HUDSON TAYLOR
Hudson Taylor dilahirkan di Yorkshire, Inggris, pada tahun 1832. Sejak
masih kecil, ayahnya -- seorang ahli pharmasi, telah menanamkan nilai-
nilai Kristiani kepadanya. Setiap hari ayahnya selalu membacakan dan
menjelaskan ayat-ayat dalam Alkitab. Bahkan ia menginginkan agar
anaknya kelak menjadi seorang misionaris. Usaha ini ternyata tidaklah
sia-sia karena ternyata sebelum berumur lima tahun Taylor sudah
mempunyai keinginan untuk menjadi seorang misionaris dan tempat yang
menjadi tujuan dari misinya adalah China.
Meskipun sejak kecil sudah terbiasa dengan kehidupan Kristiani,
ternyata pada saat mulai menginjak remaja, ia mulai merasa ragu-ragu
dengan apa yang pernah diajarkan oleh ayahnya. Tetapi berkat doa dari
ibu dan saudara perempuannya, keragu-raguan itu akhirnya dapat segera
diatasi setelah ia membaca sebuah buku tentang karya penyelamatan
Kristus yang ia temukan di ruang baca ayahnya. Ia lalu berlutut dan
berdoa kepada Tuhan serta mohon pengampunan pada-Nya. Sejak saat itu
Taylor mulai memusatkan perhatiannya pada keinginannya untuk melakukan
misinya ke China.
Meskipun sangat antusias dengan misi penginjilannya itu tetapi ia
tetap mengutamakan pendidikannya di bidang farmasi. Keinginannya untuk
melakukan misi penginjilan di China dapat terwujud secara tak sengaja
ketika Hung, yang juga seorang Kristen, menjadi kaisar di China. Demi
mewujudkan keinginannya itu ia rela berhenti dari training dibidang
obat-obatan yang selama ini ia kerjakan. Kesempatan untuk melakukan
penginjilan di China ini juga merupakan jawaban doa direktur Chinese
Evangelization Society (CES) yang mensponsori pelatihan yang diikuti
Taylor.
CES adalah suatu misi penginjilan di atas kapal yang tidak
terorganisasi dan tak seorangpun di China yang diijinkan untuk bekerja
dengan misi ini.
Taylor mulai berlayar ke China pada bulan September 1853 dan tiba di
Shanghai di awal musim semi tahun 1854. Bagi Taylor, China dengan
berbagai adat istiadat masyarakatnya dan berbagai keunikan lainnya
sangat menantang dirinya untuk melakukan misi penginjilan tersebut.
Kesepian adalah masalah utama yang dihadapi Taylor pada saat tiba di
Shanghai, selain itu ia juga mengalami masalah keuangan sedangkan di
Shanghai pada waktu itu sedang terjadi kenaikan harga-harga kebutuhan.
Usaha-usahanya untuk menyesuaikan diri dengan bahasa setempat sempat
membuatnya sangat tertekan. Tetapi dengan iman dan kepercayaannya yang
kuat kepada Tuhan, ia berhasil mengatasinya dengan mulai menyalurkan
hobinya, yaitu bercocok tanam dan mengoleksi serangga.
Setahun setelah ia sampai di China, Taylor segera mulai melakukan
perjalanan penginjilan menelusuri China. Dalam perjalanannya itu ia
terkadang harus melakukannya seorang diri tanpa bantuan orang lain. Di
Shanghai, misionaris yang berasal dari luar negeri bukanlah hal yang
baru. Meskipun demikian ketika Taylor mulai melakukan penginjilan,
masyarakat Shanghai tidak memperhatikan pesan yang ia sampaikan.
Mereka jauh lebih tertarik pada cara berpakaian dan cara hidupnya.
Keadaan ini membuat Taylor sadar bahwa hanya ada satu cara untuk bisa
melakukan penginjilan di daerah ini, yaitu dengan menjadi orang China,
yaitu mengikuti cara berpakaian dan kebudayaannya.
Meskipun mengikuti tradisi China ternyata bukanlah hal yang mudah bagi
Taylor, namun ia tetap melakukannya. Ia rela mencukur rambutnya dengan
model "pigtail", botak di bagian depan kepalanya dan panjang serta
dikepang di bagian belakang, bahkan ia pun rela mengubah cara
berpakaiannya. Walaupun perubahan penampilannya itu sangat menyiksa
dirinya bahkan ia dijadikan bahan lelucon dari pengikut-pengikutnya
tetapi perubahan itu baginya adalah suatu "trademark" tersendiri.
