MELAYANI DI ANTARA SUKU-SUKU
Setelah melewati pergumulan yang sangat panjang dan doa yang tak ada
putusnya, khususnya dalam menentukan suku atau tempat alokasi saya
melayani. Akhirnya saya mengucap syukur karena mendapatkan tempat di
tengah suku yang pernah saya kunjungi pada bulan Juli dan Agustus
yang lalu. Setelah memilih wilayah suku ini sebagai tempat bekerja
dan melayani untuk jangka waktu yang panjang, saya kembali pergi ke
desa tersebut selama 2-3 minggu. Dengan ditemani seorang teman, saya
berangkat ke wilayah suku tersebut pada 26 Oktober 2005.
Masyarakat di sana sangat senang melihat saya kembali, mereka
bertanya apakah saya akan kembali untuk menetap di sini. Dan saya
langsung menjawab `Ya` dan entah dari mana datangnya jawaban itu
tapi sepertinya saya memang yakin bahwa inilah jawaban Tuhan untuk
saya. Ibu-ibu datang dengan bahasa daerah mereka yang masih sangat
kental sekali, memeluk saya, sedangkan saya hanya terheran-heran dan
bingung karena saya tidak mengerti semua apa yang mereka bicarakan.
Kami bercakap-cakap dalam bahasa yang masih saya ingat dan itu
membuat mereka tertawa karena mereka senang saya masih ingat apa
yang saya pelajari dahulu, dan mereka juga membetulkan ucapan saya
ketika saya menyebutnya dengan tidak benar.
Hari-hari saya diwarnai dengan mengunjungi rumah-rumah di kampung.
Dan dengan beberapa orang teman saya, kami membuat peta kampung.
Kami mencatat semua rumah, sekolah, hutan, kali, atau apa saja yang
dilihat di sana. Juga mencatat nama-nama dari setiap orang yang
tinggal di sana. Jumlah rumah yang ada tercatat sekitar 64 rumah
dengan jumlah penghuni sekitar 7-12 orang di setiap rumah. Jadi
kira-kira yang tinggal kurang lebih 500 orang. Tapi tidak semua
orang-orang di sana selalu berada di desa karena mereka biasanya
pergi juga ke kampung-kampung lainnya. Kepala suku mengatakan
keseluruhan suku yang tersebar di 11 kampung, hampir mencapai 1000
jiwa. Waktu saya mengunjungi rumah demi rumah sekaligus menjalin
relasi dengan mereka, hati saya sangat sedih karena rumah mereka
yang kecil itu tidak mempunyai dinding dan banyak sekali menampung
orang.
Karena sudah memutuskan untuk melayani di suku ini, saya juga harus
mengunjungi kampung-kampung suku lainnya. Mengingat mereka juga
tinggal di 10 kampung lainnya, saya pun berkesempatan untuk
mengunjungi kampung lain tersebut. Jarak antar kampung adalah
sekitar 4-5 jam jalan kaki atau naik perahu. Perjalanan sangat
melelahkan karena harus berjalan kaki melewati hutan kemudian
melewati sungai dan mendayung perahu di bawah terik matahari yang
membuat kulit saya gosong. Pengalaman saya ikut perahu kali ini
tidak terlalu membuat saya takut seperti dalam kunjungan pertama.
Sebelum kami naik perahu, baju saya sudah basah duluan karena kami
harus menyeberangi 2 sungai kecil sebelum menuju ke pelabuhan
(mereka menamakan pelabuhan untuk tempat menyimpan perahu atau
sebagai tempat keberangkatan dan persinggahan terakhir).
Saya sudah terbiasa dengan perahu, dengan air yang kabur bahkan
untuk bermain-main dengan lumpur di tepi sungai, dengan kondisi
perahu yang hampir tenggelam dan juga dengan sengatan matahari yang
sangat panas. Semuanya itu menjadi suatu kenikmatan yang tidak bisa
dibeli dengan uang. Hanya sesekali saya terlihat cemas ketika naik
perahu, kalau-kalau buaya tiba-tiba muncul dari dasar sungai, tapi
saya menyerahkan semua ketakutan saya kepada-Nya dan saya percaya
Dia yang akan memelihara saya.
