Harga Sebuah Kepemimpinan (II)

Catatan: Dalam edisi lalu, sudah diuraikan aspek-aspek yang perlu diperhatikan pemimpin dalam membayar harga untuk mencapai keberhasilan, yaitu kritik, keletihan, waktu untuk berpikir, kesendirian, dan identifikasi. Di bawah ini, aspek-aspek lainnya yang harus diperhatikan untuk mencapai keberhasilan.

6. Membuat Keputusan yang Tidak Menyenangkan

Harga lain yang harus dibayar oleh pemimpin ketika ia mulai mengenali atau menyamakan diri dengan anggotanya adalah membuat keputusan yang memengaruhi pencapaian akhir organisasi. Sering kali, tugas pemimpin yang efektif adalah menyingkirkan seseorang yang tidak menampilkan kinerja sesuai standar. Organisasi Kristen sering kali bermasalah dalam hal ini, karena para pemimpin secara alamiah enggan menyakiti hati anggotanya.

Namun seseorang yang terus-menerus gagal menampilkan kinerja tertentu adalah hambatan bagi efektivitas organisasi. Jika orang itu dibiarkan menjalankan tanggung jawabnya, akan berpengaruh negatif bagi orang lain dan menghambat kemajuan dinamika kelompok.

Semua pemimpin harus bersedia membayar harga demi kebaikan bersama. Ini tidaklah mudah, terutama saat seseorang menginginkan penilaian positif dari setiap orang.

Dalam banyak kasus, ketika seseorang dimaklumi karena kinerjanya yang tidak memuaskan, ia merasa diistimewakan: ketika ia tidak mampu melakukan pekerjaannya, perlahan ia hancur dari dalam oleh tekanan dan tuntutan. Diam-diam ia mungkin berdoa untuk kelegaan!

7. Persaingan

Pengorbanan lain untuk kepemimpinan adalah pengaruh persaingan. Istilah ini tidak selalu bernilai negatif. Tanpanya, manusia akan memunyai sedikit hasrat untuk meraih prestasi. Dengan adanya persaingan di bidang ekonomi, konsumen dilindungi karena hal ini membantu mencegah "pencuri memasuki pasar" dan menjamin kualitas dengan harga yang lebih murah.

Namun, ada harga yang harus dibayar oleh para pemimpin jika mereka mengalami "kegelisahan dalam bersaing", baik berupa perasaan takut gagal maupun takut sukses.

Rasa takut gagal melumpuhkan persaingan, karena sang pemimpin akan takut untuk maju atau terlalu melibatkan diri; prestasi tidak optimal dan pengenalan identitas gagal. Untuk mengatasi kegelisahan ini, sang pemimpin harus melakukan sejumlah uji pengalaman yang sungguh-sungguh untuk mengetahui apa sebenarnya dunia yang penuh persaingan itu, bukan seperti dikatakan oleh khayalannya. Ia harus mengubah konsep pribadinya sendiri sesuai dengan standar akal sehat.

Rasa takut sukses juga dapat melemahkan. Sang pemimpin mungkin tampak sangat supel, mudah bergaul, dan ekstrover, namun harga yang harus dibayar oleh kelompok bagi orang semacam ini juga besar. Pemimpin semacam ini mungkin berjuang keras, namun biasanya akan bimbang sebelum pencapaian sebenarnya. Ia sering kali akan mencari alasan (yang menurutnya masuk akal) untuk menghalangi tercapainya tujuan akhir.

Dalam suatu organisasi Kristen yang tidak melibatkan penjualan produk, persaingan harus dihindari karena roh perselisihan bertentangan dengan upaya memperkuat tubuh Kristus. "Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat." (Roma 12:10)

Dengan satu pengecualian ini, sang pemimpin harus menjaga sisi kompetitifnya tetap tajam. Hanya dengan cara ini, ia memimpin secara efektif untuk mencapai sasaran.

8. Penyalahgunaan Kekuasaan

Dalam sejarah panjang umat manusia, kekuasaan telah diakui sebagai karakteristik dasar kepemimpinan. Dalam setiap organisasi -- termasuk yang bersifat Kristen -- ketika seseorang diberi wewenang, ia berada dalam posisi yang sah untuk mengendalikan dan memengaruhi. Beberapa orang menganggap hal ini pembangunan ego yang mengarah kepada autokrasi. Inilah risikonya dan ada harga yang harus dibayar untuk menghindarkan diri sebagai korban dari godaan tersembunyi ini.

