MOTIVASI MEMBERITAKAN INJIL
Oleh: Pdt. Dr. Stephen Tong
Kita harus terlebih dahulu mengerti dengan jelas tentang istilah
motivasi. Motivasi bukanlah tujuan, dan tujuan bukan motivasi.
Motivasi adalah penyebab yang menghasilkan suatu tindakan, sedangkan
tujuan adalah hasil yang diharapkan dapat tercapai melalui tindakan
itu. Seringkali kita sudah mencampuradukkan kedua istilah tersebut.
Misalnya, orang yang percaya kepada Yesus memperoleh hidup yang
kekal. Hidup yang kekal adalah istilah hasil dari percaya, bukan
motivasi dari untuk percaya. Motivasinya adalah: karena kasih
karunia Allah telah dicurahkan kepada kita, Kristus telah mati bagi
kita dan telah menebus kita supaya kita menjadi milik-Nya, maka
terdorong oleh kasihNya itulah kita mau kembali kepadaNya. Itulah
motivasi untuk percaya. Sedangkan masuk surga merupakan akibatnya
atau hasilnya, bukan motivasinya.
Demikian pula motivasi dan tujuan pemberitaan Injil berbeda. Jika
seseorang memiliki motivasi yang murni maka ia pasti memiliki jiwa
yang lurus, baik antara Allah dan manusia, maupun antara langit dan
bumi. Sebaliknya jika seseorang tak memiliki motivasi yang murni,
betapapun banyaknya bakat dan talenta yang ia miliki, ia tidak akan
dapat mencapai hasil yang positif menyeluruh. Motivasi memang sangat
penting. Allah tidak akan menerima pelayanan yang bermotivasi
campuran, oleh karena itu kita harus meniadakan unsur-unsur campuran
dalam motivasi pelayanan kita.
Di dalam dunia kekristenan, banyak orang berbakat yang tidak
mencapai hasil pelayanan yang seharusnya dicapainya. Salah satu
penyebab utama ialah motivasi yang tidak murni. Paulus berkata, "Aku
telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu
sebagai perawan suci kepada Kristus" (2Korintus 11:2). Kesucian dan
kemurnian adalah hal yang terpenting pada saat kita melayani.
Motivasi yang paling dasar dan paling minimal ini haruslah kita
pertahankan.
Seorang yang bermotivasi murni tidak mudah mengalami depresi pada
saat putus asa, tidak mudah berkompromi pada saat menghadapi musuh
yang kuat, tidak mudah goyah pada saat menghadapi banyak godaan.
Sebaliknya motivasi yang benar memberi kekuatan yang besar pada saat
yang paling melelahkan, dan memberi keteguhan pada waktu
penganiayaan menimpa, memberi suka cita pada waktu sengsara menekan;
pada saat lingkungan menunjukkan kegelapan yang paling dahsyat,
cahaya di dalam hati kita makin menjadi terang. Maka motivasi yang
murni dan hati nurani yang suci adalah salah satu penyebab paling
penting bagi suksesnya pelayanan kita. Kalau begitu, apakah
sebenarnya motivasi yang murni dalam penginjilan?
1. KEHENDAK ALLAH
Kehendak Allah adalah unsur yang menentukan eksistensi dari segala
sesuatu. Selain Allah sendiri, tidak ada hal lain yang lebih besar
dari kehendak-Nya. Apakah kehendak Allah? Yaitu segala sesuatu yang
telah ditetapkan di dalam hati Allah. Allah adalah Allah yang kekal,
yang melampaui sejarah, yang menciptakan waktu dan ruang. Segala
sesuatu yang telah direncanakan dan ditetapkan dalam hati Allah
melampaui waktu dan ruang adalah hal-hal yang berhubung dengan
kekekalan. Kehendak Allah tidak perlu dirundingkan dengan manusia,
terlaksananyapun tidak perlu tergantung pada kerja sama manusia
dengan-Nya. Dia adalah Allah yang melakukan segala sesuatu menurut
kehendak sendiri. Sebagaimana perintah Raja harus dilaksanakan,
terlebih lagi kehendak Allah pasti Dia genapi.
