Apa yang Diperlukan Untuk Memimpin Gereja

Perumpamaan Izinkan saya memulai tulisan saya ini dengan perumpamaan kepemimpinan gereja. Katakan saja tugasnya bukan melatih para pemimpin, namun melatih para sopir bus untuk sebuah sekolah dasar yang cukup besar. George adalah yang bertanggung jawab melakukannya; ia harus mencari beberapa sopir bus untuk tahun ajaran baru. Maka George mulai melakukan tanggung jawabnya. Pertama, ia menulis persyaratan utama untuk menjadi sopir bus sekolah dasar: Penuh gairah dan bersemangat. Namun harus memiliki

Perumpamaan

Izinkan saya memulai tulisan saya ini dengan perumpamaan kepemimpinan gereja. Katakan saja tugasnya bukan melatih para pemimpin, namun melatih para sopir bus untuk sebuah sekolah dasar yang cukup besar. George adalah yang bertanggung jawab melakukannya; ia harus mencari beberapa sopir bus untuk tahun ajaran baru. Maka George mulai melakukan tanggung jawabnya. Pertama, ia menulis persyaratan utama untuk menjadi sopir bus sekolah dasar:

  1. Penuh gairah dan bersemangat. Namun harus memiliki motivasi, harus ada keingingan untuk menjadi lebih dari hanya sekadar seorang sopir bus.
  2. Berpengalaman. Sopir baru tidak memiliki cukup pengalaman untuk mengemban tugasnya.
  3. Tidak memiliki catatan kriminal; diutamakan yang tidak memiliki catatan pelanggaran lalu lintas. Bukan kesempurnaan yang diharapkan, namun ketaatan dan wawasan akan hukum.
  4. Pernah sesekali atau tidak pernah mengalami kecelakaan. Sekali lagi, bukan kesempurnaan yang diharapkan, namun ketaatan dan wawasan akan hukum yang berlaku.
  5. Terlatih. Hal ini memerlukan rasa hormat pada otoritas, kerendahan hati, dan kesediaan untuk diajar dan belajar. Pada akhirnya, hal ini berujung pada wawasan dan keterampilan.
  6. Menyayangi anak-anak. Sopir bus yang baik pastilah penuh belas kasih dan pemahaman, toleran, dan tidak mudah bingung.
  7. Pikiran tidak mudah kacau. Sopir yang baik adalah sopir yang tahu rutenya dan tetap pada jalurnya. Ia tidak menyimpang ke kiri dan ke kanan. Kasihnya pada anak-anak diwataki oleh tugasnya untuk mengantar anak-anak selamat sampai tujuan. Singkatnya, ia tahu ke mana ia pergi dan mampu membawa anak-anak bersamanya.
  8. Mengemudi dengan aman dan dapat dipercaya. Baik anak-anak dan orang tua mereka percaya kepadanya karena mereka tahu ia mengerti pekerjaannya.

Lalu George mulai mencari orang-orang yang cocok. Ia memasang iklan di koran lokal. Iklan itu akan menarik mereka yang berkeinginan untuk menjadi sopir bus. Namun dalam prosesnya, George segera menemui bahwa beberapa kandidat dimotivasi oleh hal yang salah. Jadi, karakter moral mereka harus disaring dengan saksama. Namun, George kehabisan waktu. Pelatihannya membutuhkan beberapa minggu, demikian juga proses penyaringan karakter moralnya. Jadi, ia mempersingkat kedua proses persiapan sopir bus itu agar bisa mendapatkan enam sopir bus yang ia butuhkan sesuai tenggat waktunya.

Hasilnya bervariasi. Tiga sopir bus menjalankan tugasnya dengan baik. Karakter mereka luar biasa, mereka mengikuti pelatihan dengan baik (dua di antaranya bahkan pernah menjadi sopir truk), dan mereka memenuhi syarat yang George butuhkan. Beruntung baginya, para sopir bus itu adalah "hasil temuan", bukan "hasil pelatihan".

