Membangun Kepercayaan

Kemampuan untuk membangun organisasi yang terpercaya dan memercayai adalah salah satu karakteristik krusial yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Apalagi dalam mendirikan suatu organisasi yang saling berbagi tanggung jawab untuk mencapai visi dan menjalankan jenis kepemimpinan berbagi (shared leadership).

Beberapa titik-balik yang paling berhasil dari organisasi-organisasi yang tadinya mengalami kegagalan dicapai oleh manajemen baru yang mendorong tumbuhnya kepercayaan dalam organisasi. Dulunya perusahaan memiliki buku-buku tebal yang berisi kebijakan, kaidah, dan peraturan yang mengatur apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan pekerja. Dalam kenyataannya, pernyataan dan prinsip-prinsip yang lebih sederhana telah mengambil alih peran buku-buku tersebut. Prinsip itu mengatakan, "Utarakan pertimbanganmu dan kami akan percaya bahwa kau melakukan hal yang benar."

Perlu waktu untuk membina kepercayaan, namun hanya beberapa detik saja untuk menghancurkannya. Jika kepercayaan disalahgunakan dalam suatu organisasi yang level kepercayaannya tinggi, dampaknya bisa sangat fatal. Kepercayaan membutuhkan pertanggungjawaban. Baik di organisasi komersial, maupun dalam suatu hubungan -- penyalahgunaan kepercayaan berdampak besar terhadap orang-orang.

Kepercayaan sering kali dianggap sebagai hal yang remeh, baik di dalam gereja, persekutuan, apalagi di luar gereja. Model gereja tradisional yang "menggaji" pendeta sebagai pelaku pelayanan dengan jelas menggambarkan suatu organisasi yang bisa beroperasi pada level kepercayaan yang rendah. Orang bisa saja datang ke gereja, tapi keterlibatan mereka hanya sebatas melaksanakan tugas-tugas yang sederhana saja. Bahkan gereja-gereja besar, yang melibatkan banyak orang dalam pelayanannya, bukan tak mungkin beroperasi pada level kepercayaan yang relatif rendah bila tidak mengizinkan jemaatnya untuk saling berbagi tanggung jawab dan pertanggungjawaban demi kelangsungan gereja tersebut.

Tuhan menginginkan kita untuk berjalan dengan kepercayaan penuh -- baik di dalam-Nya maupun dalam gereja. Tuhan itu dapat dipercaya. Ia telah berkata, "Tak akan pernah Aku meninggalkanmu, tak akan pernah Aku membuangmu." Sebab itu, dengan yakin kita dapat berkata, "Tuhan adalah Penolongku. Aku tidak akan takut" (Ibrani 13:6). Kita perlu belajar untuk memercayai dengan sepenuhnya, "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri" (Amsal 3:5). Pengalaman kita dalam memercayai Tuhan seharusnya meningkatkan kemampuan kita dalam memercayai dan mendorong kita untuk membangun kepercayaan dalam persekutuan Kristen.

Kepercayaan merupakan sesuatu yang menyangkut adanya hubungan -- antara Tuhan dan anggota gereja, antara individu yang satu dan individu lain dalam gereja, dan antara anggota gereja dan jajaran pimpinan gereja. Untuk bisa memercayai, kita memerlukan kepekaan, kesediaan mengambil risiko, dan kesediaan untuk menyerahkan wewenang dalam situasi tertentu. Pembangunan hubungan dengan tingkat kepercayaan yang tinggi kemungkinan besar membutuhkan sikap mau melayani dan kerendahan hati. Larry Reynolds mengidentifikasi empat komponen utama yang dibutuhkan dalam membangun hubungan tersebut.

Komponen pertama adalah KOMPETENSI, yaitu kemampuan seseorang untuk memenuhi harapan kita, melakukan tugas yang kita ingin untuk ia kerjakan. Ketika berada dalam pesawat terbang, kita memercayai sang pilot berdasarkan kompetensinya yang terbukti dengan lisensi terbang yang diperolehnya. Saat meminta seseorang untuk memimpin satu persekutuan rumah, kita tidak akan sepenuhnya memercayainya sampai merasa yakin bahwa ia memiliki kemampuan cukup untuk memimpin kelompok secara efektif.

Hal ini menegaskan kebutuhan untuk memastikan bahwa kita telah menyesuaikan peranan di gereja dengan karunia dan kemampuan yang dimiliki oleh jemaat, termasuk untuk membentuk suatu proses yang tepat untuk menyesuaikan kemampuan dan karunia mereka dalam pelayanan yang mereka kerjakan di gereja. Hal ini bukan sekadar masalah bagaimana suatu pekerjaan dilaksanakan dengan baik atau buruk. Hal ini justru akan memengaruhi tingkat kepercayaan dalam hubungan tersebut.

