"APAKAH YANG DI TANGANMU ITU?"
Oleh Harvey Moore, San Diego, California
Sebagai seorang calon pendeta, saya mendapat kesempatan untuk
menyampaikan kotbah pada acara informal di rumah perawatan di sebuah
kota kecil. Tetapi saya baru sadar kemudian bahwa ternyata para
penghuni rumah tersebut adalah orang-orang yang telah memutih
rambutnya. Pada pagi Sabtu itu, rasa takut mulai memenuhi benak saya.
Saat itu saya baru berumur 21 tahun. Apa yang dapat saya sampaikan
pada orang-orang lanjut usia ini?
Untuk menutupi rasa cemas saya, maka sebagai langkah awal saya
menemui mereka terlebih dulu untuk berkenalan. Hampir setiap orang
menceritakan permasalahan yang sama yaitu bahwa mereka merasa tidak
mempunyai apa-apa untuk dapat menolong orang lain. Mendengar cerita-
cerita itu, saya segera tahu pesan apa yang harus saya sampaikan
dalam khotbah saya, yaitu "Percakapan antara Musa dengan Allah di
semak duri yang menyala" ({Keluaran 3}). Pasal itu menceritakan tentang
Musa yang merasa tidak mampu mengemban tugas untuk memimpin bangsa
Israel. Kesimpulan dari pasal tersebut adalah bahwa setiap orang,
entah berapapun usianya, pasti memiliki sesuatu yang dapat dipakai
untuk menolong orang lain."
Diskusi yang hidup pun terjadi. Lalu dari ruang sebelah, Ibu Bean
memanggil saya dari tempat dia terbaring. Dengan memandang mata
saya, Ibu Bean bertanya, "Nak, apakah engkau yakin dengan apa yang
engkau sampaikan tadi?" "Ya, sangat yakin," jawab saya.
Ibu Bean melanjutkan, "Aku telah melekat di tempat tidur ini selama
lima belas tahun. Katakan padaku, bagaimana aku dapat menolong orang
lain." Saya mengulang Firman Tuhan dalam Alkitab kepadanya, "Apakah
yang di tanganmu itu?" ({Keluaran 4:2a}).
Ibu Bean menjawab, "Tidak ada, hanya sebuah telepon. Dan apakah
manfaat telepon itu sedangkan aku tidak memiliki seorang pun untuk
aku telepon?"
"Saya tidak memiliki jawaban untuk saat ini," jawab saya dengan
jujur. "Tapi mengapa kita tidak mendoakan hal ini?" Lalu kami
berdoa bersama dan dia terlihat lebih baik.
Malam itu saya mulai memikirkan Ibu Bean dan pernyataannya bahwa
dia tidak memiliki seseorang untuk ditelepon. Bagaimana kalau saya
mencarikan orang-orang yang dapat diteleponnya?
Di gereja tempat saya ditugaskan, saya mulai bertanya kepada ketua-
ketua komisi, "Tidakkah lebih baik bila kita memiliki seseorang yang
dapat menelepon dan mengingatkan setiap anggota komisi setiap kali
mengadakan pertemuan/rapat?" Hari itu juga, saya memperoleh daftar
36 nama dari sebuah buku catatan yang segera saya berikan pada Ibu
Bean. Meskipun ragu-ragu, dia setuju untuk menghubungi nama-nama
tersebut lewat telepon dan mengingatkan mereka tentang jadwal
pertemuan.
Selama seminggu itu, saya mengumpulkan nama-nama dari kelompok lain.
Lalu pada hari Sabtu berikutnya, bahkan sebelum saya sempat duduk di
kursi, Ibu Bean sudah menanyakan mengenai nama-nama lain yang dapat
dia hubungi. Ibu Bean bercerita, "Pada mulanya aku berpikir bahwa aku
hanya sekedar mengingatkan mereka. Tetapi ada beberapa di antara
mereka yang ingin tahu dan mengenalku, dan kami benar-benar
melanjutkan percakapan kami. Mereka mengatakan keinginan mereka untuk
sharing lagi dengan saya pada minggu berikutnya!"
Saat saya lulus dari seminari, Ibu Bean telah mengenal hampir setiap
orang di kota itu. Dan kami berdua memahami bahwa ketika kita
memakai apa yang Tuhan berikan dan sediakan pada kita, maka tidak
dapat dibayangkan lagi tentang berapa banyak hal yang dapat kita
lakukan dengan pemberian itu.
Sumber: Guidepost, March 1999