Namun, salah satu sopir bus adalah seorang pelajar SMA. Ia terlalu muda dan belum cukup dewasa untuk pekerjaan itu. Hal ini memengaruhi keamanan berkendara, tingkat kepercayaan orang tua, dan konsentrasinya sendiri dalam bus yang penuh dengan suara bising anak-anak. Tragedi terjadi saat bus itu selip dan menabrak pohon. Memang tidak ada anak-anak yang luka parah, tapi siapa yang tahu akan efek psikologis kejadian itu pada anak-anak.

Sopir bus yang lainnya terlalu sayang kepada anak-anak hingga mengesampingkan tugasnya. Pernah dalam suatu perjalanan mengantar anak-anak, ia berhenti dan membelikan anak-anak es krim. Akibatnya, semua orang tua khawatir karena anak-anaknya terlambat pulang. Hal itu berlangsung terus, dan ia pun rutin terlambat dalam mengantar anak-anak, baik ke sekolah maupun ke rumah masing-masing anak.

Pengemudi yang terakhir terbukti berbahaya. Ia memiliki catatan kriminal. Motivasinya uang. Ia juga tidak menghormati otoritas. George tidak mengenal sifat asli sopir ini karena terburu-buru dalam prosesnya, dan lagi tampaknya ia baik. Awalnya, ia dapat merebut hati anak-anak. Namun, suatu hari ia menculik anak-anak dan meminta uang tebusan. Semua anak selamat, dan sopir itu tidak pernah ditemukan.

Selama setahun pertama, George berpikir serius tentang program pelatihannya. Awalnya, dia berpikir, "Yah, tiga sopir dari enam sopir baik. Aku rasa program pelatihanku berjalan sukses." Namun, itu adalah pikiran yang sempit; hanya untuk menekan kata hati. Saat dia memikirkan harga nyawa-nyawa yang menjadi tanggung jawabnya dan apa tugasnya yang sebenarnya, ia menyadari bahwa ia telah mengecewakan anak-anak dan orang tua mereka. Dan lagi, ia gagal mendapatkan sopir bus yang baik karena tidak melatih dan menyaring mereka dengan benar. Semua itu dapat terhindarkan andaikata George tidak mempersingkat programnya. Ia menyadari bahwa asumsi pertamanya salah: ia tidak harus memenuhi tenggat waktu. Akan lebih baik untuk anak-anak berjalan kaki ke sekolah daripada nyawa mereka terancam. Jadi pelajaran paling berharga yang George pelajari adalah jangan memberi tanggung jawab kepada seseorang untuk mengemudi bus sebelum ia benar-benar diperiksa dan dilatih dengan baik .

Kepemimpinan Gereja

Oke, saya tahu itu adalah perumpamaan yang panjang! Namun, saya yakin Anda dapat melihat keterkaitannya dengan kepemimpinan dalam gereja. Para pemimpin harus dapat dipercaya; bukan hanya sekadar memiliki semangat. Dan meski mereka mengasihi domba-dombanya, kasih yang tidak berlabuh pada kebenaran akan merosot menjadi sentimentalitas belaka. Kita dapat mengetahui dengan mudah sopir bus seperti apa yang dibutuhkan karena kita dapat dengan mudah melihat apa yang menjadi tujuan utama sopir bus: mengantar anak-anak sampai ke sekolah dengan selamat dan tepat waktu. Analoginya, alasan mengapa kita tidak yakin seperti apa pemimpin gereja itu seharusnya adalah karena kita tidak tahu tujuannya.

Jelas sudah, tugas kita pada akhirnya adalah memuliakan Tuhan, baik secara individual maupun bersama-sama.