Ternyata usahanya ini tidaklah sia-sia karena dengan penampilannya
yang baru ini justru memudahkan dirinya dalam melakukan perjalanan
penginjilan ke seluruh China.
Perjalanan yang harus ia tempuh bukanlah suatu perjalanan yang mudah
karena selain melakukan penginjilan, Taylor juga melakukan praktek
pengobatan dan ia pun harus bersaing dengan dokter lokal. Masalah
keuangan tetap menjadi beban utama Taylor sehingga ia tetap
mengharapkan kiriman dana dari Inggris. Selain itu rasa sepi yang
pernah ia alami pada bulan-bulan awal ketika ia tiba di Shanghai masih
tetap membayanginya sehingga mulai terpikir dalam benaknya untuk
memiliki seorang istri. Taylor teringat kembali kepada Miss Vaughn,
tunangannya ketika masih berada di Inggris yang meskipun telah
bertunangan dua kali mereka gagal menikah karena Miss Vaughn tidak mau
ikut Taylor ke China. Taylor kemudian sadar bahwa keinginannya untuk
untuk memperistri Miss Vaughn adalah sia-sia.
Taylor kemudian mengalihkan perhatiannya kepada Elizabeth Sisson,
seorang gadis yang juga ia kenal di Inggris. Meskipun Elizabeth tidak
menolak lamarannya, namun ternyata kisah mereka tidak berjalan lama.
Elizabeth memutuskan pertunangan mereka dan diduga penyebabnya adalah
karena model pakaian dan rambut Taylor yang seperti orang China.
Keputusan Elizabeth ini sempat membuat Taylor "menyerah dari
penginjilan" yang ia lakukan. Sampai akhirnya ketika Taylor tiba di
Ningpo, sebuah kota di sebelah selatan Shanghai ia bertemu dengan
Maria Dyer. Maria adalah seorang guru di sebuah sekolah yang khusus
untuk anak perempuan milik Miss Mary Ann Aldersey. Miss Aldersey
adalah seorang misionaris wanita pertama yang datang ke China dan ia
juga orang pertama yang membuka sekolah untuk anak perempuan di negara
yang didominasi oleh kaum pria ini.
Maria dan Taylor berkenalan di bulan Maret 1857. Meskipun pada awalnya
Maria menolak lamaran Taylor namun akhirnya mereka menikah pada
tanggal 20 Januari 1858. Maria benar-benar merupakan wanita yang
Taylor butuhkan untuk melengkapi kehidupannya. Mereka tinggal Ningpo
selama tiga tahun dan selama waktu itu secara tak sengaja Taylor
diangkat menjadi seorang pengawas di sebuah rumah sakit lokal setempat.
Tahun 1860 Taylor dan Maria kembali ke London untuk mempersiapkan
berbagai hal dan memulihkan kesehatan mereka. Kesempatan ini juga
digunakan Taylor untuk melanjutkan pendidikannya selain juga untuk
membuat terjemahan Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Ningpo.
Pada saat yang sama, Taylor mendirikan China Inland Mission (CIM) --
suatu organisasi misionaris yang terbentuk berdasarkan pengalaman dan
kepribadian Taylor. Taylor sadar bahwa China tidak akan pernah
menerima penginjilan jika ia harus menunggu misionaris yang terpelajar
untuk pergi ke sana. Karena itu Taylor merekrut orang-orang Inggris
yang terpelajar untuk melakukan penginjilan ke China. Taylor juga
mendirikan kantor CIM di China yang akan memperhatikan berbagai
kebutuhan misionaris di sana.
Secara resmi CIM berdiri pada tahun 1865 dan tahun berikutnya Taylor
mulai melakukan persiapan untuk berlayar ke China bersama dengan
Maria, keempat anaknya, lima belas orang pengikutnya. Selama dalam
pelayaran, rombongan ini tidak lepas dari berbagai permasalahan yang
melanda mereka tetapi berkat kesabaran dan pendekatan secara pribadi
segala permasalahan dapat diatasi oleh Taylor.
Setibanya di Shanghai, Taylor segera memesan pakaian model China bagi
pengikutnya. Meskipun para pengikutnya telah mengetahui cara adaptasi
ini tetapi keterkejutan mereka tetap tak dapat dihindari. Bahkan
pengikut setia Taylor-pun ada yang merasa putus asa dan ingin
menyerah, tetapi berkat pertolongan Tuhan permasalahan ini dapat
diatasi.
