamaannya: keduanya terasa menyakitkan, meninggalkan bekas, perlu
dibersihkan, dan disembuhkan selama beberapa waktu. Perbedaannya: luka
batin tidak terlihat langsung dari luar sedangkan luka fisik terlihat
secara langsung dari luar.
Tanda-tanda umum yang terlihat dari orang yang memiliki luka batin
adalah tegang, mudah kaget jika mendengar suara keras, mengalami
ketakutan yang terus-menerus, dan sering kali mengira bahwa sesuatu
yang buruk akan terjadi atas mereka setiap saat. Orang yang mengalami
luka batin biasanya juga susah tidur, jantungnya tiba-tiba berdebar-
debar, mudah marah, benci kepada orang lain, dan bersikap keras.
Selain itu, ada juga yang merasa sangat sedih, depresi, dan banyak
menangis. Mereka cenderung akan menjauhi hal-hal, tempat-tempat, dan
orang-orang yang dapat memunculkan kembali pengalaman buruk yang
membuatnya trauma.
Beberapa orang yang mengalami luka batin tidak dapat mengingat
sebagian atau seluruh pengalaman mereka. Mereka kehilangan kepekaan,
tidak begitu peduli dengan dirinya sendiri, dan seolah kehilangan
tenaga. Akan tetapi, ada juga beberapa dari mereka yang terus-menerus
memikirkan peristiwa buruk yang telah mereka alami. Sesekali, mereka
merasa kembali berada di tengah kejadian itu dan mengalaminya lagi.
Ada pula yang terus-menerus ingin menceritakan pengalamannya kepada
orang lain dan beberapa lainnya tidak ingin menceritakan apa pun.
Upaya untuk menyembuhkan luka batin pun sangat beragam. Ada yang
mencoba menghilangkannya dengan mengonsumsi obat-obatan atau minuman
keras, ada yang melampiaskannya dengan makan sebanyak-banyaknya atau
bekerja dengan sangat keras. Semua reaksi tersebut dapat terlihat
secara langsung pada saat itu juga, atau beberapa waktu setelah
peristiwa yang meninggalkan luka batin terjadi.
Seperti halnya luka fisik, luka batin yang tidak disembuhkan bisa
menjadi semakin parah. Kejadian yang bersifat pribadi seperti kematian
salah satu anggota keluarga atau dikhianati sahabat dekat, peristiwa
yang tidak menyenangkan yang berlangsung dalam waktu yang lama,
kejadian buruk yang berulang dalam jangka waktu tertentu, atau
tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk menyakiti seseorang dapat
membuat luka batin bertambah parah.
Keadaan luka hati seseorang dapat dilihat dari bagaimana ia merespons
pengalaman buruknya. Pengalaman trauma yang sederhana tentunya akan
direspons lebih sepele dibandingkan reaksi terhadap pengalaman buruk
yang dahsyat. Respons yang lebih mendalam terhadap suatu peristiwa
biasanya dilakukan oleh mereka yang mengharapkan adanya orang lain
yang mengatur apa yang harus dilakukannya, memiliki anggota keluarga
yang sakit mental, memiliki bakat sensitif, banyak mengalami hal-hal
buruk pada masa lalu, sudah bermasalah sebelum mengalami trauma, atau
tidak mendapatkan dukungan dari sahabat atau keluarga selama dan
setelah peristiwa trauma yang dialaminya.
Dalam kenyataan hidup, beberapa orang Kristen pun bisa saja mengalami
luka batin dan menggumulkan penyembuhannya. Sayangnya, beberapa dari
mereka mengatakan bahwa kita tidak perlu memikirkan atau membicarakan
perasaan kita serta tidak perlu mencari pertolongan dari orang lain
untuk mengatasi masalah ini. Menurut mereka, merasa sakit hati sama
artinya meragukan janji-janji Allah. Padahal, mengabaikan luka batin
dan tidak membereskannya dapat menimbulkan masalah yang lebih buruk.
Dalam Matius 26:37-38, Yohanes 12:27, Galatia 6:2; 1 Samuel 1, Yohanes 11:35,
Yohanes 13:21, Filipi 2:4, dan Mazmur 32:3, kita dapat membaca
beberapa tokoh yang begitu terbuka mengungkapkan perasaan mereka
kepada Allah. Yesus memiliki perasaan yang kuat dan membagikannya
kepada para murid, begitu pula dengan Paulus. Ia mengajarkan agar kita
saling berbagi masalah dan saling menolong. Tokoh dalam Perjanjian
Lama seperti Hana, Daud, Salomo, dan Yeremia adalah contoh orang-orang
yang terbuka kepada Tuhan dalam mengungkapkan perasaannya. Pemazmur
berkata, "Selama aku berdiam diri, tulang-tulangku menjadi lesu karena
aku mengeluh sepanjang hari;" (Mazmur 32:3).
