PROYEK POHON NATAL
Susan Devore Williams
Rencana itu pada dasarnya cukup sederhana. Gereja Baptis di
Stockton, California, akan menaruh pohon Natal setinggi 2 meter di
dekat mimbar. Hiasan untuk pohon itu dibuat oleh anak-anak Sekolah
Minggu. Di bagian belakang, setiap hiasan tercantum nama keluarga
atau nama orang yang memerlukan bantuan. Jemaat dari Gereja Baptis
dengan sukarela akan "mengadopsi" salah satu keluarga yang kurang
mampu ini selama masa Natal.
Proyek yang disebut Proyek Pohon Natal ini telah dicoba setahun yang
lalu oleh salah satu kelas Sekolah Minggu. Selama masa Natal 1984,
William D. Webber, pendeta senior, mengharapkan peran serta dari 700
jemaat gerejanya.
Panitia Pelayanan Masyarakat telah menetapkan sasaran 110 keluarga
asuh yang perlu "diadopsi" oleh 110 keluarga jemaat Gereja Baptis.
Tetapi, waktu proyek ini dimulai, timbul masalah aneh. Jemaat Gereja
Baptis adalah jemaat yang mapan -- terdiri atas masyarakat kelas
menengah atas. Kebutuhan apakah yang diperlukan oleh keluarga-
keluarga itu? Dan, di mana menemukan 110 keluarga yang kurang mampu?
Mark dan Valerie Turner, ketua proyek itu, berkata, "Kita bahkan
tidak tahu, ada berapa banyak keluarga di luar gereja yang
kebutuhannya tidak terpenuhi. Kita buta terhadap apa yang terjadi di
Stockton."
Kota metropolitan Stockton berpenduduk hampir 350.000 orang. Kota
itu terletak di Pegunungan California Tengah, salah satu daerah
pertanian yang paling subur di dunia, yang terkenal akan sayuran dan
buah anggurnya. Jalur pelayanannya menghubungkan Pelabuhan Stockton
dengan Teluk San Fransisco sehingga Stockton menjadi pusat pelayanan
utama. Selama musim panen, ladang-ladang dan dermaga-dermaga ramai
dengan aktivitas.
Tetapi, di antara musim-musim panen terdapat kisah yang menyedihkan.
Pada masa ini, ribuan pekerja ladang tidak mempunyai pekerjaan;
persentasinya mencapai 25%. Orang-orang yang tidak bekerja ini,
umumnya, tinggal di daerah terpencil di Stockton, jauh dari
lingkungan keluarga Gereja Baptis. Waktu anggota gereja menghubungi
wakil anggota masyarakat, mereka mulai melihat sisi yang menyedihkan
dari kota mereka. Mereka segera menyadari bahwa tidak sulit
menemukan 110 keluarga yang kurang mampu.
Telepon dan kartu mulai melimpah. Kata Mark Turner, "Sering kami
menjumpai lima sampai sepuluh orang anak tinggal bersama orangtua,
kakek dan nenek, anjing dan kucing -- semuanya dalam satu pondok
yang terdiri atas dua atau tiga kamar sempit. Meskipun begitu,
permintaan mereka sangat sederhana. Orangtua jarang menginginkan
sesuatu untuk mereka sendiri. Salah seorang janda tua hanya meminta
sepasang sandal untuk dipakai di rumah. Seorang pria menulis, dia
hanya berharap diberi air destilasi -- yang tidak bisa dibelinya --
untuk mesin dialisis ginjalnya."
Setelah mengetahui keadaan tersebut, anggota-anggota gereja mulai
bekerja. Mula-mula, anak-anak membuat 110 hiasan yang merupakan
daftar keluarga-keluarga yang kurang mampu, lalu menggantung hiasan
itu pada pohon Natal. Hiasan-hiasan itu akan diambil oleh keluarga-
keluarga gereja, yang akan mencatat kebutuhan keluarga "asuh"
mereka, lalu mereka akan memenuhinya.
Ada beberapa keluarga Gereja Baptis yang sudah pensiun atau sedang
mengalami masalah keuangan. Jadi, keluarga-keluarga ini memilih
keluarga-keluarga yang memerlukan pelayanan, bukan barang yang harus
dibeli, atau mereka bergabung dengan anggota gereja yang lain.
Persahabatan terjalin selama proyek itu berjalan.
Satu minggu sebelum Natal, seluruh anggota gereja berkumpul untuk
Kebaktian Pengabdian. Hadiah-hadiah dibawa ke depan dan diletakkan
di bawah pohon Natal. Mark Turner berkata, "Tidak ada seorang pun
yang membayangkan, ada begitu banyak hadiah -- semuanya terbungkus
dengan indahnya. Di dekat mimbar ini penuh dengan ratusan hadiah."
Tujuh hari sebelum Natal merupakan waktu pengiriman. Satu kelompok
yang terdiri atas para relawan bertugas membagikan hadiah-hadiah ke
seluruh daerah Stockton. Tetapi sekarang, sisi lain dari Proyek
Pohon Natal ini menjadi jelas. Proyek ini juga membantu keluarga-
keluarga di dalam gereja dengan cara yang tidak terduga.
Misalnya keluarga Regina Williams. Regina dan anak-anaknya, Michael
yang berumur empat belas tahun, dan Jennifer, empat tahun, sudah
lama hidup dalam kemiskinan. Cek dari suaminya yang cacat merupakan
satu-satunya sumber penghasilan mereka. Pada waktu Natal 1984
semakin dekat, Regina merasa tertekan. Sekali lagi, ia tidak akan
dapat memenuhi keinginan anak-anaknya.
Waktu Proyek Pohon Natal diumumkan di gerejanya, Regina mula-mula
merasa semakin tertekan. Gereja Baptis merupakan salah satu tempat
yang menyenangkan baginya, dan ia ingin sekali menjadi anggota yang
ikut berperan aktif dalam Proyek Pohon Natal. Tetapi karena ia
sendiri kurang mampu, bagaimana ia dapat membantu orang lain?
Akhirnya, dengan gembira Regina memutuskan untuk ikut menjadi
anggota bagian pengiriman. Pada suatu hari, waktu ia bekerja dengan
John dan Leah Lewis, mereka berhenti pada alamat yang salah. Tetapi
dengan demikian, mereka menemukan keluarga yang sangat kekurangan.
"Saya tahu dari dalam hati saya bahwa Tuhan telah memimpin kami ke
sana karena satu alasan," kata Regina. "Di tempat itu ada 12 anak
yang tinggal dengan orangtuanya hanya dalam dua kamar. Mereka tidak
mempunyai apa-apa. Tidak ada pohon Natal, tidak ada mainan, bahkan
hampir tidak ada makanan. Keadaan mereka menyentuh hati saya. Malam
itu saya pulang ke rumah dan berkata kepada keluarga saya, "Saya
rasa, Tuhan ingin supaya kita dapat membantu mereka. Marilah kita
pikirkan apa yang dapat kita lakukan."
Banyak yang mereka lakukan. Mereka mencari perabotan rumah tangga
dan mainan yang mungkin diperlukan keluarga "asuh" itu. Mereka
mengajak orang lain di lingkungan mereka dan bersama-sama mereka
mengunjungi toko-toko murah dan tempat-tempat yang menjual barang-
barang bekas. Anak-anak Regina membujuk seorang guru supaya keluarga
asuh itu juga menjadi proyek kelasnya. Bahkan, ibu Regina yang juga
tidak mampu, ikut ambil bagian. Waktu semua hadiah sudah dikirim,
tumpukan hadiah itu membentuk sebuah gundukan kecil.
"Hal itu membuka mata kita untuk menyadari bahwa banyak kebutuhan
orang lain yang dapat dipenuhi dari keadaan kita meskipun kita
kurang mampu," kata Regina. "Keluarga yang kurang mampu itu tentu
sangat senang menerima semua hadiah, tetapi saya rasa keluarga saya
sama senangnya karena dapat memberi."
Regina tidak lagi merasa takut karena tidak dapat membahagiakan
anak-anaknya pada hari Natal. Dan anak-anaknya tidak lagi merasa
Natal hanya merupakan masa dimana kerinduan tidak terpenuhi. Dengan
menggapai ke luar, dengan menawarkan kasih kepada orang lain, mereka
membawa kasih yang baru ke dalam keluarga mereka.
Keluarga Williams bukan satu-satunya anggota Gereja Baptis yang
mengalami mata air kasih yang melimpah. Banyak keluarga lain yang
mengalami pembaruan yang serupa. Semuanya membuktikan, pesan utama
dari Proyek Pohon Natal, yaitu bahwa proyek penjangkauan ke luar
gereja dapat sekaligus menolong keluarga di dalam gereja.
Sebenarnya, proyek itu menimbulkan pengaruh yang menguntungkan bagi
Gereja Baptis seutuhnya. "Pada bulan November 1984," kata Pendeta
Webber, "gereja telah terbiasa untuk tidak mau tahu masalah orang
lain. Sukar sekali mendorong orang supaya bersemangat dalam segala
hal. Anggaran keuangan kami terbatas dan setiap minggu uang kolekte
terus menurun. Tetapi Proyek Pohon Natal merupakan titik balik yang
besar bagi kita. Gereja kita telah memperlihatkan kemurahan yang
menakjubkan, yang melimpah, dan meluap. Dan kemurahan hati tidak
dimulai dan berakhir dengan proyek itu. Defisit kita dalam waktu
singkat sudah sirna. Sebaiknya pelayanan tetap dijalankan. Pujian
kepada Allah terus dinaikkan."
Sekali lagi, pesannya jelas: Keluarga -- termasuk keluarga dalam
gereja -- dikuatkan dengan menjangkau ke luar.
Bahan diedit dari sumber:
Judul Buku | : | Kisah Nyata Seputar Natal |
Judul Artikel | : | Proyek Pohon Natal |
Penulis | : | Susan Devore Williams |
Penerbit | : | Yayasan Kalam Hidup, Bandung 1989 |
Halaman | : | 178-181 |
e-JEMMi 50/2004