Mengapa Kita Harus Mengajari Anak-Anak Kita untuk Menjadi Orang Kristen?


Jenis Bahan PEPAK: Artikel

Edisi PEPAK: e-BinaAnak 747 - Mengajarkan Arti Kristen kepada Anak (I)

Sebelum saya dan istri saya menidurkan anak-anak kami, kami menyanyikan sebuah lagu dan berdoa.

Baru-baru ini, mereka mulai memerhatikan rutinitas kami. Putri saya bernyanyi bersama kami. Putra saya menggumamkan suara yang terdengar seperti melodi. Mereka sedikit menundukkan kepala mereka dan mengatakan, "Amin." Saya sepenuhnya menyadari mereka tidak menyadari rincian dan kedalaman iman Kristen yang ditenun lewat lagu dan doa. Namun, mereka memerhatikan sesuatu.

Kami menyanyikan "Come Thou Fount", bagian lagu yang didasarkan pada sebuah ayat dalam 1 Samuel. Bunyinya, "Kemudian Samuel mengambil sebuah batu ... ia menamainya Eben-Haezer, katanya: 'Sampai di sini Tuhan menolong kita.'" (1 Samuel 7:12) Hal ini membisikkan salah satu tema terbesar dalam Alkitab -- Allah menyelamatkan umat-Nya.

Batu Eben-Haezer adalah "batu pertolongan". Hal itu dimaksudkan untuk mendorong kepercayaan generasi sekarang dan mendatang. Dan, sebagaimana Allah menyelamatkan orang-orang pada zaman Samuel, ia menyelamatkan saya dan istri saya. Zaman sekarang, kita tidak menaruh batu di tengah-tengah kota Chicago, tetapi kita punya cerita yang memperingati pembebasan rohani kita sendiri -- cerita yang membuat kita terdorong untuk membagikannya kepada anak-anak kita, dimulai dengan lagu dan doa.

Berbagi Iman dengan Anak Anda

Saya ingin tahu apa yang dipikirkan generasi mendatang tentang batu Samuel. Saya membayangkan beberapa dari mereka tergerak untuk memerhatikan kesetiaan Tuhan. Yang lain, saya yakin, kurang terkesan. Barangkali, mereka beralasan bahwa kisah tentang batu Samuel itu mewakili pikiran dan pengalaman ilahi satu orang atau satu kelompok, tetapi hanya itu saja. Cerita itu dikhususkan untuk orang-orang tertentu pada waktu tertentu.

Saat ini, tampaknya banyak orang berpikir seperti itu. Sebagai contoh, kami mendapat sejumlah kritik ketika beberapa teman kami, yang juga adalah orangtua, mendengar bahwa saya dan istri membesarkan anak-anak kami untuk belajar Alkitab, mengasihi Yesus, menjadi bagian dari komunitas gereja, dan berdoa kepada Tuhan, kami menerima berbagai macam tanggapan. Karena saya seorang pendeta, kami sering mendapatkan tatapan semacam, "Oh, pantas saja," yang segera diikuti dengan perubahan topik pembicaraan. Lain waktu -- ketika saya punya kesempatan untuk masuk ke dalam percakapan yang lebih mendalam -- saya pun mendengar banyak orang merespons secara berbeda.

Dengan rasa hormat, mereka telah menceritakan kepada saya keragu-raguan untuk mengajarkan tentang iman mereka kepada anak-anak mereka sendiri karena mereka ingin anak-anak mereka memilih jalannya sendiri. Pada dasarnya, apa yang saya dengar dari yang mereka katakan adalah bahwa batu Eben-Haezer mereka adalah batu Eben-Haezer mereka. Pengalaman dan keyakinan agama mereka, khusus hanya untuk mereka.

Saya rasa, saya mengerti sedikit mengapa mereka berpendapat demikian. Sebagai orangtua, kita tidak ingin memanipulasi anak-anak kita. Kita tidak ingin memaksa mereka. Kita tidak ingin anak-anak kita menjadi seorang Kristen, Mormon, Buddha, penganut Scientology, atau apa pun hanya karena kita. Kita ingin mereka memiliki perjalanan dan pengalaman rohani yang sejati.

Namun, tanpa disadari, saya pikir konsep progresif tentang iman dan spiritualitas ini telah mengguncang dasar iman secara keseluruhan. Maksud kita bersama adalah untuk memberikan penerimaan yang setara kepada semua iman, agama, dan pandangan dunia. Namun, dengan memangkas iman dan membatasi dampaknya kepada individu, kita benar-benar mengecilkan iman secara keseluruhan. Dengan mengatakan kepada anak-anak kita kalau semua keyakinan adalah dapat diterima dan berpengaruh dan bersifat personal, maka kita juga mengatakan kepada mereka bahwa tidak ada iman yang benar-benar sejati.



