Mengembangkan Karakter Pemimpin Kristen (I)

Pendahuluan

Hampir mustahil memisahkan antara kepemimpinan Kristen dengan karakternya, antara kepemimpinan Kristen dengan kehidupan spiritualnya. Ini merupakan hal yang paling penting dan absolut jika hendak menjadi pemimpin Kristen yang efektif. Setiap pemimpin gereja yang potensial juga akan terkena diskualifikasi jika tidak menunjukkan kehidupan kerohanian yang baik. Itu sebabnya Yesus memberikan teladan dengan menjadi manusia, agar para pemimpin Kristen memiliki roh seorang hamba Tuhan yang dimampukan dan diperkaya oleh Roh Kudus.

Saat ini, bangsa Indonesia sangat membutuhkan pemimpin yang memiliki karakter. Hampir semua sisi kenegaraan dililit oleh masalah, baik bidang pemerintahan, pendidikan, olah raga, bahkan gereja juga tidak bebas dari permasalahan. Oleh karena itu, bangsa ini sangat membutuhkan pemimpin yang memiliki integritas.

Pembahasan dalam tulisan ini akan difokuskan pada karakter para pemimpin gereja, serta peran mereka dalam mengembangkan karakter bangsa, paling tidak menjadi teladan. Karakter yang dimaksud, bukan berbicara soal dedikasi dan kekudusan, walaupun itu adalah esensial. Tetapi, karakter ini berbicara tentang manusia sebagai ciptaan Allah, yang berperan mentransformasikan (mengubah) dunia ini.

Keunikan Karakter

Karakter atau pribadi atau oknum adalah suatu istilah yang menunjuk pada sesuatu yang hidup, yang diciptakan Allah menurut gambar dan rupa Allah. Ini adalah hal yang sangat penting untuk diketahui dalam kepemimpinan Kristen karena manusia adalah pribadi yang diciptakan Allah, yang memunyai keunikan khusus yang tidak ada duanya di muka bumi ini. Saya adalah saya, di mana tidak ada orang yang bisa menyamakannya. Jadi, karakter atau kepribadian kita masing-masing adalah unik, tidak dapat terulang, tidak dapat ditiru orang lain. Inilah yang berharga yang manusia miliki.

Itu sebabnya ketika berbicara tentang pengembangan karakter pemimpin agar bisa menjadi teladan, maka bukan berarti menciptakan keseragaman, melainkan pengembangan yang mengikuti model dan teladan dari Allah di dalam pribadi Yesus Kristus. Setiap pemimpin Kristen memiliki keunikan khusus sebagai pribadi di mata Tuhan. Tulisan ini tidak bermaksud menjadikan semua orang seragam, tetapi memperkembangkan pribadi sesuai dengan apa yang Tuhan sudah beri dalam kehidupan setiap orang.

Pemimpin Adalah Kunci

Di dalam tren dunia manajemen umum, fokus keberhasilan adalah kepada pemimpin. Peter Drucker (seorang pakar manajemen) berkata, "Sesungguhnya, para eksekutif yang tidak berhasil mengefektifkan dirinya sendiri, tentu tidak dapat mengefektifkan rekan kerja atau bawahannya."

Seorang pemimpin tidak dapat berharap banyak bila hanya mengandalkan perubahan pada orang lain, karena perubahan harus terjadi dulu pada diri sang pemimpin. Itulah sebabnya, kepemimpinan sebagai agen perubahan (agent of changes) harus melihat diri dan karakter yang ada pada dirinya.

Persoalan yang sering dihadapi oleh para pemimpin dewasa ini ada beberapa hal. Pertama, godaan untuk merasa cukup (self-sufficient). Artinya, para pemimpin merasa dirinya tidak memerlukan orang lain, padahal dia perlu. Dia tidak perlu lagi belajar, tidak perlu bekerja sama dengan orang lain karena sudah merasa diri cukup dengan gelar kesarjanaan yang diperolehnya. Padahal, bagi dunia sekarang ini ketergantungan, kerja sama, jaringan kerja (networking) sangat penting untuk mencapai keberhasilan. Apalagi kita, kita sangat perlu bergantung kepada sang Pencipta, yaitu Allah. Secara jelas Yesus mengatakan bahwa tanpa Aku, kamu tidak akan dapat berbuat apa-apa (Yohanes 15:5).

