Demi Apa Anda Rela Mati?

DEMI APA ANDA RELA MATI?

Kualitas Tunggal

Saya yakin bahwa seseorang, prinsip, atau gagasan yang memiliki komitmen teguh merupakan satu kualitas tunggal yang menghasilkan seorang pemimpin. Saat seseorang mengarahkan sumber daya diri dan pribadi untuk suatu tujuan yang tampaknya "mustahil" ketimbang mengatasi segala rintangan, orang-orang lain akan mulai mengikutinya.

Tahun 1985, seorang bayi laki-laki lemah lahir dalam keluarga kaya di kota New York. Seiring melemahnya daya penglihatannya, ia terkena penyakit asma akut sampai-sampai tidak sanggup meniup lilin di samping tempat tidurnya. Namun, hal ini tidak menghalanginya untuk menjadi salah satu orang yang paling berkuasa di dunia.

Saat Theodore Roosevelt berusia sebelas atau dua belas tahun, ayahnya memanggil dan menasihatinya bahwa pikiran yang baik saja tidak dapat menjamin kesuksesan -- harus didukung oleh tubuh yang kuat untuk bisa mengimbanginya. Theodore mematuhi nasihat itu, dia menghabiskan ribuan jam berlatih mengangkat badan di palang, mengangkat beban, dan memukuli kantong tinju. Dengan sedikit keingintahuan, ia melejit bagaikan roket di dunia politik: terpilih menjadi anggota badan pembuat undang-undang New York pada usia 23 tahun, dicalonkan menjadi walikota pada usia 28 tahun, menjabat sebagai Civil Service Commisioner Amerika di bawah dua orang presiden, menjadi pahlawan nasional dengan memimpin Rough Riders dalam Perang Spanyol-Amerika pada usia empat puluh tahun; kemudian hanya dalam waktu tiga tahun, dia menjadi gubernur New York, wakil presiden, dan akhirnya menjabat sebagai presiden. Pada tahun 1905, Teddy Roosevelt menerima penghargaan Nobel Perdamaian atas usahanya menyelesaikan perang Rusia-Jepang. Dengan tinggi sekitar 170 cm (lima kaki, sembilan inci), Roosevelt adalah seorang pria kecil yang dibesarkan oleh komitmen.

Komitmen vs Kegagalan

Umumnya, pemimpin yang sukses memiliki toleransi yang pas untuk memaafkan seribu kegagalan. Namun, komitmen mendorong mereka untuk terus maju.

Thomas Edison memiliki impian untuk menciptakan sebuah lampu yang membantu orang untuk bisa melihat dengan tenaga listrik yang tak terlihat. Ia bisa saja menghentikan usahanya itu dan tak seorang pun akan menyalahkannya. Bagaimanapun juga, ia telah merasakan sengatan kegagalan sebanyak sepuluh ribu kali hanya dalam satu proyek tersebut, jumlah kegagalan yang tidak akan kita alami dalam kehidupan -- bahkan, jika kehidupan Anda dan saya digabungkan.

Wright bersaudara memutuskan untuk berbuat lebih daripada sekadar memperbaiki sepeda di toko sepeda mereka di Dayton, Ohio. Mereka bermimpi menciptakan suatu mesin yang bisa menjelajahi langit. Orang-orang menertawakan keinginan mereka itu. Bahkan, ada yang berkata bahwa manusia tidak ditakdirkan Tuhan untuk terbang. Namun, Orville dan Wilbur memutuskan untuk mengikuti cahaya bintang mereka, bertahan dalam impiannya. Pada 17 Desember 1903, di dekat Kitty Hawk, Carolina Utara, pesawat udara bertenaga mesin pertama membubung dan menjadi sejarah.

Kekalahan perang yang dialami George Washington, jauh lebih banyak daripada kemenangan yang dia raih. Akan tetapi, kemenangannyalah yang bertahan lama dalam kenangan orang.

Apakah semua itu adalah prestasi yang luar biasa dari manusia-manusia super? Bukan! Kesemuanya itu adalah prestasi yang dapat dicapai oleh orang-orang biasa seperti Anda dan saya, yang bekerja keras menggapai mimpi sampai peluang itu dimengerti oleh orang lain.

Kendati begitu, kesuksesan memerlukan kebulatan tekad. Helen Keller menjadi tuli, buta, dan bisu sesaat setelah kelahirannya. Apakah ia berhenti sampai di situ? Tidak. Namanya terukir di antara nama-nama yang paling dihormati di sepanjang sejarah. Ia memahami bahwa yang diperlukan hanyalah keberanian dan kedisiplinan. Itulah yang dinamakan komitmen.