Faith

Itu berarti, ketika kita meminta anak-anak kita untuk memilih jalan mereka sendiri, kita mengasumsikan tidak ada jalan yang mengarah ke realitas tertinggi. Dan, jika sebagai masyarakat kita telah memutuskan bahwa tidak ada disposisi agama yang mengarah ke realitas, maka kita telah, pada kenyataannya, memaksakan suatu disposisi atas semua orang, untuk meyakini suatu agama begitu saja -- bahwa tidak ada iman yang benar-benar nyata atau sejati atau tertinggi. Ketika kita memberi tahu anak-anak kita bahwa adalah terserah kepada mereka untuk memutuskan, dalam kenyataannya, kita hanya menyisakan satu pilihan di atas meja untuk didiskusikan.

Namun, mengapa kita tidak merasakan hal yang sama tentang membiarkan balita kita bermain di jalanan? Mengapa kita tidak merasakan seperti itu tentang anak-anak kita berbagi mainan atau makan permen? Mengapa kita tidak membiarkan anak-anak kita memilih sendiri waktu tidurnya, atau ketika mereka menginjak usia 16 tahun, undang-undang lalu lintas mana yang ingin mereka patuhi?

Dalam semua hal tersebut, kita senang memberi tahu anak-anak kita apa yang kita pikirkan, dan menceritakan apa yang telah kita alami dan bahkan menyuruh mereka untuk mengikuti jalan kita, memercayai pengalaman kita, dan mendengarkan suara kita.

Saya pikir, perbedaannya adalah konsep kita tentang realitas. Karena kita sering berpikir keyakinan agama tidak memberi penekanan pada realitas (hanya keyakinan kita sendiri), spiritualitas telah diturunkan menjadi semacam pilihan yang bebas kita ambil. Spiritualitas kemudian dipandang sebagai sebuah praktik yang dianggap pribadi bagi individu sehingga pelatihan-pelatihan, pengajaran, dan pendidikan anak (secara kolektif tentang spiritualitas) dianggap tidak logis, jika bukan kejam dan manipulatif. Namun, penting bagi saya bahwa apakah Allah benar-benar menyelamatkan Israel atau tidak? Apakah Allah benar-benar menyelamatkan saya atau tidak? Apakah Allah benar-benar akan menyelamatkan anak-anak saya atau tidak?

Mengapa Kita Bernyanyi dan Berdoa?

Dan, itulah mengapa kita bernyanyi. Itulah sebabnya, mengapa kita berdoa. Itulah sebabnya, saya memberi tahu mereka bagaimana Yesus menyelamatkan saya. Itulah sebabnya, saya memberi tahu mereka saya tetap memerlukan Yesus dan anugerah-Nya hari demi hari. Itulah sebabnya, kami memberi tahu mereka cerita tentang Yesus dalam semua yang kami lakukan dan katakan dan tonton di Netflix. Satu-satunya cara agar iman anak-anak saya akan menjadi nyata dalam hal apa pun adalah jika saya mengomunikasikan iman itu sebagai gambaran realitas, tidak hanya sentimentalitas.

Waktu menjelang tidur adalah salah satu batu Eben-Haezer yang saya dan istri saya ingin wariskan kepada anak-anak kami. Ini adalah waktu damai dan cinta yang kami harap akan mengarahkan mereka pada damai dan kasih Yesus yang tertinggi. Namun, pada akhirnyaz, mereka akan membutuhkan pengalaman mereka sendiri. Lagipula, Israel tidak akan memenangkan pertempuran berikutnya hanya karena Allah telah membantu mereka memenangkan yang terakhir. Batu lain akan perlu diletakkan untuk setiap generasi berikutnya.

Tuhan telah menolong kami. Dan, semoga Dia juga akan menolong mereka. Saya berharap, itulah yang anak-anak saya perhatikan. Itulah yang saya doakan. (t/Jing-Jing)

Download Audio

Diterjemahkan dari:
Nama situs : desiringGod
Alamat situs : http://www.desiringgod.org/articles/why-you-should-teach-your-children-to-be-christian
Judul asli artikel : Why We Teach Our Children to Be Christian
Penulis artikel : Jason Helveston
Tanggal akses : 13 Desember 2016

Kategori Bahan PEPAK: Pelayanan Anak Umum

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK

Komentar