DALAM SEPATU PENGINJILAN
Jika saya harus mengatakan sesuatu tentang perjalanan penginjilan
kami ke Kenya, saya akan mengatakan bahwa perjalanan tersebut
terlalu singkat. Walaupun perjalanan selama satu minggu pada Juni
2000 itu sangat singkat, perjalanan itu memberikan dampak bagi saya
dan orang lain yang tergabung dalam kelompok penginjilan kami, yang
terdiri dari dua saudari, satu saudara dari Skotlandia, dan tiga
saudara dari Singapura.
KISUMU
Jenis Kapel yang Berbeda
Pada hari Sabat pertama kami di Kenya, kami menempuh jarak lima jam
bermobil dari ibukota Nairobi, ke sebuah kota bernama Kisumu. Di
Kisumu ada beberapa jemaat, tetapi belum ada gedung gereja, jadi
mereka mengadakan kebaktian di sebuah sekolah.
Separuh kelompok ditinggal untuk berkebaktian di Kisumu, sementara
separuh lainnya pergi ke dua desa lainnya, Alunga dan Bunde, untuk
mengadakan kebaktian. Saya senang berada di kelompok kedua sebab apa
yang saya lihat sungguh adalah pembuka mata. Saya melihat bahwa di
area ini kebaktian di dalam rumah-rumah dari lumpur dan di bawah
pepohonan bukanlah hal yang tidak biasa. Desa Alunga mempunyai
sebuah kapel, tapi bangunannya yang kecil hanya berupa susunan
rangka kayu yang bagaimanapun tidak dapat melindungi dari hujan. Di
Desa Bunde kami mengadakan kebaktian di bawah pepohonan rindang.
Tapi entah itu kayu atau daun, Tuhan berbaik hati memberikan langit
yang cerah di atas kepala kami.
Keramahtamahan Saudara Kita
Setelah kebaktian di Alunga dan Bunde, beberapa saudara mengundang
kami ke rumah mereka. Mereka menawari kami ugali (makanan yang
terbuat dari tepung jagung), nasi, kari, dan teh. Orang-orang di
Afrika biasanya makan hanya dua kali sehari. Makanan pokoknya
terdiri dari ugali, nasi, daging kambing, ayam, dan ikan.
Seperti kebanyakan rumah-rumah di Afrika, rumah mereka dibuat dari
lumpur, dengan atap dari jerami atau seng. Herannya, seni membangun
rumah lumpur ini juga merupakan teknologi. Lumpur dipadatkan di
sekeliling sebuah rangka kayu untuk membentuk dinding, lalu kotoran
sapi diratakan pada dinding dan lantai. Kombinasi unik lumpur dan
kotoran sapi ini dapat menahan unsur-unsur alam yang keras dan
herannya, dapat mengusir nyamuk.
Mujizat Turunnya Hujan
Ketika kami tiba di Kenya, negeri itu telah menderita kekeringan
selama lima bulan. Kemarau itu cukup serius sehingga pemerintah
mengumumkannya sebagai bencana nasional. Ketika kelompok penginjilan
kami mengetahui tentang kekeringan ini, setiap kali berdoa, kami
bersama-sama saudara-saudari Afrika dengan sungguh-sungguh memohon
agar hal itu segera berakhir.
Waktu bersepeda keluar dari Bunde, orang Afrika yang mengendarai
sepeda saya (saya duduk di belakangnya) menjelaskan kesulitan-
kesulitan yang disebabkan oleh kekeringan ini. Dia menyebutkan
terjadinya kekurangan makanan yang dihadapi oleh penduduk desa dan
bagaimana usaha-usaha yang dilakukan untuk meningkatkan panen itu
akhirnya sia-sia saja. Hampir sepanjang waktu itu saya hanya bisa
mendengarkan ceritanya dalam kebisuan, merasakan iba yang memilukan
hati terhadap jiwa-jiwa malang ini.
Tak disangka-sangka, dalam perjalanan meninggalkan desa ini, hujan
mulai turun! Ini sungguh merupakan mujizat dan peringatan bagi kita
bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang hidup. Peristiwa unik ini
mengingatkan saya pada 2Tawarikh 7:14, yang berbunyi: "Dan umat-Ku,
yang atasnya nama-Ku disebut, merendahkan diri, berdoa dan mencari
wajah-Ku, lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku
akan mendengar dari sorga dan mengampuni dosa mereka, serta
memulihkan negeri mereka."
KILGORIS
Transportasi
Pada hari Minggu, kelompok penginjilan kami pergi ke kota kecil lain
bernama Kilgoris.
