Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/bio-kristi/156

Bio-Kristi edisi 156 (10-2-2016)

J.R.R. Tolkien

                         Buletin Elektronik
                   BIO-KRISTI (Biografi Kristiani)
_______________________Edisi 156/Februari 2016_________________________

Bio-Kristi -- J.R.R. Tolkien
Edisi 156/Februari 2016


Salam damai dalam Kristus,

Siapa tak mengenal trilogi buku "The Lords of The Ring" dan "The 
Hobbit"? Baik buku maupun filmnya telah menjadi salah satu karya 
fenomenal dalam industri percetakan maupun perfilman. Namun, apa yang 
Anda ketahui mengenai latar belakang dari pengarang karya tersebut? 
Ya, banyak dari kita tidak mengetahui mengenai J.R.R. Tolkien meskipun 
mengagumi hasil karya dan imajinasinya yang begitu dalam serta detail 
pada tulisan-tulisannya. Untuk memperdalam serta memenuhi pengetahuan 
Anda mengenai tokoh penulis dari Inggris ini, edisi Bio-Kristi pada 
bulan Februari ini akan mengangkat kisah J.R.R. Tolkien dalam berkarya 
di dunia sastra dan literatur. Anda juga akan mengetahui bagaimana 
imannya ternyata juga memainkan peranan penting dalam karya-karyanya 
tersebut. Penasaran? Mari menyimak kisahnya dalam Bio-Kristi 156 kali 
ini.

-- Tetapi bukan aku lagi, melainkan Kristus yang hidup di dalamku --

Pemimpin Redaksi Bio-Kristi,
N. Risanti
< okti(at)in-christ.net >
< http://biokristi.sabda.org/ >


                        KARYA: J.R.R. TOLKIEN

Kehidupan awal J.R.R. Tolkien

J.R.R. Tolkien lahir pada tahun 1892 di Bloomfontein, Afrika Selatan. 
Setelah tiga tahun berada di Afrika Selatan, dia kembali ke Inggris 
bersama ibunya, Mabel. Sayangnya, ayahnya meninggal setahun kemudian, 
meninggalkannya dengan sedikit kenangan tentang ayahnya. Masa kecilnya 
adalah masa kecil yang bahagia jika dilihat dari berbagai aspek. Dia 
kemudian dibawa ke pedesaan di Warwickshire (banyak orang menganggap 
asuhan yang ideal ini sebagai dasar bagi Shire di "Lord of the 
Rings").

Pada tahun 1904, ketika John baru berusia 12 tahun, ibunya Mabel 
meninggal karena diabetes dan meninggalkan bekas yang mendalam pada 
dirinya dan adik laki-lakinya. Setelah kematian ibunya, dia dibawa 
oleh pendeta Katolik dari keluarga mereka, Bapa Francis Morgen. Sejak 
usia muda, J.R.R. Tolkien adalah seorang cendekiawan yang sangat baik, 
dengan ketertarikan yang khusus akan bahasa. Dia sangat menikmati 
mempelajari bahasa, khususnya bahasa Yunani, bahasa Anglo-Saxon, dan 
kemudian di Universitas Oxford, bahasa Finlandia.

Meskipun merupakan seorang sarjana di sekolah King Edward VI, pada 
awalnya dia gagal memenangkan beasiswa ke Oxford. Hal ini sebagian 
disebabkan karena dia jatuh cinta pada kekasih masa kecilnya, Edith. 
Ketika mengetahui tentang percintaan ini, walinya, Bapa Francis 
Morgen, melarang John untuk menemui Edith sampai dia berusia 21 tahun 
dan tidak lagi berada dalam asuhannya. Bapa Morgen membuat John 
berjanji untuk tidak menemui Edith, dan John dengan berat hati 
menyetujui permintaannya. John dengan setia menunggu hingga ulang 
tahunnya yang ke-21, dan pada hari itu memperbarui hubungannya dengan 
Edith, dan berhasil membujuknya untuk menikah dengannya. Hal ini 
adalah bukti keyakinannya pada kesetiaan dan kejujuran bahwa dia 
bersedia untuk menunggu beberapa tahun untuk menemui istrinya; 
sentimen kebangsawanan semacam itu sering muncul dalam tulisan-
tulisannya; contohnya, kisah cinta yang luar biasa dari Beren dan 
Luthien (dua tokohnya dalam buku "The Silmarillion", yakni kisah 
percintaan antara dua pribadi yang berasal dari latar belakang bangsa 
yang berbeda - Red.).

