Banyak dari kita mungkin memiliki Alkitab tanpa berpikir panjang
bahwa sebenarnya di balik setiap proyek penterjemahan Alkitab
terjadi peperangan rohani yang tidak kelihatan? Ada banyak
penderitaan (baik secara fisik dan mental) dan berbagai kesulitan
lain yang muncul di luar kontrol manusia untuk menghalangi pekerjaan
penterjemahan Alkitab. Untuk menolong kita mengerti keadaan ini, maka
redaksi mengutipkan sebuah kisah "Penterjemahan Alkitab" yang diambil
dari salah satu kesaksian dalam buku "Alkitab di Seluruh Dunia: 48
Kisah Nyata", karya Grace W. McGavran dengan judul asli "Stories of
the Book of Books", yang diterbitkan oleh Lembaga Literatur Baptis.
Jembatan ke Madura (Indonesia, 1864-1994)
Jembatan ke Madura yang dimaksud dalam kisah nyata ini bukanlah
jembatan dalam artian secara fisik, melainkan Alkitab yang
diterjemahkan dalam bahasa Madura, yang merupakan jembatan yang
menghubungkan Kasih Allah dengan suku Madura (Penjelasan secara
lebih rinci tentang suku Madura dapat anda baca di edisi ini dalam
kolom "Doa Bagi Suku"). Penerbitannya memakan waktu lebih dari satu
abad. Beragam hambatan dialami sehingga penerbitan Alkitab berbahasa
Madura ini berulangkali tertunda. Tapi puji Tuhan setelah 130 tahun
Alkitab bahasa Madura akhirnya dapat diterbitkan! Berikut ini adalah
kisah panjang dari "jembatan" yang menhubungkan kasih Allah kepada
orang Madura yang dimulai satu setengah abad y.l.:
* Pada pertengahan abad ke-19 (1843), seorang Kristen yang taat,
penduduk pulau Jawa tapi keturunan Madura, yang bernama Tosari,
berusaha membawa Kabar Baik ke pulau nenek moyangnya. Tetapi orang-
orang Madura tidak mau menerima dia sehingga akhirnya ia kembali ke
Jawa Timur. Namun melalui pelayanan dan kesaksiannya banyak orang
Jawa yang menjadi percaya, sehingga ia mendapat julukan Kiayi Paulus
Tosari.
* Pada masa pelayanan Kiayi Paulus Tosari, ada sepasang suami-istri
Belanda, penginjil Samuel Harthoorn, yang menetap di Pamekasan yang
mencoba melayani orang-orang Madura. Selama 4 tahun mereka berusaha
membina persahabatan dengan penduduk setempat. Malangnya, tahun 1868,
segerombolan orang Madura mengepung rumahnya dan membunuh istrinya.
Peristiwa yang mengerikan itu membuat duda yang berdukacita itu
meninggalkan pulau Madura selama-lamanya.
* Tahun 1880, J.P. Esser, seorang pendeta muda dari Belanda yang
belajar teologia (doctor) dan juga belajar bahasa Madura, berusaha
memasuki pulau Madura, tetapi tidak berhasil. Lalu ia menetap di
Bondowoso dan kemudian di Sumberpakem, dimana konon ada banyak orang
keturunan Madura bermukim. Di sana Dr. Esser juga menterjemahkan
cerita-cerita Alkitab dalam bahasa Madura, yang oleh Ebing, salah
seorang yang dilayani Dr. Esser dipakai untuk mengabarkan Injil ke
Madura.
* Tahun 1886, Dr. Esser sudah menyelesaikan terjemahan seluruh Kitab
Perjanjian Baru ke dalam bahasa Madura. Lalu ia mengambil cuti dinas
ke Belanda untuk mengusahakan penerbitan terjemahannya. Tetapi proyek
"Jembatan ke Madura" ini mengalami hambatan, karena tahun 1889 Dr.
Esser meninggal dunia (37 tahun) dan sebagian naskah terjemahannya
juga hilang.
* Tapi puji Tuhan karena Tuhan menyediakan pengganti Dr. Esser, yaitu
seorang pendeta muda bernama H. Van der Spiegel. Pada tahun 1889 ia
berangkat ke Jawa Timur, untuk meneruskan pelayanan yang dirintis Dr.
Esser di Bondowoso dan Sumberpakem. Ia pun mengerahkan tiga orang
Madura untuk menolong memperbaiki dan menyempurnakan naskah Kitab
Perjanjian Baru peninggalan Dr. Esser.
* Tahun 1903, Pdt. H. Van der Spiegel pulang ke Belanda dengan tujuan
untuk menerbitkan seluruh Perjanjian Baru dalam bahasa Madura seperti
yang diinginkan Dr. Esser 17 tahun. Tetapi selama Van der Spiegel
memperjuangkan proyek penerbitannya di Belanda, kembali tragedi
menimpa. Gereja tempat pelayanan Ebing dan rumah seorang penginjil
Madura dikepung dan dibakar massa sehingga hampir menyebabkan
kematian mereka. Mungkin hal ini yang menyebabkan hasil karya Van der
Spiegel tidak jadi diterbitkan, kecuali hanya dua Kitab Injil dan
sebuah buku yang memuat 104 cerita Alkitab dalam bahasa Madura.
Bahkan ketika Van der Spiegel meninggal (1919), Kitab Perjanjian Baru
bahasa Madura yang lengkap masih belum diterbitkan.