Godaan yang kedua adalah ingin menjadi spektakuler, yang biasa disebut dengan mental selebritis (celebrity mentality). Artinya, ingin cepat terkenal, dan bukannya bergantung pada Tuhan tetapi kepada karisma, pengaruh diri, dan bakatnya. Kecenderungan untuk menjadi cepat terkenal dan berhasil, menyebabkan banyak pemimpin muda terjebak dalam frustrasi karena ketidakseimbangan antara keinginan dan karakternya yang belum matang dalam pelayanan.

Godaan yang ketiga adalah keinginan yang berpusat pada diri (self-centered desire) untuk berkuasa. Keinginan ini muncul dalam bentuk ingin menguasai orang-orang, gereja, dan keuangan. Padahal, dalam pelayanan, jemaat adalah milik Kristus.

Oleh sebab itu, pengembangan karakter bangsa harus dimulai dari diri sendiri, yang memiliki hubungan yang akrab dengan Kristus yang adalah pemimpinnya. Ada beberapa karakter pada diri yang perlu dikembangkan terlebih dahulu sebelum dapat memengaruhi orang lain:

  1. Memimpin dengan contoh.

  2. Banyak orang yang membicarakannya, tetapi hanya sedikit orang yang benar-benar mengertinya. Banyak orang ingin menjadi teladan, tetapi hanya sedikit yang mencapainya.

    Seorang pemimpin Kristen berperan untuk membentuk karakter Kristen, bukan mentransfer pengetahuan teologi atau sekadar tahu Alkitab. Sebagai seorang pemimpin gereja atau pelayanan lainnya, tugas pemimpin adalah pembentukan karakter Kristen.

    Bila demikian, maka pemimpin sendiri harus memiliki karakter yang bertanggung jawab dan memimpin dengan contoh (leading by example). Ketika kita mempelajari sejarah gereja, apakah kepentingannya bagi kita sehingga nama-nama dan karya mereka harus kita pelajari? Itu karena para pemimpin memiliki suatu karakter yang agung, sehingga layak untuk ditulis sebagai sejarah. Sejarah para tokoh gereja menunjukkan betapa mereka, sebagai manusia, telah menjadi teladan dalam karyanya yang semuanya bermuara dari karakternya. Nama seperti Paulus, Timotius, Agustinus, Polikarpus, Martin Luther, Calvin, Karl Barth, John Wesley (dan banyak nama lainnya tidak disebut di sini), semuanya dicatat karena karakter mereka dapat menjadi teladan bagi kita. Pertanyaannya adalah apakah sejarah akan memperlakukan kita sama seperti mereka karena teladan karakter yang kita miliki? Waktu yang akan berbicara karena "waktu adalah kesaksian yang paling terbukti bagi kepribadian Anda".

    Hal lainnya adalah perintah Paulus yang meminta calon pemimpin yang dibinanya, dalam hal ini Timotius dan Titus, untuk bertumbuh dalam tiga hal yaitu kerohanian, kepribadian, dan kemahiran/keterampilan (1 Timotius 4:12; Titus 2:7-8). Paulus bersikeras bahwa mereka harus menjadi teladan dalam seluruh aspek kehidupan rohani, karakter, dan keterampilan mereka dalam mengajar dan mengembangkan karunia rohani mereka.

  3. Memimpin dengan integritas.

  4. Dalam sebuah survei di Amerika yang ditujukan kepada kurang lebih 1.300 pemimpin perusahaan dan pejabat pemerintahan, diberikan suatu pertanyaan "Kualitas apakah yang paling penting untuk dimiliki supaya sukses menjadi pemimpin?" Jawabannya menarik karena mayoritas, 71 persen, memilih integritas sebagai syarat yang terpenting.

    Arti kata integritas adalah keadaan yang sempurna, di mana perkataan dan perbuatan menyatu dalam diri seseorang. Seseorang yang memiliki integritas tidak akan meniru orang lain, tidak berpura-pura, tidak ada yang disembunyikan, dan tidak ada yang perlu ditakuti. Kehidupan seorang pemimpin adalah seperti surat Kristus yang terbuka (2 Korintus 3:2).

    Beberapa ciri integritas seorang pemimpin Kristen: pertama, hidup sesuai dengan apa yang diajarkan; kedua, melakukan sesuai dengan apa yang dikatakan; ketiga, jujur dengan orang lain; keempat, memberikan yang terbaik bagi kepentingan orang lain atau organisasi daripada diri sendiri; kelima, hidup secara transparan.