J.R.R. Tolkien di Oxford

Dari sudut pandang akademis, perpisahannya dengan Edith tampaknya 
berhasil, setahun kemudian dia memenangkan beasiswa ke Exeter College, 
Oxford, tempat dia mempelajari studi Klasika. John tidak benar-benar 
bersinar dalam pelajaran ini dan mulai menikmati kesenangan kehidupan 
universitas meskipun pemasukannya yang sedikit membuatnya sulit 
mengikuti kebiasaan pengeluaran dari murid-murid yang kaya. Tidak 
terinspirasi dengan studi Klasika, John berhasil beralih ke cintanya 
yang sejati, Sastra Inggris. Dia adalah sarjana yang kompeten, tetapi 
kebanyakan waktunya dihabiskan untuk mempelajari bahasa-bahasa lain di 
perpustakaan Bodleian. Di Oxford inilah, di mana dia menjadi terpesona 
dengan bahasa Finlandia, sebuah bahasa yang menjadi landasan untuk 
bahasa Quenya; sebuah bahasa yang nantinya akan dia berikan kepada 
bangsa Elf ciptaannya. Rasa cintanya terhadap bahasa tidak memudar 
sepanjang hidupnya; khususnya, dia mulai mengembangkan bahasa-
bahasanya sendiri, sebuah usaha yang luar biasa. Bahkan, dia 
berkomentar bahwa bahasa-bahasa terletak sebagai jantung hati tulisan-
tulisannya; Silmarillion dan Lord of the Rings. Dia benar-benar 
mengatakan, cerita-cerita tersebut ada untuk menyediakan kesempatan 
baginya untuk menggunakan bahasa-bahasa tersebut. Para penggemar 
bukunya mungkin tidak akan setuju, tetapi bukunya mengilustrasikan 
kepentingan yang mendalam yang dia lekatkan pada penggunaan bahasa-
bahasa tersebut.

Perang Dunia I

Saat pecahnya Perang Dunia I, J.R.R. Tolkien memutuskan untuk 
menyelesaikan gelar sarjananya sebelum mendaftarkan diri dalam dinas 
militer pada tahun 1916. Bergabung dengan pasukan penembak Lancashire, 
dia berhasil sampai ke Western Front, persis sebelum penyerangan besar 
Somme. Dengan mata kepalanya sendiri, J.R.R. Tolkien menyaksikan 
kengerian dan pembantaian dari "Perang Besar" tersebut; dia kehilangan 
banyak teman dekat, secara lisan dia berkata, "Sampai tahun 1918, 
seluruh teman dekat saya meninggal kecuali satu orang." J.R.R. Tolkien 
berhasil bertahan hidup, sebagian besar karena berulangnya demam parit 
yang terus-menerus, yang membuatnya dipulangkan kembali ke Inggris. 
Dia jarang berkata-kata tentang pengalamannya secara langsung, tetapi 
kengerian dalam skala besar dari perang tidak diragukan lagi 
memengaruhi tulisan-tulisannya dalam beberapa cara. Barangkali 
penggambaran tanah gersang Mordor mungkin saja terinspirasi dari 
kengerian yang berlumpur dari Western Front.

Ketika kembali ke Inggris inilah, pada tahun 1917, J.R.R. Tolkien 
mulai mengerjakan epiknya -- "The Silmarillion". Dalam "The 
Silmarillion" terletak jantung seluruh mitologi Tolkien. Itu adalah 
karya yang terus direvisi sampai kematiannya pada tahun 1973. "The 
Silmarillion" membuat suatu bacaan yang berat, di dalamnya, karya 
tersebut tidak tergerak oleh plot, tetapi melukiskan sejarah alam 
semesta, melalui gambaran umum yang hampir alkitabiah. Ceritanya 
bergerak dari Penciptaan Alam Semesta, kepada pengenalan akan 
kejahatan dan pemberontakan di Noldor. Di buku Silmarillion inilah 
berasal banyak akar dari cerita "The Lord of the Rings". Karya 
tersebut memberikan "The Lord of the Rings" kesan akan epik yang 
sejati. Karya tersebut bukan hanya sekadar cerita, tetapi juga sejarah 
dari dunia secara keseluruhan dan orang-orangnya.

Menulis The Hobbit

Pada awalnya, tulisan-tulisan J.R.R. Tolkien hanya diketahui oleh 
beberapa orang. Dia merasakan waktunya banyak terserap dalam mengajar 
dan tugas-tugas lain sebagai seorang profesor. Dia juga memiliki waktu 
untuk menulis makalah-makalah penting tentang sastra abad pertengahan. 
Karya-karya ini termasuk karya-karya yang menjadi cikal bakal Sir 
Gawain and the Green Knight dan Beowulf. Pada tahun 1945, dia 
diberikan jabatan guru besar Merton, dan mendapatkan tugas-tugas 
tambahan untuk mengajar dan memberikan kuliah.

