|
Resources |
|
|
|
|
Artikel
Artikel-artikel MISI |
Bahan PA
Misi Allah Bagi Dunia & Para Pengubah Dunia |
Cerita Misi
Alkitab di Seluruh Dunia : 48 Kisah Nyata |
Buku
Buku-buku Misi |
|
Doa |
|
Info |
|
|
|
|
|
|
|
| |
|
artikel 66 dari 163 artikel |
|
|
|
SITUASI KULTURAL-RELIGIUS DI ASIA DALAM TERANG FIRMAN ALLAH
Kebudayaan dan agama erat sekali hubungannya. Bahkan, seringkali
sangat sulit dipisahkan. Oleh sebab itu, agar dapat mengerti dan
memberikan evaluasi terhadap kebudayaan-kebudayaan Asia, maka kita
harus mengetahui lebih dahulu agama-agama dan kepercayaan-
kepercayaan orang Asia. Kita tentu tahu bahwa semua agama besar di
dunia berasal dari Asia, seperti: Hindu, Budha, Islam, Kung-Fu Tze,
Shinto, dan Kristen. Agama-agama tersebut bertemu bersama dalam
situasi kebudayaan Asia yang diselubungi oleh kepercayaan dinamisme
dan animisme. Selain itu, dalam pertumbuhannya, agama-agama ini
saling bersaing dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Bagi para utusan Injil lintas-budaya, harus bersedia mempelajari
kebudayaan masyarakat yang akan dilayani. Ini penting, agar mereka
dapat menentukan unsur-unsur mana dalam kebudayaan masyarakat
tersebut yang bersifat netral, mana yang melawan atau bertentangan
dengan Alkitab, dan mana yang sesuai dengan Alkitab. Sebab, memang
tidak ada satu pun kebudayaan di dunia ini yang dapat dikemukakan
sebagai contoh kebudayaan yang Alkitabiah. Setiap kebudayaan bangsa
yang diperhadapkan kepada Injil, pasti mengalami koreksi, penyucian,
dan perombakan.
Setiap utusan Injil yang mengabaikan hal ini, bisa jatuh ke dalam
sikap ekstrem, misalnya:
- Ia mungkin langsung mengambil orang-orang yang baru bertobat itu
dari lingkungan kebudayaannya. Akibatnya, mereka tidak punya
kesempatan bersaksi di lingkungannya yang lama.
- Mungkin langsung memakai kebudayaan setempat sebagai sarana
pekabaran Injil tanpa melihat bahwa kebudayaan tersebut memiliki
unsur-unsur yang bertentangan dengan Injil. Misalnya: Pemakaian
sarana wayang untuk pekabaran Injil. Ini memang baik, tetapi
kalau si utusan Injil tidak tahu bahwa dalam wayang sendiri ada
unsur-unsur magis religiusnya, maka bisa jadi pekabaran Injil
bertabrakan dengan pemanggilan roh-roh halus.
Sebaiknya, orang-orang setempat yang sudah diubahkan hidupnya karena
percaya kepada Tuhan Yesus, benar-benar dibimbing untuk mempelajari
Alkitab dengan baik, sehingga dengan demikian mereka akan mampu
untuk menentukan sendiri unsur-unsur kebudayaannya, mana yang masih
bisa dipertahankan dan mana yang harus dibuang atau ditinggalkan.
Utusan Injil dari daerah atau negara lain, tentu sulit untuk
melakukan hal tersebut, karena mereka tidak bisa menyelami
kebudayaan setempat secara tepat.
Unsur-unsur Kebudayaan Asia yang Bersifat Umum
Kedudukan Manusia Sebagai Satu Oknum yang Berpribadi
Pada umumnya, manusia sebagai pribadi di Asia, tenggelam atau hilang
dalam masyarakatnya karena kuatnya tradisi dan kebudayaan yang
mengelilinginya. Tanggung jawab dan hak pribadinya terhanyut dalam
air bah masyarakat serta kebudayaannya.
Melalui komunikasi Injil, setiap "manusia" dipanggil secara pribadi
oleh Sang Pencipta. Panggilan ini merupakan panggilan keselamatan.
Bila ia menjawab "ya" terhadap panggilan-Nya, maka "ia" menemukan
kepribadiannya sendiri. Kepribadian tersebut adalah kepribadian yang
dikuasai dosa dan yang membutuhkan kemerdekaan dari dosa tersebut.