Orang Tionghoa menyebut perintah Raja sebagai perintah atau kehendak
kudus. Karena itu ketika utusan raja membawa perintah raja dan
memasuki sebuah kota, begitu juga menyebut perintah kudus, maka
berlututlah kepala daerah dan semua orang kepadanya. Bolehlah mereka
berkata, "Perintah raja yang bagaimana? Dapatkah kita
mendiskusikannya sebentar, supaya kita tahu apakah perintah itu
dapat dilaksanakan atau tidak?" Tentu tidak mungkin hal seperti itu
terjadi. Yang ada hanya kewajiban untuk mematuhi, rakyat tidak
diberi kesempatan untuk berdiskusi. Jika raja dunia yang salah
berbuat demikian, lalu bagaimanakan sikap kita terhadap Allah yang
tidak mungkin berbuat salah?
Saya tidak terlalu sering menggunakan istilah "kehendak", karena
banyak orang Kristen yang ceroboh memakai istilah "kehendak Allah"
atau "pimpinan Roh Kudus". "Dunia ini sedang lenyap dengan
keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup
selama-lamanya" (1Yohanes 2:17). Sebab itu kita harus membedakan
dengan tegas antara kehendak dan pimpinan.
Kehendak Allah berbeda dengan pimpinan Roh Kudus, namun keduanya
mempunyai hubungan. Pimpinan Roh Kudus akan membawa manusia memasuki
kehendak Allah yang kekal; pimpinan adalah proses, sedangkan
kehendak adalah ketetapan. Segala sesuatu yang direncanakan Allah
dalam kekekalan merupakan keputusan yang tidak dapat diubah, tetapi
bagaimana mungkin manusia yang berdosa dapat masuk ke dalam kehendak
Allah? Untuk itu perlu pimpinan Roh Kudus. Siapakah yang dapat
dipimpin oleh Roh Kudus kecuali anak-anak Allah? (Roma 8:14) Roh
bukan saja memperanakkan kita, Ia juga memimpin kita yang
diperanakkan-Nya masuk ke dalam kehendak Allah untuk disempurnakan-
Nya.
Karena memberitakan Injil adalah hal yang sudah Allah tetapkan dalam
kekekalan dan dipercayakan kepada kita untuk melaksanakannya, maka
orang-orang yang dipredestinasikan oleh Allah akan menerima Injil
dan menjadi anak-anak Allah. Apakah doktrin ini menghambat
pemberitaan Injil? Tidak! Sebab predistinasi Allahlah yang menjamin
kita berhasil dalam pemberitaan Injil. Jika kita sungguh-sungguh
tahu bahwa penginjilan adalah menjalankan kehendak Allah, maka kita
tidak terpengaruh oleh hasil kita. Bukankah Nuh sudah menjadi contoh
bagi kita? Setelah 120 tahun memberitakan firman, yang menerima
hanya keluarganya sendiri. Itu sebabnya saya anggap Nuh penginjil
yang teragung sepanjang sejarah, karena dia memberitakan berdasarkan
kehendak Allah, bukan terpengaruh oleh hasil pemberitaannya.
Sekalipun demikian, faktanya pada saat kita memberitakan Injil tidak
mungkin tanpa ada hasil.
2. PENGUTUSAN KRISTUS
Setelah Tuhan Yesus menang atas kuasa maut, Dia lalu mengutus
gereja-Nya untuk memberitakan Injil. Jadi kita memberitakan Injil
karena Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan telah
mempercayakan tugas penginjilan kepada kita. Paulus berkata, "Kalau
andaikata aku melakukannya menurut kehendakku sendiri, ...
pemberitaan itu adalah tugas penyelenggaraan yang ditanggungkan
kepadaku" (1Korintus 9:17). Tuhan mempercayakan tugas itu pada diri
kita, betapa mulia hal ini dan menakutkan! Siapakah yang telah
menyerahkan tugas ini kepada kita? Pencipta semesta alam, Tuhan yang
telah menyelamatkan saya, yang akan menghakimi saya bahkan
menghakimi seluruh dunia! Tuhan yang begitu terhormat dan mulia
menyerahkan tugas itu kepada kita, maka kita pun patut memiliki rasa
tanggung jawab yang serius terhadapnya.