Di Kenya kami biasanya bepergian dengan bis, truk, mobil, sepeda,
atau taksi (biasanya hanya di Nairobi). Sepeda adalah alat
transportasi umum di pedesaan, dan perjalanannya memakan waktu
antara setengah sampai satu jam. Kami tidak mengayuh, tetapi duduk
sebagai penumpang di belakang pengendara sepeda. Saya merasa kasihan
terhadap orang-orang ini karena mereka bekerja begitu keras, namun
menerima upah begitu sedikit.
Transportasi di Afrika umumnya tidak efisien; pengemudi sering
menunggu sampai kendaraannya penuh baru berangkat, dan kadang-kadang
acara menunggu ini dapat berlangsung sampai dua atau tiga jam. Kami
baru tiba di Kilgoris pada Minggu malam.
Kunjungan ke Rumah Sakit
Tugas utama kami di Kilgoris adalah penginjilan karena di sana belum
ada jemaat yang dibaptis.
Pada hari Minggu kami mengunjungi sebuah rumah sakit di Kilgoris
yang menyediakan layanan pengobatan dengan biaya ringan kepada
penduduk desa yang sakit. Dua dokter (suami dan istri) mengelola
rumah sakit ini, dengan bantuan beberapa perawat penuh waktu. Mereka
kekurangan peralatan medis dan tempat tidur, jadi mereka menerima
peralatan bekas dari negara-negara yang lebih maju dan sedapat
mungkin memanfaatkan apa yang mereka miliki agar dapat menolong
semua pasien. Menurut ukuran kami rumah sakit tersebut peralatannya
menyedihkan, namun menurut ukuran mereka sudah cukup mewah.
Di rumah sakit itu kami mengadakan kebaktian pekabaran Injil, puji-
pujian, dan kunjungan dari bangsal ke bangsal. Dalam kunjungan kami
ke setiap pasien, kami khusus berdoa untuk penyakit masing-masing
orang dengan bahasa akal, berharap agar mereka juga dapat belajar
berbicara kepada Tuhan melalui doa. Kadang-kadang, kami menyanyikan
satu atau dua kidung pujian, dan banyak pasien yang bernyanyi dan
berdoa bersama kami.
Walaupun kebanyakan orang tidak memperlihatkan rasa sakit dan
penderitaan mereka, Anda dapat melihatnya dalam mata mereka sewaktu
Anda berbicara dan bernyanyi bersama mereka. Mereka tampak begitu
tidak berdaya dalam penderitaan mereka, Anda dapat merasakan bahwa
mereka sedang mencari secercah harapan yang samar-samar dalam
kehidupan mereka. Kami berharap bahwa melalui doa dan melalui kuasa
Tuhan, orang-orang ini dapat menyadari kebutuhan mereka akan Tuhan
dan entah bagaimana menjangkau dan menemukan Dia.
Kebaktian dengan Cahaya Pelita
Malam itu kami mengadakan kebaktian di rumah seorang wanita yang
sudah percaya, tetapi belum menyampaikan kesaksian bagaimana
anugerah Tuhan turun ke atas dirinya sejak dia percaya kepada Yesus
Kristus. Puji Tuhan, banyak yang datang untuk mencari kebenaran pada
malam itu.
Karena listrik dan air merupakan kemewahan bagi kebanyakan orang
Afrika, kami hanya punya satu lampu minyak tanah kecil sebagai
sumber penerangan di rumah yang gelap itu. Lampu itu diletakkan di
tengah ruangan, hampir-hampir tidak memberikan cahaya yang cukup
bagi setiap orang untuk melihat pembicara. Membaca dengan penerangan
seperti ini hampir tidak mungkin dilakukan, jadi para pembicara
harus menggunakan senter kecil untuk membaca ayat-ayat Alkitab.
Dalam rumah ini, saya memikirkan perbedaan antara kehidupan di kota
yang kaya dan kehidupan di pedalaman Afrika. Kehidupan di Afrika
berjalan dalam alur yang lebih lambat; tidak ada kesibukan gila-
gilaan seperti kehidupan kota, dan hampir setiap orang tidur lebih
awal. Mungkin inilah sebabnya mengapa tidak dirasakan adanya
kebutuhan akan lampu listrik yang terang di rumah-rumah. Saya merasa
bahwa orang-orang ini diberkati karena kehidupan mereka yang
sederhana membuat mereka dapat memiliki iman yang lebih sederhana
kepada Tuhan. Mungkin perhatian mereka tidak dialihkan oleh
banyaknya kemewahan dan kekuatiran dunia, seperti yang kadang kala
kita alami.