Charles Dickens memulai kariernya di bidang ilustrasi dengan pekerjaan yang tidak berkesan -- menempelkan label di kemasan semir sepatu. Tragedi cinta pertamanya menembus sampai ke kedalaman jiwanya, mengusik kejeniusan kreativitasnya, dan membuatnya menjadi salah satu penulis terbesar sepanjang masa.

Robert Burns adalah seorang anak desa yang buta aksara, O. Henry adalah seorang penjahat dan orang terbuang, Beethoven adalah seorang tuna rungu, dan penyair John Milton adalah orang buta. Tapi ketika mereka sudah mampu menguasai kekurangannya dan memiliki tekad untuk berkarya, mereka menjadi inspirasi bagi kita semua.

Meski dulunya mereka sama sekali tidak dikenal, kini nama mereka termashyur di seluruh dunia. Itu semua karena mereka menyatakan komitmen mereka kepada orang lain.

Bila para pemimpin ini mampu memanfaatkan kekuatan komitmen untuk mencapai tujuan duniawinya, berapa banyak yang dapat kita gunakan untuk mencapai tujuan rohani kita? Mungkin orang-orang akan lebih tertarik pada komitmen terhadap Tuhan Yesus jika mereka memahami keuntungan yang akan didapat.

Hasil yang Kita Lihat

Hasil pertama, yang barangkali adalah yang paling terlihat, dari komitmen kita kepada Tuhan Sang Pengasih adalah pertumbuhan diri. Cara Tuhan menghargai pekerjaan yang dikerjakan dengan baik adalah dengan memberi kita pekerjaan yang lebih besar. Begitu juga dengan komitmen. Bahkan, dalam upaya memenuhinya -- tahap yang paling awal, komitmen berperan dalam pertumbuhan diri dan meningkatkan kapasitas kita untuk bertumbuh lebih lagi.

Kedamaian dalam diri yang ditimbulkan oleh keputusan, juga merupakan hasil dari komitmen. Jadilah panas atau dingin, namun jangan suam-suam kuku. Tidak ada kedamaian yang didapat dalam kebimbangan. Dalam buku "A Time for Commitment", dikatakan: "Arus kebimbangan akan memutihkan tulang jutaan manusia yang duduk dan hanya menunggu sampai mati." Pernahkah Anda berpikir mengapa ikan besar memuntahkan Yunus keluar? Pengkhotbah yang tidak taat itu suam-suam kuku! Komitmen dan kebimbangan adalah dua hal yang sangat berbeda. Komitmen dan kedamaian dalam diri sangat berkaitan satu sama lain.

Kala kita mengikat komitmen dengan Tuhan dan rencana-Nya, ada hasil ketiga yang kita peroleh. Hidup kita menjadi memiliki tujuan. Kita menemukan alasan untuk hidup. Kita bukan lagi sekadar daging dan tulang. Kita menjadi seorang yang memiliki kepastian dan tujuan. Kita mulai menirukan kata-kata penyair: "Mengetahui saja tidaklah cukup, kita harus menerapkannya. Bertekad saja tidaklah cukup, kita harus melakukannya." Dan kita mulai melakukannya dengan penuh antusias dan semangat yang tidak pernah kita miliki sebelumnya. Mengapa? Karena kita tinggal di dalam rancangan komitmen yang sudah ditetapkan Tuhan. Kita membuat komitmen bekerja untuk kita.

Kerap kali kita mendengar orang berkata, "Saya tidak bahagia," seolah-olah kebahagiaan harus menjadi tujuan utama dalam hidup. Namun, yang saya temukan adalah kebalikannya. Biasanya saya merasa paling berbahagia ketika saya tidak memikirkan perihal kebahagiaan. Kebahagiaan dan sukacita selalu menjadi hasil dari komitmen saya terhadap tugas, seseorang, atau gagasan. Kebahagiaan sering kali hadir di tengah perjuangan keras, bahkan dalam penderitaan. Tanpa perlu dipertanyakan lagi, kebahagiaan terbesar saya datang dari melayani sesama dan dari komitmen terhadap orang lain, pekerjaan, dan rencana.

Pertimbangkan apa yang Charles Jones katakan: "Bekerjalah sekeras mungkin, raihlah sebanyak mungkin, dan berilah sebanyak mungkin." Itulah kebahagiaan. Itulah komitmen.

Komitmen yang Salah

Barangkali, Anda pernah mendengar cerita tentang seekor ayam dan babi. Keduanya sedang berjalan beriringan di pesisir desa ketika melihat pengumuman di sebuah gereja kecil. Pengumuman itu berbunyi: "Nikmati makan pagi dengan ham dan telur pada hari Minggu pukul 7.30. Semua diundang hadir."