    Integritas sebagai karakter bukan dilahirkan, melainkan dikembangkan secara satu per satu dalam kehidupan kita, melalui kehidupan yang mau belajar dan keberanian untuk dibentuk oleh Roh Kudus. Itu sebabnya, seorang pemimpin terkenal berani berkesimpulan, bahwa karakter yang baik akan jauh lebih berharga dan dipuji manusia, dibandingkan dengan bakat atau karunia yang terhebat sekalipun. Kegagalan sebagai pemimpin bukan terletak pada strategi dan kemampuannya dalam memimpin, melainkan pada tidak adanya integritas pada diri pemimpin.

  5. Memimpin dengan jiwa dan roh.

  6. Memimpin dengan jiwa dan roh adalah pelayanan kita nantinya, bukan hanya soal pekerjaan laksana seorang upahan. Sebagai contoh (ini bukan kisah nyata, tetapi bisa terjadi di kota-kota besar), seorang majelis bertanya kepada gembala dan stafnya, "Mengapa Anda sebagai gembala tidak berkunjung?" "Karena tidak ada uang transpor, apalagi gaji yang kecil ini tidak cukup untuk makan sebulan," jawab mereka. "Baiklah," pikir majelis yang kemudian memutuskan memberi uang transpor. Ternyata beberapa bulan kemudian, pelayanan kunjungan tidak jalan dan hanya sesekali, sehingga ditegur kembali. Jawab sang gembala dan staf, "Memang ada uang transpor, tetapi waktu tidak cukup. Bayangkan, untuk mengunjungi satu jemaat diperlukan waktu berjam-jam, apalagi jika naik 'pete-pete' (kendaraan atau angkutan umum, Red.)." Kemudian, majelis memutuskan untuk membelikan motor bagi mereka. Semangat pun kembali berkobar, namun itu hanya berlangsung sesaat saja. Pelayanan kunjungan kembali tidak dilakukan setelah beberapa bulan. Ketika ditegur, mereka berkata, "Wah, harus buat jadwal, Bapak majelis. Karena kalau tidak, jam kunjungan kita bisa bertabrakan. Akan ada jemaat yang satu minggu dikunjungi beberapa kali." Ketika sudah diatur jadwal kunjungan, ternyata pelayanan kunjungan tidak berjalan juga. Dengan heran majelis bertanya, "Apa lagi?" Jawab sang gembala dengan staf, "Wah, Pak. Kami sudah banyak anak sekarang, dan tidak ada lagi yang menjaga mereka. Jadi, saya harus jaga mereka."

    Cerita di atas hanya fiktif, tetapi tujuannya untuk menggambarkan bahwa banyak pemimpin tidak lagi memiliki jiwa dan roh pelayanan. Jawaban para pemimpin di atas masuk akal (rasional), tidak ada yang bisa membantahnya. Tetapi, satu yang hilang adalah panggilan pelayanan (sense of calling). Cerita ini menggambarkan betapa kita tidak memiliki hati seorang hamba, yang ada adalah mental pekerja upahan yang bekerja menurut standar upah. Tidak ada kecintaan akan pekerjaan dan mau berkorban untuk-Nya.

    Kisah tentang Yesus yang membasuh kaki murid-murid-Nya dalam Yohanes 13:1-20, seharusnya menjadi teladan kita untuk menjadi seorang pemimpin yang berjiwa hamba. Pemimpin yang memiliki hati hamba adalah pemimpin yang dimotivasi oleh kasih untuk melayani dan memberi teladan.

    Albert Schweitzer (misionari, musisi, dan humanis agama) pernah berkata tentang arti pelayanan, "Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa depan Anda, tetapi saya hanya tahu satu hal: di antara kalian yang akan memiliki kebahagiaan adalah mereka yang sungguh mencari dan mendapatkan prinsip bagaimana melayani."

    Pemimpin yang melayani dengan jiwa dan roh, akan membentuk karakter dari pemimpin itu menuju ke arah watak Kristus.

Diambil dan disunting dari:

Nama situs Daniel Ronda
Alamat URL http://www.danielronda.com/index.php/kepemimpinan/56-mengembangkan-karakter-pemimpin-kristen.html
Penulis Daniel Ronda
Tanggal Akses 4 Juni 2012
Kategori Bahan Indo Lead: 
File: 

Komentar