Beberapa saat setelah tahun 1930, Tolkien mendapatkan inspirasi yang 
tidak terduga untuk mulai menulis "The Hobbit". Selagi memeriksa 
lembar-lembar ujian, dia menuliskan di tepi halaman kertas kalimat "Di 
sebuah lubang dalam tanah, tinggallah seorang hobbit" yang abadi ini. 
Tidak seperti "The Silmarillion", "The Hobbit" adalah sebuah kisah 
dongeng dan petualangan yang sederhana untuk anak-anak. Mengisyaratkan 
tentang hal-hal yang jahat, cerita tersebut masih berakhir dengan 
bahagia untuk selama-lamanya dan terutama bersangkutan dengan 
kemenangan kebaikan atas kejahatan. Dalam perjalanan beberapa tahun 
berikutnya, teman-temannya, termasuk C.S. Lewis, membaca naskahnya dan 
memberikan ulasan yang baik. Seiring perjalanan waktu, salah satu 
penerbit, Allen and Unwin, membaca karya tersebut; dengan referensi 
bersinar dari Rayner Unwin, anak dari Tuan Unwin yang berusia 10 
tahun. Buku tersebut diterbitkan dan menjadi sukses secara komersial.

J.R.R. Tolkien dan C.S. Lewis

J.R.R. Tolkien berteman baik dengan C.S. Lewis dan bersama-sama mereka 
adalah anggota kunci dari `Inklings`, sebuah klub sastra Oxford yang 
tidak resmi, tempat para penulis bertemu bersama-sama untuk membacakan 
puisi dan cerita-cerita pendek secara lantang. Tolkien memiliki iman 
Katolik yang kuat di sepanjang hidupnya; dia sering kali mendiskusikan 
agama dengan C.S. Lewis. Lewis kemudian mengatakan bahwa 
perbincangannya dengan Tolkien adalah faktor kunci dalam keputusannya 
untuk memeluk kekristenan. Akan tetapi, hubungan mereka mendingin 
seiring berjalannya waktu. Terdapat gesekan kecil atas hubungan C.S. 
Lewis dengan Joy Davidson (istri C.S. Lewis - Red.), tetapi mereka 
tetap berteman akrab, dan C.S. Lewis selalu merupakan pembela sastra 
yang kuat untuk karya-karya Tolkien. (Meskipun Tolkien agaknya kurang 
antusias terhadap karya-karya C.S. Lewis.)

Lord of the Rings

Karena kesuksesan "The Hobbit", Allen dan Unwin, mendorong J.R.R. 
Tolkien untuk menulis sebuah sekuel. Maka, setelah bertahun-tahun 
lamanya, J.R.R. Tolkien mulai menulis "The Lord of the Rings". Karya 
ini kemudian menjadi cukup berbeda dengan "The Hobbit", baik dalam 
cakupan maupun dimensi. Merambatkan akar-akarnya ke "The 
Silmarillion", karya tersebut menjadi sebuah epik yang tidak 
diperkirakan sebelumnya. Tidak hanya Tolkien menulis cerita 
petualangan yang sederhana; kejayaan dari kebaikan di atas kejahatan 
begitu lengkap. Bahkan dalam kesuksesan misi, tidak ada akhir bahagia 
yang jelas. Terdapat perasaan akan perubahan yang permanen; tidak ada 
sesuatu yang dapat tetap seperti keadaannya sekarang ini. Begitu juga 
dengan alur cerita yang memesona, buku tersebut berkenaan dengan 
banyak isu tentang bagaimana orang-orang merespons kepada pilihan-
pilihan tertentu dan pengaruh kekuasaan dan ego. Hal itu dapat dibaca 
dengan banyak cara, tetapi hal itu menawarkan moral dan dimensi 
spiritual yang mendasari, yang melekat dalam perkembangan cerita.

Karena cakupan dan panjang buku yang terjal, penerbit Allen dan Unwin, 
merasa waspada untuk menerbitkannya. Mereka khawatir tentang apakah 
karya tersebut akan menjadi sukses komersial atau tidak. Pada 
akhirnya, mereka memutuskan untuk menerbitkan buku tersebut, tetapi 
membaginya ke dalam enam bagian; mereka juga menawarkan tidak ada 
pembayaran sampai buku tersebut menghasilkan laba. Edisi pertama 
diterbitkan pada tahun 1954, dan segera menjadi laris. Akan tetapi, 
pada tahun 1965 itulah, ketika buku tersebut diterbitkan di Amerika, 
buku tersebut lepas landas menjadi buku terlaris secara internasional. 
Entah bagaimana buku tersebut berhasil menangkap mood dari kontra 
kultur tahun 1960-an, dan menjadi benar-benar populer di kampus-kampus 
Amerika. Tolkien, menjadi terkenal, dan "The Lord of the Rings" 
nantinya akan dinobatkan menjadi buku terpopuler sepanjang masa.