9. Kebanggaan Semu dan Kecemburuan

Kebanggaan semu dan kecemburuan adalah kembaran. Ketenaran dapat memengaruhi kinerja seorang pemimpin. Perasaan diri tidak pernah salah dan selalu dibutuhkan dapat mengurangi efektivitasnya. Para pemimpin yang mengalami depresi berat seperti ini wajar.

Setiap orang pasti memunyai suatu kebanggaan. Membanggakan anak yang berbuat baik atau sifat pasangan kita merupakan hal baik dan wajar. Namun, hal itu berubah menjadi egoisme ketika kita mengagungkan diri sampai batas di mana kita tidak punya tempat bagi orang lain. Kebanggaan semu muncul ketika kita membungkus diri, sehingga orang lain nyaris tidak kita anggap. Ini harus dilawan karena sangat berbeda dari konsep diri yang sehat, yang menilai diri dan orang lain seimbang.

Pemimpin yang lama dikagumi rentan mengalami hal ini. Dia bisa salah tingkah ketika orang lain ditunjuk atau dipilih untuk tugas tertentu yang diinginkannya. Hasilnya adalah kecemburuan, ia mencurigai saingannya.

Penghormatan berlebihan dapat mengarah kepada pengultusan individu. Ketika seorang pemimpin takluk kepada godaan ketenaran, masalah besar dapat memengaruhi kinerjanya. Seorang pemimpin lebih efektif jika ia dapat mengarahkan orang kepada kelompok yang dipimpinnya. Loyalitas kepada kelompok haruslah yang terutama. Pemimpin Kristen harus mengarahkan orang-orang kepada Kristus, alih-alih kepada dirinya sendiri.

Kita semua ingin terkenal dan tak ada untungnya jika tak dikenal, namun harus ada keseimbangan. Seorang pemimpin harus dihormati dan dihargai agar bekerja lebih baik, namun ketenaran itu dapat ditebus terlalu mahal.

Ketika tidak ada kerendahan hati, pemimpin diintai oleh perasaan diri tidak pernah salah dan selalu dibutuhkan. Ketika seseorang memunyai kebanggaan semu, mudah baginya menerima pemakluman saat melakukan kesalahan. Jika seseorang tidak memandang nilai diri sejatinya dan tidak dipimpin Roh Kudus, ia mudah jatuh dalam perangkap licin ini. Meskipun memunyai pengalaman dan kematangan, para pemimpin sering gagal memandang bahwa kita semua cenderung berbuat kesalahan.

Pemimpin harus memunyai keyakinan dan tahu apa yang ia percayai, bukannya menganggap bahwa ia tidak pernah bersalah. Para pemimpin yang beranggapan demikian tidak mungkin dihormati sekian lama oleh anggota mereka.

Berkaitan erat dengan hal itu adalah perasaan diri bahwa seseorang tidak tergantikan. Beberapa pemimpin menganggap organisasi mereka tidak dapat bertahan tanpa mereka, dan mereka berpegang kepada otoritas selama mungkin. Ini berisiko karena perkembangan dan kemajuan dapat tertunda beberapa tahun ketika "jubah seharusnya sudah diserahkan kepada beberapa orang yang lebih muda atau lebih baik kualitasnya."

Mitos perasaan diri selalu dibutuhkan sering dilanggengkan oleh orang-orang dengan niat mulia. Sering kali organisasi menghadapi hal ini dengan para pemimpin yang lebih tua, yang perlahan menjadi kurang mampu karena usia untuk menilai kontribusi mereka secara objektif. Mereka mungkin terus menyeret tumit mereka dan sebenarnya secara tidak sadar menghalangi -- atau setidaknya memperlambat -- pertumbuhan dan perkembangan.

10. Penggunaan Waktu

Dari segala sesuatu yang harus kita perhatikan, yang paling penting adalah waktu yang Allah berikan kepada kita. Ada harga yang harus dibayar dalam menggunakan waktu kita, karena tampaknya manusia terlahir dengan sifat malas. Ini harus diubah.