Bila jawaban "ya" tadi disertai dengan kerinduan dan kesediaannya
menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, maka "ia"
mengalami pembaharuan hidup atau dengan kata lain, mengalami
kelahiran baru yang dikerjakan oleh Roh Kudus dan Firman Allah
(2Korintus 5:17).
Dalam proses perkembangan selanjutnya, "ia" akan tiba pada suatu
masa di mana "ia" sendiri berdiri dan menilai kembali hubungan,
serta ikatannya dengan kebudayaannya yang lama. Misalnya pergaulan
duniawi; tidak mengindahkan Tuhan; pemujaan atau penyembahan
berhala; dan adat-istiadat yang dikuasai iblis. Kemudian, ia mulai
sadar bahwa kebudayaannya itu hanyalah ciptaan manusia. Suatu
ciptaan yang terutama beroleh tempat dalam hati manusia sendiri atau
dalam kata-kata J. Ban Baal, "Kita adalah kebudayaan kita."
(J. Zoetmulder, Cultuur Oost an West, Penerbitan dan Balai Buku
Indonesia, Jakarta, dll, hal. 15).
Orang yang baru dilahirkan kembali oleh Roh Kudus membutuhkan waktu
untuk menjadi matang dalam imannya dan matang dalam penilaiannya
terhadap kebudayaan, mana yang dapat dipertahankan dan mana yang
perlu ditinggalkan atau disucikan. Biasanya kematangan tersebut baru
dicapai setelah ia sungguh-sungguh mendalami Firman Tuhan (Alkitab)
dalam bahasa kebudayaannya. Inilah pentingnya penterjemahan Alkitab
dalam berbagai bahasa di dunia.
Sebagai hasil terbesar dari pengaruh Injil dalam kebudayaan dan
peradaban manusia adalah pembentukan manusia sebagai satu pribadi,
yang berdiri di hadapan Tuhan dan sesama manusia, serta
kebudayaannya dengan penuh tanggung jawab. Mungkin hal inilah yang
menjadi dasar kemajuan bangsa-bangsa Eropa yang sudah menerima Injil
lebih dahulu. Namun sayang, dalam proses perkembangannya,
pengindividuan di Barat sudah terlampau jauh dan bebas, sehingga
individu menjadi tujuan. Dengan demikian kehilangan kepribadian
Kristen yang Alkitabiah.
Sebagian utusan Injil Barat seringkali dengan tidak sadar telah
memamerkan keindividuannya. Mereka kurang menghargai kepribadian
Kristen Asia yang bersifat gotong royong, toleran, serta memiliki
ikatan kekeluargaan yang mesra. Yang penting seharusnya adalah
berusaha menemukan keseimbangan antara individu, keluarga,
masyarakat, serta kebudayaan. Misalnya: Orang yang menjadi Kristen
tetap setia ikut dalam kerja bakti desa. Artinya, saling tolong-
menolong dan tetap memberi sumbangan untuk desa. Bahkan, orang
Kristen seharusnya lebih baik daripada orang yang belum menerima
Kristus.
Di sinilah tugas utusan Injil lintas-budaya. Ia perlu memelihara dan
menolong orang Kristen baru di dalam hubungan dengan kebudayaannya
dan tidak mengeluarkannya dari ikatan kebudayaan tersebut. Selain
itu, seorang penginjil tidak menyodorkan syarat-syarat atau cara-
cara kekristenan yang terikat kepada kebudayaannya. Dalam hal ini,
hikmat Tuhan dalam Roh Kudus sebagai Maha Guru untuk menyaring,
sangat dibutuhkan.
Dalam hubungannya dengan kebudayaan, pertobatan secara marga atau
keluarga, seperti pertobatan Kornelius dalam Kisah Para Rasul pasal
10, lebih menguntungkan daripada pertobatan individu. Ini disebabkan
dalam pertobatan individu, kadang-kadang terjadi pengucilan. Si
petobat baru dikucilkan dari keluarga atau marganya atau masyarakat
sekitarnya. Dalam hal ini utusan Injil harus menggumulkan dua cara
atau kemungkinan untuk:
Membentuk suatu masyarakat Kristen yang cukup kuat, agar dengan
kasih dan kerendahan hati, mampu menyaingi kebudayaan-kebudayaan
dan ikatan tradisi yang menolak Firman Allah.