Meskipun buku tersebut kebanyakan menerima pujian popularitas yang 
kuat, buku itu tidak selalu menerima penghargaan yang sama dari dunia 
kepustakaan. Pada tahun 1972, Universitas Oxford menganugerahkan 
Tolkien gelar kehormatan Doctor of Letters. Penghargaan tersebut 
bukanlah untuk tulisannya, tetapi untuk penelitian-penelitiannya dalam 
studi linguistik. Akan tetapi, Tolkien tidak merasa tersinggung dengan 
penghargaan ini. Bagi dia, studi-studi linguistiknya adalah sama 
pentingnya dengan atau malah lebih penting daripada usaha keras sastra 
fiksinya.

Dia tidak benar-benar menikmati ketenaran yang datang dari kesuksesan 
sastranya, dan pada tahun 1968 dia pindah ke Poole untuk mendapatkan 
sedikit lebih banyak privasi. Istri tercintanya, Edith, meninggal pada 
tahun 1971, dan J.R.R. Tolkien meninggal dua tahun kemudian pada tahun 
1973. Setelah kematiannya, karya-karyanya mulai mendapatkan 
popularitas dan penjualan yang semakin meningkat. Bahkan, sebelum 
peluncuran film-film "The Lord of the Rings", buku "Lord of the Rings" 
sering kali dipilih sebagai buku yang paling dicintai sepanjang masa. 
Putranya, Christopher Tolkien, dengan hati-hati memeriksa seluruh 
naskahnya, dan menerbitkan secara anumerta beberapa sejarah dari 
middle earth (bumi tengah), yang mencakup berbagai draf-draf awal 
cerita tersebut dan sejarah-sejarahnya. (t/Odysius)

Diterjemahkan dari:
Nama situs: Biography Online
Alamat URL: http://www.biographyonline.net/writers/tolkien_jrr.html
Judul asli artikel: Brief Biography of J.R.R Tolkien
Penulis artikel: Tim Biography Online
Tanggal akses: 7 Juli 2015


                 TAHUKAH ANDA: PENGARUH IMAN TOLKIEN
                      Ditulis oleh: N. Risanti

J.R.R. Tolkien adalah seorang penganut iman Katolik yang teguh. Iman 
percayanya itu diperolehnya berkat pengajaran Ibunya yang kuat serta 
teladan yang diberikan oleh pastur keluarganya, Fr. Francis Morgen. 
Menjadi putra altar untuk melayani misa adalah kegiatan yang kemudian 
selalu dilakukannya saat ia tinggal di Oratorium bersama saudaranya 
dalam tahun-tahun setelah kematian Ibu mereka. Iman tersebut kemudian 
tidak hanya berwujud dalam kehidupan cinta dan rumah tangga serta 
karakter pribadinya, melainkan juga telah berhasil membuat C.S. Lewis, 
penulis kisah klasik anak-anak "Narnia", bertobat, bahkan kemudian 
menjadi salah satu penulis apologetika Kristen yang terbesar.

Iman yang sama juga memengaruhi karya-karya Tolkien yang legendaris, 
yang salah satunya diakui sebagai buku terhebat abad ke-20 melalui 
suksesi jajak pendapat, "The Lord of The Rings". Menurut Joseph Pearce 
dalam esainya, "Dalam sebuah zaman ketika hampir total terjadi 
penolakan iman pada peradaban yang ada ... the Lord of the Rings 
meyakinkan kita, baik oleh keberadaannya dan pesannya, bahwa kegelapan 
tidak bisa menang untuk selamanya". Dalam karya-karyanya sendiri, 
Tolkien banyak mengungkap filsafat mitos. "Mitos Kristus yang sejati 
adalah manifestasi Tuhan mengungkapkan diri-Nya melalui diri-Nya, 
dengan diri-Nya, dan dalam diri-Nya. Tuhan, melalui inkarnasi, telah 
menyatakan diri-Nya sebagai penyair tertinggi yang menciptakan 
realitas, puisi yang sesungguhnya atau mitos yang sesungguhnya, 
menurut gambar-Nya. Dengan demikian, dalam paradoks ilahi, mitos 
terungkap sebagai realisme tertinggi." Uraian Tolkien dalam membangun 
filosofi mitos tentang Kristus tersebut membeberkan secara jelas 
bagaimana imannya juga berdampak dalam hidup dan karya-karyanya.

Sumber bacaan:
1. "Brief Biography of J.R.R Tolkien". Dalam 
   http://www.biographyonline.net/writers/tolkien_jrr.html
2. Pearce, Joseph. "J.R.R. Tolkien: Truth and Myth". Dalam 
   http://www.biographyonline.net/writers/tolkien_jrr.html


Kontak: biografi(at)sabda.org
Redaksi: N. Risanti, Margaretha I., Odysius, dan Santi T.
Berlangganan: subscribe-i-kan-bio-kristi(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-bio-kristi(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/Bio-Kristi/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2016 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org