Dalam analisis terakhir, saat kita mengelola waktu, sebenarnya kita mengelola diri. Kita harus merencanakan alokasi waktu kita sama cermatnya dengan kita harus merencanakan alokasi penghasilan kita.

Untungnya, waktu dapat dipakai sebagai alat untuk kebaikan. Dari dua orang pemimpin dengan kemampuan setara, seseorang yang paling memanfaatkan waktu dengan merencanakannya lebih efektif akan jauh melampaui kinerja yang lain. Ia akan meluangkan waktu untuk berpikir kreatif dan memecahkan masalah yang penting dalam pekerjaannya. Sementara yang lain hanya berdiam diri saja sampai dia "menemukan" waktu yang tepat.

Kita sering mendengar, "Aku harap aku tahu bagaimana mengatur waktuku lebih baik." Kita jarang mendengar, "Aku harap aku tahu bagaimana mengatur diriku lebih baik." Namun itulah maksud sebenarnya.

11. Penolakan

Seorang pemimpin Kristen juga harus siap membayar harga penolakan pribadi. Selalu ada kemungkinan kuat bahwa di suatu tempat dia bisa difitnah karena iman atau pandangan Kristennya terhadap suatu persoalan. Inilah jalan yang dilalui Yesus, "Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya." (Yohanes 1:11)

Pemimpin harus mampu senantiasa menolak pujian. Ia harus punya keberanian untuk bersedia berdiri melawan semangat zaman. Ia menempatkan pujian bagi Allah di atas pujian bagi manusia. Ia tahu bahwa "Takut kepada orang mendatangkan jerat, tetapi siapa percaya kepada TUHAN, dilindungi." (Amsal 29:25) Penilaian atau penghakiman dari orang lain tidak mengubah standar sang pemimpin, jika standar itu benar-benar berorientasi kepada Allah dan manusia.

Pemimpin membutuhkan kekuatan karakter agar mampu menghadapi penolakan. Wajar jika orang yang mudah menyesuaikan diri ingin disukai. Jalan sulit akan dilewati jika pemimpin merasa diabaikan atau tidak disukai. Sering kali kemampuan orang yang tertolak tidak diketahui sampai kepergian atau kematian mereka. Lalu, dibangunlah monumen dari batu-batu yang pernah dilemparkan kepada orang itu dalam hidupnya. Meskipun sulit diterima, sang pemimpin harus siap secara emosional dan spiritual untuk menghadapi kemungkinan ini.

Untuk membantu mengatasi penolakan, pemimpin harus dididik seperti para rasul yang bersandar kepada Kristus. Mungkin saat merasakan kesendirian dan terisolasi, ia merasakan kekecewaan atau penolakan. Namun, ia akan menggunakan momen depresi ini untuk menantang dan membangkitkan pemikiran-pemikiran kreatif baru, sehingga merangsangnya untuk melangkah maju menuju penilaian yang barangkali lebih realistis dari situasi sementara.

Untuk menghadapi perasaan-perasaan ini, ia harus didorong oleh kasih Allah yang menggerakkannya. Pemimpin sejati tahu bahwa kekuatan yang mengendalikan hidupnya tak lain adalah Kristus yang mendorong rasul Yohanes untuk berkata, "...sebab Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia." (1 Yohanes 4:4) Sebagai seorang murid, pemimpin Kristen juga tergerak oleh kasih kepada sesama, sehingga bersedia menerima penolakan karena Kristus sendiri bersedia melakukan "kehendak Ia yang menyuruh Aku."

Anda mungkin mampu memikirkan harga lain yang harus siap dibayar oleh seorang pemimpin sejati jika ia ingin bertahan dalam posisi yang menjadi tanggung jawabnya. Ketika semuanya diucapkan dan dilakukan, ketika ia bersedia membayar pengorbanan yang diperlukan untuk suatu keberhasilan, masa pelayanannya akan ditandai dengan keunggulan dan kualitas tinggi. (t/Dicky)

Diterjemahkan dan disunting seperlunya dari:

Judul buku: The Making of a Christian Leader
Judul asli artikel: The Price of Leadership
Penulis : Ted W. Engstrom
Penerbit: Zondervan, Michigan, 1976
Halaman : 98 -- 102
Kategori Bahan Indo Lead: 
Jenis Bahan Indo Lead: 
File: 

Komentar