Hal ini "mungkin", bila terjadi pertobatan massal, seperti:
marga, desa, people movement yang benar-benar meninggalkan segala
adat-istiadat yang bersangkutan dengan penyembahan berhala atau
penyembahan menurut agama/kepercayaan yang lama. Contoh: lahirnya
Gereja Kristen Injili Sumatera Selatan (GEKISUS) pada tahun 1964.
Hampir seluruh anggota gereja ini berlatar-belakang Islam.
Sebelumnya, siang dan malam selama dua setengah bulan, Injil
terus-menerus diberitakan secara terbuka kepada penduduk.
Pemberitaan ini diakhiri dengan mengundang mereka untuk bertobat
dan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya.
Undangan ini ternyata disambut oleh sebagian penduduk dengan
diikuti pembakaran jimat-jimat, benda-benda berhala, dan
penghalauan kuasa-kuasa setan.
Pada tanggal 16 Agustus 1964, 299 orang dibaptiskan. Mereka
berasal dari satu marga yang berdomisili dalam empat desa yang
berpenduduk 1000 orang. Ini berarti, 30% penduduk menjadi
Kristen. Karena jumlah yang cukup banyak ini, mereka dapat
berdiri dan bertahan terhadap celaan, ancaman, dan aniaya dari
masyarakat sekitarnya. Demikian juga, kesaksian-kesaksian hidup
dari keluarga Kristen baru yang sudah mengalami pembaharuan
hidup itu, turut meredakan suasana celaan dan ancaman.
Pelayanan kasih yang menyusul kemudian, setelah didirikan gereja,
sangat menolong posisi kehidupan orang-orang Kristen setempat. SD
dan SMP Kristen serta balai kesehatan didirikan. Pelayanan
pendidikan dan kesehatan ini didirikan untuk semua golongan dalam
masyarakat sebagai pelengkap sarana komunikasi Injil.
Bentuk-bentuk kebudayaan yang berupa pakaian daerah dan yang
bersifat netral masih dipertahankan di sini. Misalnya:
mendengarkan firman Tuhan dengan duduk bersila (di rumah-rumah
keluarga); makan dengan tangan (tanpa sendok) sesudah dibasuh;
dan memakai kain sarung dan kopiah.
Demikian juga halnya, cara pria dan wanita berjalan masih tetap
dipertahankan. Pria dan wanita tidak boleh berjalan berdampingan,
meskipun mereka sudah menjadi suami-istri. Suami/pria harus
berada di depan sejauh lebih kurang 5 meter, baru kemudian
istri/wanita menyusul di belakangnya. Ini merupakan suatu cara
untuk menghormati suami/pria. Baru kira-kira setahun kemudian,
cara hidup ini dapat diubah, yaitu setelah mereka mengerti Firman
Tuhan mengenai kedudukan wanita.
Dengan cara-cara tersebut di atas, maka agama Kristen bisa
bertahan dan berkembang di Sumatera Selatan, khususnya wilayah
Bengkulu Selatan, yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Semula, semua usaha pelayanan Injil dan pelayanan kasih ini
dikerjakan oleh orang-orang Indonesia pribumi. Namun kemudian,
menyusullah tenaga-tenaga asing. Ini penting untuk menghindari
anggapan bahwa agama Kristen adalah agama Barat.
- Menyatakan kehadiran Kristus.
Oleh Anugerah Tuhan Yesus dan hikmat Roh Kudus, Dr. Adriani dan
Dr. Kruyt dalam sejarah gereja di Indonesia telah berhasil
menempuh cara dan pendekatan ini di Sulawesi Tengah. Kehadiran
mereka dalam nama Tuhan Yesus Kristus di tempat itu, telah
menunjukkan kehadiran Kristus dalam pengertian, penderitaan,
kasih, dan pelayanan. Tentu kehadiran Kristen tidak cukup untuk
menerobos dan membongkar kebudayaan lama, adat-istiadat, dan
penyembahan berhala yang ditolak oleh Firman Allah. Oleh sebab
itu, pemberitaan Injil harus tetap disampaikan secara verbal
untuk membawa orang sampai mendapat kesempatan mengambil
keputusan, menerima atau menolak Kristus sebagai Tuhan dan
Juruselamat pribadinya.