Selain dalam Mazmur nyanyian, kita juga dapat membaca Mazmur ratapan.
Di dalamnya, pemazmur mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan dan
mendesak Dia untuk segera menolongnya. Melalui Mazmur ratapan, penulis
mengajak kita menyapa Allah, mengenang kembali kesetiaan Allah pada
masa lalu, mengeluh, mengaku dosa, meminta pertolongan, menemukan
respons Allah, dan berjanji akan memuji Tuhan dengan menaruh percaya
kepada-Nya. Dengan mencurahkan seluruh perasaan dan isi hati kepada
Allah, kita tidak menyembunyikan kedukaan dan tidak tinggal di
dalamnya. Ini adalah cara yang bisa kita gunakan untuk menyatakan iman
percaya kita kepada-Nya. Kita perlu membiasakan diri untuk bersikap
terbuka kepada-Nya serta mencurahkan semua yang kita pikirkan dan
rasakan secara terus terang kepada Allah. Ketika kita bersikap jujur,
Tuhan akan dengan penuh sukacita mendengar seruan kita dan menolong
kita. Ketika meratap di hadapan Allah, seseorang tidak mencoba
mengatasi masalahnya sendiri, tetapi berseru, berteriak, dan menangis
kepada Allah agar menolongnya. Marilah kita menengadah kepada Allah,
bukan kepada musuh, karena Allahlah yang berkuasa penuh atas segala
situasi. Dengan cara ini, kita meminta Allah bertindak dengan adil dan
kita tidak perlu mengutuki diri maupun musuh kita (Mazmur 28:3-4).
Lalu, bagaimana cara kita menolong orang yang mengalami luka batin
agar segera pulih? Untuk menolong konseli yang mengalami luka batin,
kita perlu mengajaknya membuka kembali lukanya, lalu membersihkannya
dengan cara mengakuinya di hadapan Tuhan. Ajaklah konseli memohon
pengampunan dan pertolongan kepada-Nya untuk memulihkan luka itu.
Untuk mendapatkan kesembuhan luka batin, tidak ada cara lain selain
mengungkapkannya dan mengizinkan Roh Kudus membebatnya. Ajaklah
konseli untuk mengeluarkan rasa sakit di hatinya dengan menceritakan
perasaannya. Pertama-tama, cobalah menolong di bawah empat mata. Akan
tetapi, jika konseli merasa sulit bercerita, ajaklah dia bergabung
dalam sebuah kelompok kecil yang sudah terbiasa berbagi cerita.
Biarkan konseli Anda menjadi pendengar terlebih dahulu. Mudah-mudahan,
ketika dia merasa nyaman, dia pun siap untuk bercerita. Atau, buatlah
konseli merasa percaya untuk menceritakan lukanya kepada Anda.
Ketika kita memberi kesempatan konseli untuk menceritakan rasa sakit
mereka, kita dapat menolongnya untuk mendapatkan pengertian yang benar
tentang apa yang terjadi dan bagaimana hal itu memengaruhi mereka,
menerima apa yang terjadi, dan mendorongnya untuk percaya kepada
Allah, bersandar kepada-Nya, dan mengizinkan Dia menyembuhkan mereka
(Mazmur 62:9).
Sebagai konselor, bagian kita adalah menyediakan diri untuk mendengar
dan membawa konseli melihat permasalahan dengan cara pandang
alkitabiah, dan menyerahkannya kepada pemeliharaan dan kedaulatan
Allah. Dan, yang tidak boleh tertinggal adalah mendoakannya.
Diringkas dari:
Judul asli buku: Healing the Wounds of Traumma; How the Church Can Help
Judul buku terjemahan: Menyembuhkan Luka Batin Akibat Trauma;
Bagaimana Gereja Dapat Menolong
Judul bab: Bagaimana Luka-Luka di Hati Kami Dapat Disembuhkan?
Penulis: Margaret Hill, Harriet Hill, Richard Bagge, dan Pat Miersma
Penerjemah: Melly Situmorang Wenas
Penerbit: Kartidaya, Jakarta dan Gloria Graffa, Yogyakarta 2006
Halaman: 33 -- 43
SURAT: LUKA HATIKU
Dikirim oleh: LB < betxxx@xxxxx >
Orang tuaku sangat menginginkanku untuk berpacaran dengan seorang abdi
masyarakat. Aku pun berpacaran sesuai kriteria orang tuaku. Akan
tetapi, pacarku malah menikah dengan orang lain. Hal ini terulang lagi
dengan pacarku selanjutnya. Setelah mengalami dua kali pengkhianatan
ini, aku menjadi benci dengan orang yang bekerja sebagai abdi
masyarakat. Akan tetapi, orang tuaku tidak mau mengerti. Mereka tetap
memintaku untuk menikah dengan orang yang mereka harapkan. Aku tidak
tahu harus berbuat apa dan aku tidak tahu apa rencana Tuhan dalam
hidupku. Tolong saya, ya.