Pada tahun 1868, rumah yang digunakan sebagai tempat penginjilan
Taylor di Yangchow, dirusak dan dibakar. Peristiwa ini hampir
merenggut nyawa para misionaris dan Maria. Meskipun peristiwa ini
mengakibatkan banyak kerugian dan sempat membuat Taylor menyerah
tetapi berkat dukungan dari salah seorang temannya, semangat Taylor
kembali menyala untuk meneruskan misinya. Ia merasa bahwa melalui
berbagai peristiwa yang terjadi Tuhan menjadikan ia sebagai orang
yang baru.
Peristiwa yang tak kalah menyedihkannya adalah ketika Sammy, anaknya
yang masih berusia lima tahun meninggal di awal bulan Februari.
Beberapa bulan kemudian, Maria yang sedang hamil menderita sakit yang
sangat serius. Awal bulan Juli Maria melahirkan seorang anak laki-laki
yang hanya berumur dua minggu. Beberapa hari setelah kematian anaknya
ini, Maria juga meninggal pada usia 33 tahun.
Tanpa Maria, Taylor benar-benar kehilangan semangat dan kesepian.
Karena alasan itulah sebulan setelah kematian Maria, ia pergi ke
Hangchow. Di sanalah ia menghabiskan waktu bersama Jennie Faulding,
seorang misionaris muda yang masih berusia 22 tahun yang merupakan
teman dekat keluarga Taylor sejak mereka tiba di China. Setahun
kemudian mereka kembali ke Inggris dan menikah. Tahun 1872, mereka
kembali lagi ke China bersama dengan para misionaris yang lebih banyak
lagi jumlahnya.
Seiring dengan perkembangan CIM, Taylor menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk mengelilingi China. Semakin luas daerah yang diinjili
semakin besar pula beban yang harus ditanggung. Meskipun demikian,
Taylor mempunyai rencana, yaitu jika ia berhasil merekrut 1000
misionaris dan jika masing-masing misionaris bisa menginjili 250 orang
setiap hari maka hanya dalam jangka waktu kira-kira tiga tahun seluruh
China sudah bisa mendapatkan penginjilan. Ini adalah visi yang tidak
realistik, dan rencananya ini tidak pernah tercapai. Meskipun
demikian, CIM memberikan sesuatu yang tak terlupakan di China. Tahun
1882 CIM berhasil memasuki setiap propinsi di China dan di tahun 1895,
30 setelah didirikan, CIM telah memiliki lebih dari 650 misionaris
yang mengabdikan hidupnya di China.
Tahun-tahun terakhir di abad 19 adalah tahun yang penuh dengan tekanan
dan melelahkan. Tekanan modernisasi dan pengaruh dari negara barat
berlawanan dengan tekanan tradisi dan antagonisme terhadap orang-orang
asing. Pada bulan Juni 1900 kekaisaran Peking memerintahkan untuk
membunuh semua orang asing dan melarang semua kegiatan yang
berhubungan dengan agama Kristen. 135 orang misionaris dan 53 anak-
anak para misionaris dibunuh secara brutal.
Taylor kemudian diasingkan di Switzerland, memulihkan kembali
kesehatannya dari kejadian yang membuatnya trauma meskipun ia tidak
dapat benar-benar menghilangkan trauma yang dialaminya. Tahun 1902,
Taylor menempati kembali jabatannya sebagai pimpinan utama misi.
Taylor dan Jennie tinggal disana sampai Jennie meninggal tahun 1904.
Setahun kemudian Taylor kembali ke China dimana akhirnya ia meninggal
dengan tenang sebulan setelah kedatangannya.
Meskipun Taylor telah meninggal, namun CIM tetap berkembang. Puncak
kejayaan CIM terjadi tahun 1914 dimana CIM menjadi organisasi misi
yang terbesar di dunia dan pada tahun 1934 berhasil memiliki
misionaris sebanyak 1368. Tahun 1964 CIM berganti nama menjadi "The
Overseas Missionary Fellowship".
Diterjemahkan dan diringkas dari sumber: |
Judul Buku | : | BAGAIMANA TOKOH-TOKOH KRISTEN BERTEMU DENGAN KRISTUS |
Judul Artikel | : | Pelopor Utusan Injil -- Hudson Taylor |
Penulis | : | James C. Hefley |
Penerbit | : | Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 2000 |
Halaman | : | 66 - 68 |
Judul Buku | : | From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical History
of Christian Missions |
Judul Bab | : | The Far East : "Barbarians Not Welcome" |
Judul Artikel | : | The J. Hudson Taylors |
Penulis | : | Ruth A. Tucker |
Penerbit | : | Academie Books, 1983 |
Halaman | : | 173 - 188 |