Babi itu menoleh dan berkata pada ayam, "Lihatlah! Bagimu, ini hanya pekerjaan yang memakan waktu sehari. Tapi bagiku, ini komitmen total!"

Saya bisa mengerti reaksi babi tersebut. Komitmen adalah keterlibatan total. Wanita tidak dapat mengandung hanya sebagian saja. Dan pemimpin tidak akan sukses dengan komitmen parsial.

Bagaimana Mati demi Prinsip dan Hidup Kembali untuk Melayani

Komitmen seperti apa yang diharapkan dari pemimpin Kristen? Bagaimana Anda bisa menunjukkan kesediaan Anda untuk mati demi Tuhan, namun tetap hidup untuk melayani sesama?

"Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya," Kristus mengingatkan kita dalam Yoh. 15:13. Namun, apakah Ia hanya menunjukkan satu tindakan kepahlawanan, seperti menerobos bangunan yang terbakar atau menarik seseorang keluar dari tempat yang sangat dalam? Dengan cara apa lagi kita bisa menyerahkan hidup kita?

Paulus berbicara tentang mematikan "perbuatan tubuh," dan menyatakan Anda sebagai "persembahan yang hidup." Berbicara perihal peperangan, Paulus berperang melawan kekuatan daging. Ia berkata, "Tiap-tiap hari aku berhadapan dengan maut (lih. Rom. 8:13; 12:1; 1Kor. 15:31).

Inilah salah satu komitmen hidup dan mati pertama yang harus diambil oleh seorang pemimpin Kristen. Hasrat keegoisan menjerit minta dipenuhi. Apakah kita bersedia mematikan keinginan kita dan menyerahkan hidup kepada Tuhan?

Namun, berhati-hatilah! Tiga sel kanker menunggu untuk melahap orang-orang Kristen yang dipimpin oleh Roh Kudus. Dalam 1Yoh. 2:16, Rasul Yohanes memperingatkan kita untuk mematikan "keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup" sebelum mereka semakin berkembang dan menguasai kita.

Dari ketiganya itu, keangkuhan hidup adalah yang paling berbahaya. Seorang pemimpin harus membunuh keangkuhan dan ambisi pribadinya. Satu hal yang paling cepat menyakiti seorang pelayan muda adalah menetapkan tujuan pribadi (yang berasal dari diri sendiri) ketimbang mendengarkan suara Roh Kudus. Ambisi pribadi bisa sangat berbahaya.

Ironisnya, mereka yang mengabdikan diri kepada Kristus sering kali lebih ditinggikan daripada Kristus. Seorang pemimpin harus benar-benar tahan terhadap pujian. Seorang tokoh masyarakat -- presiden, pendeta sebuah gereja besar, penginjil, atau seorang pekerja muda -- menyukai hal-hal baik yang dikatakan orang kepadanya ketika bertatap muka. Sebaliknya, teguran yang dibicarakan di belakang bisa membuat ia tak berkutik. Yang lebih menyedihkan, sebagian pemimpin Kristen mengubah komitmen mereka demi sekumpulan omong kosong ini.

Hal kedua, kita harus mematikan kuasa mamon, yaitu "keinginan mata". Banyak pemimpin masa kini mengira bahwa pelayanan Kristen adalah cara mudah untuk memperoleh kenyamanan dan keamanan finansial. Itu salah! Kekristenan bukanlah Wall Street, tapi "will street" (jalan yang membutuhkan keteguhan hati).

Hal terakhir, Yohanes memperingatkan kita untuk melawan moral yang lemah, "keinginan daging". Jika kita mencari tubuh yang telah siap, tubuh yang memiliki tekad kuat, kita tidak akan mendapat roh yang berkuasa.

Semua ini mengarah pada satu keputusan sederhana. Bersediakah Anda menyalibkan keegoisan diri untuk melayani?

Ini mengingatkan saya pada episode pertama program TV kabel berjudul "Amen". Dalam acara tersebut, diberitahukan bahwa sang Pendeta sudah pensiun. Sekarang, para diaken mewawancarai Pendeta Reuben Gregory untuk mengisi posisi tersebut. Seseorang bertanya perihal latar belakang pendidikannya, lalu sang Pendeta menjawab, "Saya memiliki gelar sarjana sosial dari Morehouse College, master di bidang Pendidikan Agama dari Yale Divinity School dan kedoktoran di bidang Pembelajaran Kristen dari Union Theological Seminary." Diaken tersebut menjawab, "Ya memang, tapi percayakah Anda pada Tuhan?" (t/Lanny)

File: 

Komentar