Redaksi:
Memang masalah memilih pasangan hidup bukanlah suatu hal yang dapat
diatur begitu saja. Ketertarikan kita pada seseorang juga tidak
bergantung pada apa pekerjaan atau jabatan seseorang. Ditambah lagi
jika pernah mengalami kegagalan pada seseorang dengan pekerjaan yang
sama. Meski demikian, kita tahu bahwa pekerjaan atau jabatan seseorang
tidak identik dengan kepribadiannya.
Mengalami kegagalan dalam percintaan bukanlah hal yang dapat dihapus
dalam semalam. Hal ini perlu waktu untuk menghapus kenangan dan luka
yang ada dengan mencoba mengampuninya. Kadang kala, tanpa kita sadari,
kita sering kali mencoba menghapus luka dengan berpacaran kembali
dengan tipe pria yang sama. Kita berpikir bahwa ketika kita mendapat
perlakuan yang berbeda, kita akan dapat menutup luka dengan orang yang
berbeda; atau paling tidak, kita tidak terlalu menderita karena ada
seseorang yang lain, yang menggantikan posisi pria sebelumnya.
Untuk menerima orang lain di hati kita yang pernah terluka, kita harus
benar-benar mengampuni pria yang telah menyisakan luka di batin kita
dan menerima keadaan yang ada, apa pun alasan putusnya hubungan kita.
Jika kita belum sepenuhnya "sembuh" dan sudah ditambah luka atau sakit
hati yang baru, kemungkinan besar kekecewaan kita akan berlipat.
Kekecewaan yang dalam akan membuat kita akhirnya mati rasa (numbness).
Jika sudah begini, kita bisa berpikir berbeda-beda satu dengan yang
lainnya. Ada orang yang tidak ingin menikah, tidak ingin berpacaran
lagi dalam waktu yang lama, menutup diri, takut dengan kedekatan (fear
of intimacy), atau menghindari lawan jenis (withdrawal), depresi
(kurangnya fungsi hidup sehari-hari), dsb.. Bahkan, bisa saja kita
menjadi jauh dari rencana Tuhan sesungguhnya bagi kita yang memang
harus dan perlu menikah (umumnya, menikah menghindarkan kita dari
segala bentuk percabulan apalagi jika kebutuhan seksual itu cukup
besar).
Karena itu, yang perlu Anda lakukan sekarang ini adalah menyembuhkan
luka Anda. Kita harus mengingat atau menyadari bahwa berpacaran
bukanlah "tahap baku" menuju pernikahan. Atau dengan kata lain, sekali
pacaran pasti jadi suami. Justru pada saat berpacaran inilah masih
sangat memungkinkan untuk putus jika memang kita menemukan kejanggalan
atau kekurangan (seperti pasangan yang tidak bertanggung jawab dan
tidak memegang janji) yang menjadi alasan untuk putus. Justru
seharusnya Anda bersyukur karena sebelum menikah, Anda menyadari bahwa
pria yang Anda kencani bukanlah orang yang baik dan pantas untuk Anda
jadikan suami. Putus cinta memang menyakitkan, tetapi itu sepadan
dengan pernikahan indah dan diberkati Tuhan yang kita nantikan.
Anda hanya memerlukan waktu yang cukup untuk tidak lagi merasa marah
dengan pria-pria tersebut. Ampuni mereka serta hidupi dan jalanilah
kegiatan Anda seperti biasa. Jika Anda tidak lagi merasa sakit hati
dan bisa tersenyum ketika mengingat mereka, artinya Anda telah
"sembuh". Katakanlah pada diri sendiri, "Aku sudah mengampuni A atau
B." Berdoalah sebelum menjalin hubungan yang baru lagi. Bisa jadi,
pria tepat itu sesuai kriteria orang tua Anda, dan bisa juga tidak.
Bergumullah sebelum memutuskan pilihan, termasuk berdoalah untuk kedua
orang tua Anda supaya pikiran mereka juga terbuka jika memang Anda
berbeda pendapat dengan mereka.
STOP PRESS: BERGABUNGLAH DENGAN FACEBOOK E-PENULIS!
Suka menulis tetapi tidak punya komunitas yang mendukung Anda? Jangan
berkecil hati dulu, bergabunglah bersama kami di Facebook e-Penulis!
Di Facebook ini Anda bisa bertemu banyak sahabat yang bisa mendukung
Anda berkarya. Tak cuma itu, kami juga terus meng-update status kami
dengan tip maupun artikel yang berkaitan dengan dunia penulisan.
Jadi, jangan tunda lagi, bergabunglah bersama kami di:
==> http://fb.sabda.org/penulis
Kontak: konsel(at)sabda.org
Redaksi: S. Setyawati, Berlin B., dan N. Risanti
Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-konsel/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2015 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
|
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |