GUINEA-BISSAU -- BAGIAN TERKECIL DI AFRIKA
Jika Saudara mencari bagian terkecil dan miskin di Afrika, silakan
datang ke Guinea-Bissau, yang letaknya bertetangga dengan Senegal
dan Guinea. Di sebelah Barat, negara ini berbatasan dengan Samudera
Atlantik. Secara fisiografis, negara ini terbagi atas tiga daerah:
daerah pantai yang indah dan berawa; daerah lembah dan jurang; serta
dataran pedalaman. Walaupun rakyat Guinea-Bissau miskin, mereka
tetap menyambut semua tamu dengan gembira. Orang Afrika memang
ramah.
Sekarang Diperhatikan oleh Tuhan
Walaupun dunia kurang memperhatikan rakyat Guinea-Bissau yang sangat
menderita oleh karena perang saudara terus-menerus, Tuhan tidak lupa
jeritan orang-orang yang minta pertolongan. Seperti biasanya Tuhan
mulai perkara-perkara besar secara sederhana dulu, hampir tidak
kelihatan oleh dunia luar.
Pada tahun 1940 seorang putri bernama Bessie Fricker dari Inggris
menaati panggilan Tuhan untuk membawa Kabar Baik ke sana. Luar biasa
cara Tuhan membuka pintu baginya! Pemerintah Portugis memberi ijin
untuk melayani dan menjejaki daerah Afrika ini. Untuk pertama kali
dia datang pada tanggal 20 Mei 1940. Kemudian seorang putri lain,
Dona Libania (Putri Verdia), bergabung dengan Bessie Fricker dan
menabur Firman Tuhan di ibu kota Bissau. Karena didera oleh penyakit
yang berkepanjangan, kedua gadis ini terpaksa meninggalkan 16
petobat baru buah sulung pelayanan mereka di Guinea Portugis
(sekarang Guinea-Bissau).
Pada tahun 1945 Bessie Brierley (terlahir Fricker) kembali
menjejakkan kakinya di negara Guinea portugis dengan meninggalkan
suaminya Leslie dan "si kecil" Norman di Senegal. Kedatangannya
merupakan suatu kesukaan besar bagi kelompok orang Kristen yang
telah dilayaninya dahulu. Dengan ajaib visa cepat diperoleh dan
keluarga Brierley (suami dan anak) dapat ikut menetap di Bissau.
Pekerjaan berikutnya dilakukan oleh seorang putri yang bernama Marie
Pessoa (meninggal tahun 1990). Ia mulai pelayanan di Bolama dan
kepulauan Bijago. Ia dibantu oleh seorang putra pribumi Augusto
Fernandes, yang merupakan seorang anggota keluarga bangsawan Bijago.
Hal ini sangat membantu dan membuka kesempatan yang lebih luas dan
leluasa untuk pelayanan di Bijago. Sekarang kl. 35 misionaris dari
berbagai negara yang melayani di sana, termasuk dua orang Indonesia.
Misionaris Indonesia
Tenaga WEC pertama dari Indonesia ikut berjuang di negara Afrika ini
yang tiba pada tahun 1997 adalah Bapak T.D. Sesudah belajar bahasa
Pak T.D. melayani di Ingore (bersama dengan Pak Glovis dari Brasil
dan Pak Joseph dari Korea Selatan). Belum begitu lama melayani di
pedalaman Utara negara Guinea-Bissau, terjadilah perang. Bapak T.D.
tidak meninggalkan tempat pelayanan yang sangat sulit, melainkan
ikut berjuang bersama-sama dengan seorang pendeta pribumi, Pastor
Almandinyo dalam melayani jemaat. Delapan jemaat menunggu hamba-
hamba Tuhan ini. Karena tidak ada kendaraan, sering mereka harus
berjalan kaki sepanjang 8-9 km. Angin panas dan debu serta jemaat
yang miskin menjadi pergumulan Pak T.D., tetapi Tuhan tetap
memberkati hamba-Nya dari Indonesia ini, sehingga pada pertengahan
tahun 1998 ada 36 petobat baru dari agama-agama lain dibaptis.
Sekarang Pak T.D. bersama dengan rekan-rekan sekerjanya terbeban
untuk membangun satu pusat untuk pemuda-pemudi di Ingore. Pusat
untuk kaum muda ini dinamai Esperanca (dalam bahasa Kreol artinya
pengharapan). Pusat ini sangat dibutuhkan untuk mendidik generasi
muda di negara miskin ini. Hampir tidak ada kesempatan bagi orang
Guinea-Bissau untuk mendapat pendidikan. Visi tim WEC di Ingore
adalah memberi pengetahuan kepada kaum muda dan sekaligus memuridkan
mereka agar mereka bisa menjadi tiang gereja Guinea-Bissau yang
masih mudah dan sangat lemah.
Pada tahun 1999 Ibu R.M. tiba untuk memperkuat tim di sana. Di Sao
Dominggus, hanya 2 jam dengan kendaraan umum dari perbatasan, Ibu
yang berasal dari Toraja berjuang untuk Tuhan. Sesuai dengan bakat
dan panggilannya, Ibu R.M. melayani anak-anak yang jarang mendapat
kesempatan untuk bersekolah. Selain itu beliau mendidik putra-putri
Guinea-Bissau untuk menjadi guru sekolah Minggu yang baik. Mari kita
doakan tim WEC yang berjuang di negara termiskin di Afrika ini, agar
gereja bisa mandiri dan kuat.
Sumber: Buletin Terang Lintas Budaya, Edisi 51/2003
e-JEMMi 03/2004