Orang yang tinggal di kampung-kampung ini hanya sekitar 10-12
keluarga dan mereka sangat senang ketika kami mengunjungi mereka.
Kami tinggal di rumah salah satu penduduk. Kami disuguhi papeda dan
ayam yang sengaja mereka potong untuk kami. Mereka bilang, mereka
berburu babi tapi tidak dapat, jadi kami makan ayam saja. Sungguh
kebanggaan kalau mereka dapat menyuguhkan daging babi hutan kepada
setiap tamu yang datang. Kami mandi di air yang cukup jernih di
kolam yang kecil berukuran 1x2 meter dan kalau buang air harus di
tengah-tengah hutan dan semak-semak. Ketika kami mau pulang,
masyarakat mengantarkan sampai ke tepi sungai tempat menyimpan
perahu dan berpesan supaya saya bisa kembali ke sana lain waktu
untuk mengunjungi mereka. Dengan hati-hati saya menaiki perahu dan
kami bernyanyi-nyanyi, sesekali terdengar teriakan karena perahu
hampir tenggelam atau kalau perahu kami menabrak benda-benda yang
keras seperti batu besar atau kayu besar. Saya merasakan semua badan
saya capek sekali karena perjalanan yang cukup melelahkan.
Pelayanan lain yang saya lakukan selama berada di suku ini adalah
menceritakan Kabar Baik, juga mengajar di Sekolah yang ada di Xxx.
Jumlah siswanya sekitar 13 orang. Gedung sekolahnya sangat
sederhana, berlantai tanah, dinding dan atapnya terbuat dari kulit-
kulit kayu. Walaupun mereka sudah tergolong orang-orang yang cukup
mampu, tapi waktu saya mengajar, beberapa di antara mereka tidak
lancar membaca, begitu juga dengan kemampuan matematikanya. Ketika
teman saya bertanya 1+2, ada yang menjawab 100-an. Ini sangat
menyedihkan dan ini terjadi karena kurangnya kesempatan bagi mereka
untuk lebih banyak belajar, selain juga pengaruh bahasa daerah
mereka yang memang hanya mengenal angka 1 dan 2. Kalau menyebutkan
angka 3, itu gabungan dari 1 dan 2.
Pada 11 Nopember, saya kembali lagi ke kota, tapi kepulangan ini
bukan untuk selamanya. Saya akan datang lagi. Sebelum berpisah kami
rapat dengan tokoh-tokoh masyarakat seperti kepala suku, kepala
desa, dan yang lainnya bersama dengan konsultan Yyy yang sengaja
datang untuk berbicara dengan masyarakat. Mereka menerima saya untuk
melayani di desa. Mereka memberikan tanah untuk saya membangun
rumah.
Setibanya di kota, saya merasa badan saya demam dan infeksi telinga
masih terasa mengganggu. Besoknya saya ke klinik untuk memeriksakan
telinga, ternyata telinga saya sudah iritasi dan merah semuanya.
Saya diberi obat tetes dan juga antibiotik untuk diminum.
Minggu sorenya, saya merasa badan semakin panas dan kepala mau
pecah, ternyata panasnya 39`C. Akhirnya saya ke dokter untuk periksa
darah dan hasilnya sakit malaria tropika. Saya hanya minta supaya
Tuhan memberikan kekuatan untuk menikmati sakit malaria ini. Ini
pengalaman kedua dimana saya terjangkit sakit malaria. Yang pertama
berjenis malaria tersiana dan yang kedua ini malaria tropika yang
hampir membuat kepala saya pecah. Obat Kina dan Fansidar yang saya
minum membuat saya terus berkeringat dingin dan tidak bisa tidur
pada malam harinya. Saya belajar untuk senantiasa mengucap syukur
dalam keadaan sakit sekalipun. Tapi sekarang, saya sudah sembuh dari
sakit malaria sehingga saya bisa menuliskan kesaksian ini. Terima
kasih untuk saudara/saudari yang membaca pengalaman saya ini.
Biarlah mendapat berkat dari tulisan ini. Tolong berdoa terus untuk
pelayanan saya: "Terima kasih dan Tuhan memberkati pelayanan kita
bersama."
Kiriman dari: Kartidaya
e-JEMMi 09/2006
|