You are hereArtikel Misi / Mengapa Harus Salib?

Mengapa Harus Salib?


Mengapa Yesus turun dari surga, masuk dunia gelap penuh cela, berdoa, bergumul dalam taman, dan cawan pahit pun diterima-Nya. Mengapa Yesus menderita didera dan mahkota duri pun dipakai-Nya? Mengapa Yesus mati bagi saya? Kasih! Ya, karena kasih-Nya.

Ada tiga kata tanya "mengapa" dalam syair lagu karya E. G. Heidelberg yang direkam dalam "Nyanyikanlah Kidung Baru 85:1". Pengarang mewakili setiap orang yang merasa heran saat memandang salib. Perasaan heran itu terungkap dalam kata "mengapa". Ya, mengapa, mengapa, dan mengapa? Mengapa Yesus menjadi manusia? Mengapa Yesus disalib? Dan mengapa Yesus mati bagi saya?

Pada awal mula kekristenan, para murid mencoba menjawab pertanyaan dari kalangan non-Kristen tentang kematian Kristus. Salah satunya Paulus. Dengan terus terang, meskipun agak sedikit emosi, Paulus menyatakan, "Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah" (1 Korintus 1:18). Paulus menyatakan dengan tegas dan lugas bagi orang yang tidak percaya, salib memang kebodohan. Apakah agak mengada-ngada namanya, Allah mau menjadi manusia dan akhirnya sekarat dan mati di atas kayu salib? Seperti tidak ada kerjaan saja! Jangan-jangan Allah adalah pribadi yang gemar sensasi. Jika memang demikian, bukankah kebodohan namanya jika manusia memercayai salib itu? Tetapi Paulus menegaskan, bagi orang percaya, salib adalah kekuatan Allah. Tak terlalu mudah memang mengartikan frasa kekuatan Allah. Oleh karena itu, 1 Korintus 1:18 (terjemahan BIS) mengatakan, "Bagi orang-orang yang menuju kebinasaan, berita tentang kematian Kristus pada salib merupakan omong kosong. Tetapi bagi kita yang diselamatkan oleh Allah, berita itu merupakan cara Allah menunjukkan kuasa-Nya."

Menurut Paulus, berita tentang kematian Kristus pada salib adalah cara Allah menunjukkan kuasa-Nya. Tegasnya, jalan salib adalah jalan yang dipakai Allah untuk memperlihatkan kuasa-Nya. Inilah cara yang ditempuh Allah. Mengapa Paulus sampai pada kesimpulan semacam itu? Sepertinya Paulus sangat mengerti keberadaan para pembaca suratnya. Paulus cukup memahami pola pikir warga jemaat Korintus yang terdiri atas orang Yahudi dan orang bukan Yahudi. Dalam adat Yahudi, kematian disalib adalah kematian yang paling nista. Secara harfiah, disalib berarti digantung, secara kiasan berarti dibuang oleh bumi dan ditolak surga. Dalam pemahaman orang Yahudi, seorang yang digantung berarti terkutuk oleh Allah (Ulangan 21:23). Jika memang demikian, bagaimana mungkin Allah memakai cara yang terkutuk ini? Dalam pola pikir orang non-Yahudi, kematian Kristus sungguh tidak masuk akal. Kalau Yesus adalah Allah sendiri, mengapa pula Dia harus mengambil jalan derita? Bukankah Dia Allah? Bukankah dengan kuasa-Nya Dia dapat memutihkan dosa manusia? Mengapa Dia harus mengambil jalan sengsara? Untuk apa? Bukankah jalan salib adalah jalan kebodohan? Kalau memang dapat memilih jalan mudah, mengapa memilih jalan sukar? Bukankah kita harus bertindak efisien dan efektif? Lalu mengapa pula kita harus menyembah Allah yang mengambil jalan bodoh ini?

Namun, berhadapan dengan dua pola pikir manusia, Paulus hanya punya satu pendapat, "Jangan memakai pola pikir manusia! Karena ada tertulis, 'Aku akan membinasakan hikmat orang-orang berhikmat dan kearifan orang-orang bijak akan Kulenyapkan.'" "Di manakah orang yang berhikmat? Di manakah ahli Taurat? Di manakah pembantah dari dunia ini? Bukankah Allah telah membuat hikmat dunia ini menjadi kebodohan? Oleh karena dunia dalam hikmat Allah tidak mengenal Allah oleh hikmatnya, maka Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil" (1 Korintus 1:19-21). Agar lebih mudah dipahami Alkitab, terjemahan BIS mengatakan, "Sebab dalam Alkitab, Allah berkata, 'Kebijaksanaan orang arif akan Kukacaukan dan pengertian orang-orang berilmu akan Kulenyapkan.'" Nah, apa gunanya orang-orang arif itu? Apa gunanya orang yang berilmu? Apa gunanya ahli-ahli pikir dunia itu? Allah sudah menunjukkan bahwa kebijaksanaan dunia ini adalah omong kosong belaka! Karena bagaimanapun pandainya manusia, ia tidak dapat mengenal Allah melalui kepandaiannya sendiri. Tetapi justru karena Allah bijaksana, maka Ia berkenan menyelamatkan orang-orang yang percaya kepada-Nya melalui berita yang kami wartakan, yang dianggap omong kosong oleh dunia.