Dalam usahanya mencapai orang-orang Poso bagi Kristus, Dr. Kruyt
telah menyediakan diri untuk tidak dihormati oleh orang-orang
yang dilayaninya. Ia mengadakan kontak, baik dengan para pemimpin
masyarakat atau pun dengan masyarakat biasa. Dengan susah payah,
Kruyt menjalin hubungan baik dengan mereka. Ia pernah nyaris mati
dikeroyok orang-orang yang tak menyukainya.
Puji Tuhan, ia tidak mundur. Bahkan, ia terus berusaha mencari
cara yang tepat agar bisa berkomunikasi baik dengan mereka.
Dengan segala tantangan dan penolakan dari masyarakat setempat,
ia mendirikan sekolah-sekolah. Kemudian, cara yang rupanya sangat
disenangi oleh masyarakat di tempat itu ialah cara pengobatan
untuk orang-orang sakit yang diberinya nama "obat-obatan Allah".
Cara ini sangat penting untuk perkembangan usaha pekabaran Injil
di Sulawesi Tengah, khususnya daerah Poso.
Dalam kehadirannya, Kruyt harus menghadapi suatu kelompok
masyarakat di mana setiap oknumnya tak mungkin mengambil suatu
keputusan sendiri, terlepas dari kelompok masyarakatnya. Dalam
salah satu suratnya kepada Direktur Gunning, tersirat pernyataan
bahwa "... di kalangan orang-orang Poso tidak ada pertobatan
pribadi, pertobatan perorangan, seperti yang kita artikan." (J.
Kruyt, 1997:11).
Dr. Adriani, dalam hubungan pelayanannya terhadap orang-orang
Poso memperlihatkan kepada kita "bahwa belajar berbicara dan
mengerti bahasa para pendengar kita adalah penting untuk
pemberitaan Injil yang Sejati." (Ibid, hal. 113). Dalam
kehadirannya di antara orang-orang Poso, Adriani telah tekun
belajar dari murid-muridnya sendiri dalam membuat cerita yang
hidup untuk mengkomunikasikan Injil kepada mereka. Dengan sabar,
Ia mengajarkan cerita Alkitab kepada anak-anak, kemudian setelah
itu ia meminta mereka menceritakan kembali apa yang sudah mereka
dengar. Dari cerita murid-muridnya inilah, kemudian dijadikan
bahan untuk membuat karangan-karangan untuk pelayanan Injil.
Melalui waktu yang cukup panjang, yaitu 17 tahun, akhirnya Kruyt
dan Adrian berhasil membaptiskan orang-orang Kristen pertama di
Poso, Sulawesi Tengah.
Pelayanan dalam bentuk kehadiran ini cenderung dipergunakan pada
masa kini. Oleh sebab itu, saya sangat setuju dengan pandangan
Dr. McGavran yang disampaikan pada konsultasi para misiolog di
Selly Oak, Birmingham, tanggal 16 April 1968 yang lalu. Saya
menyimpulkan pandangannya sebagai berikut:
- Kehadiran diterima sebagai alat dan "bukan" tujuan -- supaya
tidak menuju relativisme.
- Kehadiran maupun proklamasi cenderung untuk menjadi soal rasio
dan intelektual, seolah-olah iman timbul dari diskusi ilmiah.
- Kehadiran bukanlah konsep Alkitabiah untuk pekabaran Injil.
Para nabi dan rasul serta Tuhan Yesus sendiri tidak pernah
menjadi tamu terhormat untuk mendekati agama-agama lain.
Kehadiran hanya dapat dipakai dalam situasi-situasi yang
sulit, seperti di Tiongkok atau negara-negara lain yang
tertutup bagi proklamasi Injil.
- Kehadiran adalah jalan yang harus ditempuh oleh orang-orang
Kristen pribumi dalam berkomunikasi dengan masyarakat
sekitarnya.
Kehadiran setiap orang Kristen, termasuk utusan Injil, harus
merupakan kehadiran Kristen. Setelah itu, Injil diproklamasikan.
Sumber:
Judul Buku | : | Identitas Kebudayaan Asia dalam Terang Firman Allah |
Judul Artikel | : | Situasi Kultural-Religius di Asia dalam Terang Firman Allah |
Penulis | : | Dr. P. Octavianus |
Penerbit | : | Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia Departemen Literatur, 1985 |
Hal | : | 33 - 39 |
e-JEMMi 28/2004
|
|
|
|
|
| |
|
|
|
|
|
|
|