Komponen kedua adalah KETERBUKAAN. Ketika kita bersedia untuk memercayai orang lain, berbagi pendapat, pemikiran, dan visi dengan mereka, sesungguhnya kita sedang mendorong mereka untuk memercayai kita. Bagi sebagian pemimpin gereja, hal ini merupakan tantangan. Sebab kita mungkin harus memerangi keinginan untuk kebutuhan dan perasaan pribadi kita sendiri. Kita juga perlu menaksir level kepercayaan yang telah dibangun persekutuan itu dalam gereja -- apakah anggota gereja bersedia untuk berbagi satu sama lain dengan terbuka dan jujur?

Keterbukaan menuntut kita untuk berbicara dalam kasih dan apa adanya. Malahan, dengan membicarakan kebenaran di dalam kasih, kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Kristus, yang adalah Kepala (Efesus 4:15). Keterbukaan juga menuntut kemudahan untuk dihubungi -- jika salah seorang anggota gereja ingin menemui kita, seberapa mudah mereka akan mendapat waktu di sela keseharian Anda? Keterbukaan juga menunjukkan bahwa kita akan sungguh-sungguh memberi dorongan dan tanggapan secara timbal balik. Secara profesional, banyak anggota gereja yang diharapkan untuk mengikuti beberapa bentuk latihan pengumpulan tanggapan sebagai bagian dari peninjauan pengembangan. Persekutuan yang memiliki kepercayaan penuh dapat mengambil sebagian latihan-latihan ini untuk memberi dorongan dan kesempatan bagi pengembangan diri.

Kualitas yang dapat dipercaya dan konsistensi merupakan unsur yang vital. Orang hanya akan memercayai kita jika mereka bisa mengandalkan kita untuk melakukan hal yang telah dijanjikan. Bahwa kita akan menjaga komitmen kita terhadap suatu hubungan, bukannya bersikap "angin-anginan."

Perlu diperhatikan bahwa untuk menjaga kepercayaan, kita perlu memenuhi apa yang diharapkan orang lain dari hubungan tersebut, ketimbang melakukan hal-hal yang diyakini harus kita lakukan. Mungkin saja penting untuk mengklarifikasi harapan bila kita ingin menghindari kesalahpahaman dan penurunan level kepercayaan. Hal-hal sederhana, seperti tidak menelepon balik atau tidak menjawab surat, bisa menciptakan persepsi bahwa kita tidak dapat dipercaya.

Jauh lebih mudah untuk mempertahankan kualitas kita agar dapat dipercaya jika ada kesadaran akan kemampuan dan prioritas. Konflik yang mengganggu waktu dan energi kita bisa dikurangi dengan tidak memaksakan diri melebihi kemampuan. Dengan memiliki pemahaman yang jelas tentang prioritas, kita bisa memecahkan situasi ketika kita diperhadapkan pada masalah. Manajemen waktu yang tradisional mengelompokkan hal-hal berdasar pada seberapa penting dan mendesaknya suatu hal -- hal yang penting dan mendesak menempati prioritas tertinggi. Menginvestasikan waktu pada hal-hal yang penting, namun tidak mendesak, adalah salah satu cara untuk mengurangi kemungkinan timbulnya stres di waktu mendatang.

Yang terakhir adalah KEADILAN. Mustahil bisa membangun kepercayaan bila perilaku kita kurang berintegritas, memperlakukan satu orang lebih baik daripada yang lain, atau kurang jujur dalam menangani situasi. Bagaimana keputusan itu diambil di dalam gereja? Apakah orang-orang yakin bahwa keputusan yang mereka ambil sudah adil, tanpa prasangka? Ataukah beberapa orang merasa tak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan?

Akhirnya, kita perlu mengingat bahwa jika orang lain akan meletakkan kepercayaannya pada kita, kita pun harus bisa menjadi orang yang bisa dipercaya. Selain itu, diperlukan juga kesediaan kita untuk memercayai orang lain. Pada dasarnya, kepercayaan perlu diraih. Warren Bennis menggambarkan kepercayaan sebagai lem emosional yang merekatkan semua institusi. Ini menunjang pemikiran bahwa dengan memakai lem, seorang tidak dapat menghindari situasi yang lengket -- kepercayaan melibatkan risiko pribadi. Namun, dengan mengambil risiko ini, kita akan memasuki level kepercayaan yang lebih tinggi. (t/Lanny)

Sumber diterjemahkan dari: Nama situs : The Teal Trust Judul asli : Building Trust Penulis : -- Alamat situs : http://www.teal.org.uk/mat/page4.htm

File: 

Komentar