Paulus menyatakan bahwa Allah tidak memakai pola pikir manusia. Alasannya, pertama, karena Dia Allah. Dan bicara soal Allah berarti berkaitan dengan soal pencipta dan ciptaan. Kalau sudah begini, siapakah manusia yang dapat berkata bahwa pendapatnya pasti lebih hebat dari sang Penciptanya? Oleh karena itu, jalan salib diambil Allah dalam kebijaksanaan-Nya. Paulus sadar, berita tentang kematian Yesus itu menyinggung perasaan orang Yahudi dan dianggap omong kosong oleh orang-orang bukan Yahudi. Tetapi oleh orang-orang yang sudah dipanggil oleh Allah -- baik orang Yanudi, maupun orang non-Yahudi -- berita itu merupakan cara Allah menunjukkan kuasa dan kebijaksanaan-Nya (1 Korintus 1:23-24, BIS). Tetapi inilah pemahaman iman Paulus mengenai berita tentang kematian Kristus! Kematian Kristus di atas kayu salib menunjukkan kuasa dan kebijaksanaan-Nya. Artinya salib menunjukkan kuasa Allah! Bicara soal kuasa, banyak orang menyempitkan arti kuasa dengan kemampuan melakukan segala sesuatu. Kuasa berarti kemampuan melakukan hal-hal yang luar biasa. Dan bicara soal salib, di sini manusia sering lupa, kalau kita percaya Allah itu Mahakuasa, itu berarti Dia mampu melakukan segala sesuatu di luar pengetahuan dan keinginan kita. Singkat kata, Allah mampu melakukan sesuatu yang dalam mata manusia tidak layak dilakukan Allah. Misalnya, mati disalib!

Kemanusiaan kita mungkin protes. Bagaimana mungkin Allah mati? Pertanyaan itu dapat kita jawab dengan pertanyaan baru, kalau bukan Allah yang mati, lalu siapa lagi yang dapat menebus manusia berdosa? Dan inilah kebijaksanaan Allah itu! Pada salib tampaklah keadilan dan kasih Allah. Salib menyatakan keadilan Allah, yakni upah dosa adalah maut. Setiap manusia berdosa dan upahnya adalah maut. Tetapi Allah mengasihi manusia. Allah tidak ingin manusia binasa. Oleh karena itu, harus ada pribadi yang tidak berdosa yang menggantikan manusia berdosa. Yesuslah yang menggantikan manusia berdosa. Itulah kasih Allah sekaligus keadilan Allah. Salib menyatakan keadilan dan kasih Allah. Dan jalan itulah yang harus ditempuh Yesus -- Allah yang menjadi manusia. Jika kita memerhatikan catatan para penginjil tentang salib, tampak bahwa kematian Yesus memang berbeda dengan kematian manusia biasa. Yesus mengalami siksa salib, tetapi Dia tidak pernah dicabut nyawa-Nya. Dia menyerahkan nyawa-Nya. Nyawa itu tetap berada dalam kuasa-Nya. Dia berkuasa untuk menyerahkannya. Dan kemudian pada hari ketiga, berkuasa pula untuk mengambilnya kembali. Pada titik ini pula kita dapat mengatakan bahwa Yesus adalah kurban, bukan korban.

Dari sudut pandang manusia, tampaklah bahwa Yesus adalah korban, bukan tumbal, pertikaian antara pemerintah dan alim ulama. Semua pihak itu berkepentingan. Dan Yesuslah kambing hitamnya. Alim ulama merasa mendapat saingan baru dan berusaha menyingkirkan-Nya melalui tangan pemerintah. Pontius Pilatus lebih suka mengikuti pendapat orang banyak yang telah dihasut, agar kekuasaannya tetap kokoh. Pontius Pilatus, sebagai pejabat pemerintahan yang sah, lebih suka cuci tangan ketimbang memimpin keputusan secara adil.

Dari sudut pandang Allah, Yesus adalah kurban. Artinya dengan sengaja Yesus menyerahkan diri-Nya sebagai kurban bagi Allah. Dengan rela Yesus menjadikan diri-Nya sebagai kurban Penebus dosa bagi umat manusia. Yesus tidak pernah menghindari salib. Dia taat menjalani panggilan-Nya sebagai kurban sempurna. Jalan salib adalah jalan yang sengaja ditempuh Yesus. Ini bukan jalan yang dipaksakan kepada diri-Nya. Dia datang ke dunia memang untuk mati. Dan semua itu hanya bertumpu pada kata "kasih". Kasih adalah satu-satunya alasan bagi Allah menempuh jalan salib. Mengapa salib? Kasih-Nya, ya, karena kasih-Nya.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul majalah : DIA, Edisi 2, Tahun XIX/2006
Penulis : Yoel M. Indrasmoro
Penerbit : Yayasan Perkantas (Persekutuan Kristen Antar Univesitas), Jakarta 2006
Halaman : 33 -- 35

e-JEMMi 14/2009