Anak-anak
Di Kilgoris dan sepanjang perjalanan, saya mendapat kesempatan untuk
berhubungan dengan anak-anak Afrika. Anak-anak ini sangat menawan
dan bersahabat, dan mereka sungguh-sungguh dapat meluruhkan hati
Anda. Saya melihat bahwa mereka sangat berbeda dari anak-anak di
negara-negara maju, anak-anak Afrika lebih murni dan sederhana. Hal
ini membuat saya memikirkan perasaan Yesus ketika Dia menggendong
seorang anak kecil dan berkata, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu
tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga." (Matius 18:3)
Anak-anak ini juga mengingatkan saya akan pentingnya pendidikan
agama. Membantu mereka belajar tentang Juruselamat selagi mereka
masih muda dapat membentuk mereka menjadi orang dewasa yang takut
akan Tuhan. Hampir semua tempat yang kami kunjungi punya kelas-kelas
terpisah untuk anak-anak, tetapi masih sangat membutuhkan banyak
guru pendidikan agama dan pemimpin pujian.
Menginjili Kepala Suku
Pada hari Selasa kami mengunjungi kepala desa suku Masai dan
mengadakan kebaktian pekabaran Injil kecil di rumahnya. Saya melihat
ada warga suku yang mengenakan seragam perang suku Masai dan membawa
tombak, busur, dan anak panah. Mereka selalu berjaga-jaga, siap
untuk melindungi tanah dan ternak mereka dari usaha pencurian yang
kadang-kadang dilakukan suku tetangga. Ini menggambarkan betapa
tidak stabilnya kehidupan di pedalaman Afrika.
PULANG KE RUMAH
Pada hari Rabu kami mengunjungi Teluk Kendu. Ada rencana untuk
membangun gereja di sana. Kami bertemu dengan pengurus gereja
setempat untuk memberikan beberapa petunjuk mengenai rencana
pembangunan gereja, juga tentang masalah-masalah administrasi
lainnya.
Setelah Teluk Kendu, kami menempuh perjalanan kembali ke Kisumu. Di
sana kami berpisah dengan seluruh rombongan dan mengarah kembali ke
Nairobi. Pada hari Kamis siang, kami bertiga dari Singapura mengejar
pesawat pulang ke rumah. Kami hanya menghabiskan satu minggu dalam
pekerjaan nyata penginjilan, dan ini pasti terlalu singkat.
ALAMILAH SENDIRI
Selama perjalanan, kami tinggal di hotel-hotel yang dipenuhi
serangga dan sering kekurangan air dan listrik. Air mandi, kadang-
kadang, diambil dari sumur, dan ada satu tempat yang tidak punya
toilet. Tapi di tengah kondisi seperti itu, saya mendapatkan
beberapa pelajaran berharga dari perjalanan ini.
Kemiskinan orang-orang Afrika adalah pemandangan yang tak akan saya
lupakan. Setelah dihadapkan pada kemiskinan luar biasa seperti ini,
saya jadi lebih menghargai berkat-berkat Tuhan dalam kehidupan saya.
Hal ini membantu saya untuk memahami dan berempati terhadap orang-
orang yang berjuang melawan kemiskinan.
Melihat betapa berbedanya cara hidup orang-orang dan berpikir dalam
pola pikir budaya yang lain telah membantu meluaskan cakrawala
pikiran saya. Saya belajar bahwa dalam usaha mengajarkan tentang
Tuhan kepada orang lain, kita tidak dapat selalu menggunakan cara
yang sama, khususnya dalam budaya lain dan negara lain. Yang
terpenting, saya melihat betapa orang-orang ini sungguh sangat
membutuhkan Tuhan. Ada begitu banyak orang yang menderita, dan hanya
Tuhan Yesus Kristus yang dapat melepaskan mereka.
Saya sungguh bersyukur karena Tuhan memberi saya kesempatan untuk
berjalan dalam sepatu penginjilan walaupun hanya sebentar. Jika Anda
tertarik untuk melayani Tuhan dalam pekerjaan penginjlan, dan pada
saat yang sama mendapatkan beberapa pelajaran penting, saya sangat
menganjurkan agar Anda mengalami sendiri kesempatan ini.
Kiranya segala kemuliaan hanya bagi Tuhan kita Yesus Kristus.
Sumber diedit dari:
Judul Buletin: Warta Sejati, Edisi 43/2004
Judul Artikel: Dalam Sepatu Penginjilan
Penulis : Joshua Koh
Penerbit : Departemen Literatur Gereja Yesus Sejati, 2004
Halaman : 35 - 40
e-JEMMi 21/2005
|