Memuliakan Tuhan memerlukan pengetahuan akan Dia dan kehendak-Nya. Bagi pemimpin gereja, dasar pengetahuan Alkitab dan doktrin Alkitab adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. (Seorang pemimpin gereja harus mengembangkan kebiasaan melakukan disiplin spiritual selama hidupnya, makan makanan rohani -- firman-Nya, melakukan firman-Nya setiap waktu, dan mampu mencurahkan apa yang ia pelajari kepada orang lain.) Jika tidak, pemimpin tidak akan mampu mengerti saat domba-dombanya menyimpang. Bahkan, malah ia yang dipimpin oleh para pengikutnya! Sejalan dengan itu, pemimpin juga harus tahu kebenaran mana yang pokok dan yang tidak. Seorang pemimpin yang dewasa adalah seseorang yang mengerti kebenaran mana yang diperlukan bagi kehidupan gereja, dan mana yang termasuk dalam kategori "sapiential preference", yakni penglihatan yang lahir dari hikmat seseorang yang berjalan dengan Tuhan, namun mungkin salah. Untuk ini, diperlukan kerendahan hati yang amat sang at.

Bersamaan dengan pengetahuan Injil adalah dua elemen: komitmen kepada otoritas Injil dalam setiap bidang yang diajarkannya, dan penghargaan kepada orang lain dalam persekutuan atas keragaman pandangan dan talenta. Tidak ada ruang bagi peremehan dan intimidasi.

Terlebih lagi, pengetahuan dasar itu harus berujung pada perubahan iman dan karakter. Penerapan kebenaran alkitabiah harus dalam wujud tingkah laku. Alkitab adalah lebih tentang perubahan iman daripada tentang perubahan sikap. Sikap akan dipengaruhi oleh iman. Saat kita kurang beriman, maka hal itu akan memengaruhi sikap kita.

Untuk mengatasinya, kita harus mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, pikiran, dan kekuatan kita (Mat. 22:34-40). Setiap aspek kehidupan kita -- baik secara individu maupun persekutuan -- haruslah menjadi subjek keilahian Tuhan.

Iman dan karakter kita harus dapat ditransfer. Seorang pemimpin harus bersedia dan mampu menduplikasikan dirinya sendiri dalam diri orang lain: "kasihi sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri" (Mat. 22:39). Hal ini memerlukan komitmen radikal kepada sesama, menganggap mereka lebih penting daripada diri sendiri (Fil. 2:1-11). Dan hal ini memerlukan pengajaran kebenaran yang dari-Nya (2 Tim. 2:2). Singkatnya, pemimpin harus mampu "berpegang kepada kebenaran dalam kasih" (Ef. 4:15).

Komitmen kita pada Injil Kristus membuat seorang pemimpin bersedia untuk keluar dari zona nyamannya. Paulus rela melakukan apa saja bagi semua orang -- sesuatu yang sulit bagi mantan seorang Farisi -- agar ia dapat memenangkan jiwa. Injil membutuhkan fleksibilitas kita yang luar biasa, khususnya dalam ranah lintas budaya. Hal itu bukan hanya berarti kita harus bersedia membagikan iman kita, namun juga pengenalan bahwa gereja pada dasarnya bersifat heterogen. Artinya, setiap ekspresi lokal tubuh Kristus harus melampaui batasan ras, ekonomi, pendidikan, usia, dan kelamin (Gal. 2:1; 3:28; Ef. 2:11-22; 4:1-6). Sifat supernatural tubuh Kristus paling jelas terlihat saat keberadaan dan kesatuannya tidak dapat dijelaskan secara alamiah. Sekarang ini, sedikit sekali gereja yang menerapkan hal ini dengan benar. Bahkan, metode pertumbuhan gereja paling populer saat ini adalah pendekatan homogen. Sebagian motivasi dalam memakai pendekatan ini adalah asumsi bahwa pertu mbuhan yang cepat adalah sesuatu yang bagus, benar, dan penting. Namun, bagaimana sebuah gereja berkembang jauh lebih penting daripada seberapa cepat gereja itu berkembang. Gereja yang kehilangan prinsip ini layaknya bayi baru lahir yang sehat, namun mengidap penyakit bawaan yang belum terindentifikasi. Cepat atau lambat, penyakit itu akan berkembang dan anak itu akan menderita kesakitan, dan bahkan kematian. Memang benar bahwa gereja yang sehat adalah gereja yang bertumbuh; namun kebalikannya belum tentu benar -- gereja yang bertumbuh belum tentu adalah gereja yang sehat.