Gerakan penginjilan sepanjang sejarah merupakan kepatuhan anak-anak
Tuhan kepada pengutusan Kristus ini. Sejak saat rasul-rasul menerima
Amanat Agung di bukit Galilea sampai sekarang kita melihat dalil
yang tidak pernah berubah, yaitu barang siapa mematuhi pengutusan
ini, mereka menerima pertolongan Roh Kudus. Mereka menikmati
penyertaan Allah dan mereka menjadi rekan Allah untuk memberitakan
Injil kepada umat manusia.
3. DORONGAN KASIH KRISTUS
Paulus menyebutkan dengan jelas, "Akan tetapi Allah menunjukkan
kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita,
ketika kita masih berdosa" (Roma 5:8). Di sini terlihat bahwa
"Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup,
tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah
mati dan telah dibangkitkan untuk mereka" (2Korintus 5:15).
Ketika kasih hadir dalam hidup seseorang, dia akan menemukan bahwa
hidupnya dilingkungi, dipegang dan diliputi oleh kasih. Kasih telah
menguasai kebebasannya, juga telah menentukan arah langkahnya. Oleh
sebab itu dirinya sendiri rela ia serahkan kepada Tuhan, dan segenap
potensi yang ada pada dirinya ia serahkan sepenuhnya. Dengan kasih
Allah inilah beribu-ribu misionaris rela meninggalkan keluarga
mereka, bangsa mereka, dan menuju tempat yang jauh untuk
memberitakan Injil.
Pada tahun 1969 saya pertama kali melintasi benua Asia menuju Eropa.
Pada saat melewati Turki, karena terdorong oleh rasa ingin tahu,
saya melihat keadaan di bawah melalui jendela pesawat terbang. Di
situ terbentang propinsi Galatia, Atalia dan daerah-daerah lain,
yang pernah dijelajahi oleh Paulus. Baru saya tahu daerah itu begitu
tandus, begitu luas, begitu kering. Di daerah padang belantara yang
kering kerontang semacam ini, bisakah kita membayangkan bagaimana
Paulus telah pergi dengan kaki sebagai kendaraannya untuk
memberitakan Injil. Jika bukan kasih Kristus yang mendorongnya,
mungkinkah Paulus rela berkorban seperti ini?
Dalam hati para rasul terdapat suatu tekad yang agung yaitu pergi,
pergi! Paulus pergi, Petrus pergi, Yohanes pergi, Thomas pergi.
Pergi ke Afrika Utara, ke Arab, ke Eropa, ke India, ke Asia kecil.
Baik di padang belantara, di hutan rimba mereka hanya tahu pergi,
tanpa bertanya kemana mereka harus pergi, kapan mereka kembali,
apakah dijamin dapat kembali. Asalkan bisa pergi, hati mereka sudah
cukup puas. Bagi orang yang rela mati di tangan Tuhan, adakah tempat
yang tak dapat dikunjunginya? Manusia semacam ini semakin berat
jatuhnya, semakin besar aniaya yang dideritanya, justru mendesak dia
untuk menyelinap ke dalam lengan Tuhan yang penuh kasih dan
kelembutan. Itulah sebabnya mereka rela pergi.
Di sinilah letak rahasia rohani: berapa besar kasih seseorang
terhadap Tuhan tergantung sampai berapa dalam dia menyelami kasih
dan pengorbanan Tuhan di bukit Golgota. Bila seseorang sudah
mengalami kasih itu dan menyelaminya dengan sungguh-sungguh, dengan
sendirinya dia dapat mengasihi Tuhan dengan lebih mendalam.
Paulus mengalami pelbagai mara bahaya, baik yang berasal dari
banjir, penyamun, saudara-saudara palsu, di darat, di laut, dari
orang Yahudi dan bukan Yahudi; dalam keadaan telanjang, dihina,
sengsara, kedinginan, diadili dan dipukul, mengalami penganiayaan
dan penderitaan, tetapi dia tetap memberitakan Injil. Apakah
sebabnya dia rela menanggung semua itu? Gilakah dia? Bodohkah dia?