* Pdt. Shelfhorst adalah rekan sekerja Pdt. Van der Spiegel yang
telah melayani di Bondowoso dan di Sumberpakem sejak tahun 1904. Dari
seorang penginjil Madura Pdt. Shelfhosrt mendapat informasi bahwa
orang-orang di sebelah Timur Madura lebih terbuka terhadap Kabar
Baik. Oleh karena itu pada tahun 1912, ia dan keluarganya tinggal di
Kep. Kangean. Pdt. Shelfhorst memberi banyak bantuan pengobatan
kepada penduduk setempat. Ibu Shelfhorst membuka kelas-kelas
kepandaian putri. Sebagai jembatan Injil mereka juga menggunakan lagu-
lagu, gambar-gambar, cerita-cerita Alkitab, dan kelompok diskusi.
Namun hampir tidak ada seorang pun yang menerima Tuhan Yesus. Setelah
berpuluh-puluh tahun tanpa hasil nyata, Pdt. Shelfhorst mulai
mengkhususkan diri dalam proyek penerjemahan Firman Tuhan. Pada tahun
1933, Kitab Mazmur bahasa Madura diterbitkan.
* Pada tahun 1935 Pdt. Shelfhorst pensiun atas permohonannya
sendiri. Tetapi ia tidak pulang ke Belanda! Malahan ia menetap di
pegunungan Jawa Timur sambil menerjemahkan Firman Tuhan dengan giat
serta mengutus keluar para penjual bahan cetakan Kristen. Hasil
karyanya berupa Surat-Surat Perjanjian Baru dalam bahasa Madura
banyak yang distensil dan dibawa rekan pelayananya ke mana-mana.
* Tahun 1942 Jepang mulai berkuasa di Indonesia. Pdt. Shelfhorst
tertangkap dan meninggal dalam sebuah kamp tahanan Jepang di Jawa
Tengah. Usahanya selama 41 tahun untuk menginjili suku Madura dan
menterjemahkan Firman Tuhan belum berhasil dan belum diterbitkan.
Apakah kasih Tuhan untuk menjangkau suku Madura berhenti di sini?
* Sebelum meninggal, di kamp tahanan Jepang Pdt. Shelfhorst bertemu
dengan penginjil A.J. Swanborn, seorang Belanda keturunan Swedia.
Sudah berpuluh-puluh tahun iapun berusaha menginjili suku Madura,
namun kisahnya berakhir berbeda. Sejak masih muda A.J. Swanborn telah
menerima panggilan untuk pergi ke Madura. Tahun 1899 ia ditunjuk
menjadi utusan Injil ke pulau-pulau Sangir-Talaud, lalu ke Jakarta,
Yogyakarta, dan akhirnya ke Kalimantan Selatan. Keinginannya diutus
ke Madura ditolak sehingga ia mengundurkan diri sebagai utusan Injil.
Namun ketika ia menjadi pegawai sipil pemerintah Hindia Belanda
(1914) A.J. Swanborn berhasil dikirim ke kota Pamekasan sebagai
kepala sekolah rakyat. Setiap sore ia membuka sebuah sekolah swasta
atas biayanya sendiri dan melalui usaha inilah ia mulai menginjili
anak-anak Madura. Namun di waktu yang lain Swanborn juga berusaha
menerjemahkan Firman Allah ke dalam bahasa Madura. Ketika ditangkap
pemerintah Jepang dan dimasukkan ke kamp penampungan itulah ia
bertemu dengan Pdt. Shelfhorst. Mereka berdua membagikan kegigihannya
dalam memperjuangkan proyek penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa
Madura. Tapi yang sangat mengherankan Pdt. Shelfhorst ternyata khusus
menterjemahkan Surat-surat Kiriman Perjanjian Baru, sedangkan A.J.
Swanborn menterjemahkan hanya keempat Kitab Injil dan Kisah Para
Rasul. Tapi hidup Pdt. Shelfhorst dan A.J. Swanborn berakhir di
dalam tahanan pada bulan Mei 1945.
Naskah terjemahan Bapak Swanborn itu diwariskan kepada putri-
putrinya. Mereka mengirim naskah yang sangat berharga itu kepada
perwakilan Lembaga Alkitab Belanda di kota Bandung. Namun .....
karena kerusuhan peperangan pada masa perjuangan kemerdekaan
Indonesia, naskah tadi rupa-rupanya tidak pernah sampai ke tangan
orang-orang yang dapat mengusahakan penerbitannya.... Bagaimanakah
akhir kisah "Jembatan ke Madura" ini?
* Karena anugerah Tuhan, pada bulan September 1994, yaitu genap 130
tahun sejak pertama kali penginjil Samuel Harthoorn dan istrinya tiba
di Pamekasan, Lembaga Alkitab Indonesia akhirnya berhasil menerbitkan
Alkitab lengkap dalam bahasa Madura.
Kini "Jembatan ke Madura" itu sudah menjadi kenyataan. Maukah pembaca
e-JEMMi terus mendukung dalam doa agar "Jembatan" ini menjadi alat
Tuhan untuk menyalurkan kasih Allah yang dicurahkan-Nya melalui Yesus
Kristus kepada suku Madura?
Kesaksian selengkapnya dari kisah ini dapat anda baca dalam Situs
Cerita Misi di alamat:
==> http://www.sabda.org/misi/cerita/index.htm
==> http://www.sabda.org/misi/cerita/cerita43.htm