Sebuah gereja yang alkitabiah harus heterogen dan bertumbuh oleh penggandaan dan kedalaman daripada oleh penambahan dan kedangkalan. Pada akhirnya, sebuah gereja yang bergerak dalam jalur ini akan mengalami pertumbuhan dahsyat (karena penggandaan pada akhirnya menyamai dan kemudian melampaui penambahan) yang berakar kuat. Daunnya akan hijau dan bertahan saat keadaan tak menentu karena gereja itu berakar dalam.

Kepemimpinan alkitabiah tidak dapat dilakukan dari jarak jauh. Kepemimpinan ini membutuhkan keterlibatan pribadi. Kebenaran abstrak teologi harus dibuat konkret dan personal dalam pemuridan ilahi yang intim. Penghindaran konflik atau ketakutan untuk terlibat tidak boleh mengarakterisasi pemimpin sejati dalam gereja. Selain itu, pemimpin gereja juga harus dapat mengajar dengan suatu cara yang bermanfaat dan dapat dipertanggungjawabkan. Intinya, jumlah banyak tidak membuat sebuah gereja itu hebat. Orang kuduslah yang membuat gereja hebat.

Akhirnya, seorang pemimpin haruslah terhormat, menerima kritik, sederhana, dan toleran. Orang yang sederhana bersedia belajar dari orang lain, menyadari bahwa ia tidak selalu benar. Dan karena ia tidak mahatahu, ia toleran dan menghormati mereka yang bertentangan dengannya. Tidak ada arogansi dalam pelayanan. Dan lagi, seorang percaya yang dewasa belumlah sempurna. Semakin ia dapat mengakui hal itu kepada diri sendiri dan orang lain, maka orang lain akan semakin bersedia mengikutinya, karena mereka akan melihatnya sebagai seseorang yang patut diikuti. Sifatnya yang mudah dikritik menjaganya tetap autentik dan memberinya daya pikat yang harus dihargai dalam diri orang percaya.

Saat kepemimpinan gereja berjalan, maka berjalanlah gereja. Jika tujuan gereja pragmatis, programatis, organisasional, numerikal, atau menghibur, hasilnya tidak akan menyenangkan Tuhan. Intinya, pemimpin haruslah orang-orang yang mengabdikan seluruh hidupnya kepada Tuhan, yang mereka layani.

Kesimpulan

Persyaratan penting untuk menjadi pemimpin gereja terbaik adalah sebagai berikut.

  1. Memandang budaya dari perspektif menyeluruh orang Kristen.
  2. Memiliki fokus hidup, baik secara individu maupun dalam persekutuan dengan orang lain, untuk memuliakan Tuhan.
  3. Memiliki wawasan Alkitab yang melibatkan sebuah hierarki doktrin, komitmen pada otoritas mutlak Alkitab, dan rasa hormat yang besar pada orang lain yang mungkin tidak setuju dengan interpretasinya yang mungkin keliru.
  4. Penyerahan seluruh aspek kehidupan kepada Kristus -- termasuk karakter, iman, dan sikap -- secara progresif.
  5. Hidup yang mengubahkan, kerinduan untuk tidak hanya mengomunikasikan kebenaran, namun kebenaran yang menghasilkan buah dalam hidup orang lain.
  6. Kesediaan untuk keluar dari zona nyaman demi kepentingan Injil. Hal ini membutuhkan kesediaan untuk mengembangkan gereja menurut cara Tuhan dan mengenali sifat gereja yang pada dasarnya heterogen.
  7. Komitmen untuk terlibat secara pribadi dengan orang lain. Hidupnya haruslah hidup yang dapat dipertanggungjawabkan pada tingkat ilahi yang paling intim.
  8. Seorang pemimpin haruslah mudah menerima kritik, sederhana, dan toleran. (t/Dian)

Diterjemahkan dan disesuaikan dari:

Kategori Bahan Indo Lead: 
Jenis Bahan Indo Lead: 
File: 

Komentar