Sama sekali tidak! sebaliknya, Paulus tergolong kaum intelektual
agung pada zaman itu. Sampai hari ini dia tetap termasuk salah
seorang dari puluhan pemikir yang paling besar pengaruhnya terhadap
umat manusia dalam sejarah. Tokoh yang demikian besar, ternyata
telah melalui suatu kehidupan yang amat sangat menderita -- dia
dipukuli, dicaci-maki, dan dianiaya. Apakah sebabnya dia mau
menderita penganiayaan dunia yang sementara ini? Paulus sendiri
pasti merasa heran, sehingga dia menjawab, "Sebab kasih Kristus yang
menguasai kami ...." (2Korintus 5:14; dalam terjemahan lain:
menggerakkan dan mendorong). Sebagaimana seorang ibu yang melahirkan
tidak lagi bisa tahan ketika saatnya sudah tiba, demikian juga orang
yang didorong oleh kasih Tuhan tak mungkin menahan diri untuk
memberitakan Injil. Itulah arti dari "menggerakkan dan mendorong."
4. PERASAAN BERHUTANG
Orang Kristen adalah orang yang menuju kesempurnaan melalui perasaan
berhutang. Dalam Alkitab kita melihat hutang kemuliaan kita terhadap
Allah, hutang kasih kita terhadap sesama, dan lebih dari itu kita
masih mempunyai hutang terhadap dunia, yaitu hutang Injil. Bila
gereja hari ini tidak maju, itu adalah karena gereja tidak memiliki
perasaan berhutang. Paulus berkata, "Aku berhutang baik kepada orang
Yunani, maupun kepada orang bukan Yunani, baik kepada orang
terpelajar, maupun kepada orang tidak terpelajar" (Roma 1:14).
Perasaan berhutang semacam inilah yang selalu mendesak Paulus
memberitakan Injil kepada manusia dari lapisan mana saja.
Bagaimanakah dengan kita? Apakah kita juga menuju kesempurnaan
melalui perasaan berhutang ini, atau merasa diri sudah kaya sehingga
menuju kepada kemiskinan rohani kita? Bukankah kita yang seharusnya
menginjili dunia, tidak peduli siapa mereka, baik kaum miskin, kaum
kaya, orang intelektual, maupun rakyat jelata, yang sama-sama
membutuhkan Injil? Bukankah perasaan berhutang ini harus diikuti
oleh pembayarannya, yakni melaksanakan penginjilan? Apakah kita
sudah memperlengkapi diri untuk mengisi kebutuhan setiap lapisan
masyarakat dengan Injil secara relevan?
5. PENGHARAPAN MANUSIA
Alkitab dengan jelas memberitakan bahwa, "Injil Kerajaan ini akan
diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa,
sesudah itu barulah tiba kesudahannya" (Matius 24:14). Jadi apakah
yang harus dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan kedatangan
Tuhan kembali? Ada dua hal yang harus kita lakukan: yang pertama,
menyucikan diri, dan yang kedua, menyelesaikan pekerjaan-Nya melalui
pemberitaan Injil.
Bagaimanakah kita harus menyambut kedatangan Tuhan kembali? Bukankah
dengan hati yang bersih dan tangan yang suci? Maka kita harus
meniadakan kejahatan dari hati kita dan menghapus tipu daya dari
tangan kita, menghapus segala kenajisan dan hati yang bercabang,
supaya kita dapat menantikan kedatangan Yesus Kristus kembali dengan
tulus, dengan tekad yang bulat, dengan hati nurani yang bersih,
dengan kehidupan yang suci. Alkitab hampir tidak menyinggung
berdasarkan apakah kita dipakai oleh Tuhan, kecuali menjadi kudus.
"Jika orang menyucikan dirinya dengan hal-hal yang jahat, ia akan
menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan,
dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap
pekerjaan yang mulia" (2Timotius 2:21). Taat kepada Roh Kudus,
membiarkan Roh Kudus bekerja dalam diri kita, dengan itulah baru
kita dapat mempunyai kehidupan yang kudus dan menghasilkan buah-buah
Roh Kudus.
Hal yang kedua yaitu memberitakan Injil sampai Kristus datang
kembali. Karena kedatangan Kristus yang kedua kali itu bukan dengan
status Juruselamat, bukan lagi sebagai utusan perdamaian, melainkan
sebagai Hakim yang terakhir, penghakiman dari yang Maha Kuasa. Itu
sebabnya kita harus memberitakan firman Tuhan dengan serius,
menasehati orang agar bertobat kembali kepada Kristus.
Sumber:
Judul Buku : Konsultasi Pelayanan
Judul Artikel: Motivasi Memberitakan Injil
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : LPMI dan Gereja-gereja Mitra
Halaman : 21 - 26