Login / Register    » RSS GEMA Feed

Semaraknya Pujian Kontemporer di Gereja-gereja Protestan

admin's picture

Saat menyanyikan bait "...agar se mua suku bangsa datang me nyembahMu, " Ev. Hendrikus Telaumbanua, sang pemimpin pujian, mengangkat tangannya diiringi oleh musisi backup singers dan paduan suara yang semuanya mengenakan T-shirt santai dan celana jeans. Jemaat nampak bebas menyembah Tuhan dengan ekspresi mereka masing-masing. Uniknya, pemandangan ini bukan terjadi di gereja Pentakosta atau Karismatik, namun di salah satu kebaktian utama GKI Anugerah Bandung.

Ketika ditanya mengapa ada jenis ibadah seperti ini di sebuah gereja yang dianggap `tradisional`, Ev. Hendrikus menjelaskan bahwa segmentasi kontemporer merupakan komunitas yang harus diraih dan musik kontemporer dengan band dan gaya pujian yang berbeda adalah sarana yang cocok untuk menjangkau mereka. Visi GKI Anugerah sendiri adalah membuat jemaat menjadikan amanat agung sebagai gaya hidup di tahun 2008. Dan menyesuaikan gaya kebaktian dengan kebutuhan `market` demi mencapai visi tersebut terbukti berhasil. Setidaknya, di ibadah yang ia pimpin, pertumbuhan jemaat dalam 4 tahun terakhir meningkat hingga 100%. "Tapi di gereja kami memang ada tiga ibadah utama yang gaya dan jenis musiknya berbeda-beda," ujar Ev. Hendrikus.

John Styll, presiden dari Nashville-based CCM Communications dan ketua Gospel Music Association di Amerika menyatakan, tren ke depannya, gereja-gereja akan lebih terbuka terhadap musik kontemporer. "Bisa dibilang jika gereja memakai lagu-lagu penyembahan kontemporer, maka gereja itu akan bertumbuh, dan jika melawannya maka gereja itu jika tidak mati, akan mengalami kemandekan," ujar John Styll. la menyebutkan total penjualan album rohani kontemporer di Amerika bertumbuh pesat dari USD 83 juta di tahun 80-an menjadi UD 700 juta di tahun 2004. Yang menarik, setengahnya justru terjual di outlet gereja Protestan (non Pentakosta/Karismatik).

Yohana Ang adalah seorang musisi lulusan the Royal Conservatory of Music Toronto dan dosen musik gereja serta konduktor PS STT Bandung, yang melayani juga di bagian musik di GII Hok Im Tong Bandung. LIFE!crew berbincang-bincang dengannya untuk mengetahui perkembangan musik kontemporer di gereja-gereja tradisional.

Apakah musik kontemporer akan berkembang pesat di gereja-gereja Protestan (non Pentakosta/ Karismatik)? Bisa dilihat sebagai suatu tren, tapi kita bisa memandangnya sebagai sesuatu yang alamiah. Ini kebutuhan alami jemaat untuk memuji dengan lagulagu yang dapat mereka pahami. Memuji Tuhan bersifat aktif dan personal, dan merupakan tindakan komunikasi langsung kepada Tuhan. Untuk itu diperlukan suatu bahasa musikyang pas dengan jemaat.

Mengapa jadi kontemporer dan bukannya himne dari abad-abad yang Ialu? Karena memang keadaan masyarakat gereja tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya setempat. Dulu kita hanya mengenal musik dan lagu pujian`impor` hasil karya bangsa Barat. Setelah banyak kebangunan rohani dan anak-anak Tuhan Indonesia mulai menggubah lagu-lagu pujian yang indah, dirasakan cocok dengan budaya, pengalaman, dan mudah mereka serap. Hal ini okay saja asal benar, indah, cocok dan gays musiknya pun akan tersaring sendiri dengan situasi jemaat.

Apakah nantinya orang akan meninggalkan himne? Justru tidak. Himne yang bagus, liriknya benar, serta tune-nya punya kemampuan tinggi beradaptasi dengan jaman, tidak akan ditinggalkan. Contohnya himne Be Thou My Vision. Liriknya berasal dari abad ke-8, yang terus diterjemahkan dan digubah ulang sepanjang sejarah manusia. Di abad XXI ini, kita masih dapat menemukan aransemen barunya. Saya suka dengan ide `blended music`, yaitu lagu himne lama dipadukan dengan pujian kontemporer. Karena himne lama yang sarat dengan kebenaran teologi masih mampu menjadi bahasa komunikatif antara generasi muda dengan Tuhan, asal lagu lama ini dipilih khusus dan dikemas baru lagi.

Seperti apakah seharusnya musik gereja itu? Musik gereja seharusnya berupa functional art (seni yang berfungsi) bukannya absolute art (seni mutlak). Musik gereja adalah musik dengan tujuan memuliakan Tuhan dan mendatangkan berkat bagi jemaat agar mereka bisa berti: nbuh rohaninya. Tidak ada penggubahan musik tertentu yang disebut sakral. Pada abad ke 16, Martin Luther juga membuat pembaharuan dengan cara menulis himne baru, bahkan mengadaptasi tune-nya dari musik sekuler dengan tujuan untuk bisa berkomunikasi. Jadi kalau ada orang Kristen dengan latar belakang musik yang baik, lalu mencipta lagu karena pengalaman rohaninya, kita harus memandangnya sebagai sacred song (lagu rohani).

Bagaimana jika ada musik yang aneh dan tidak enak di telinga, t a p i masyarakat Iuas menyukainya. Apakah gereja perlu mengadaptasinya? Sepanjang sejarah gereja, perkembangan dan pembaharuan musik gereja selalu diawali dengan kebangunan rohani dan lawatan Allah di tengah umat-Nya. Maka terciptalah lagu-lagu baru berdasarkan pengalaman dan pengetahuan orang yang menerima lawatan. Ini tidak terjadi dalam hitungan minggu seperti top ten lagu sekuler di masyrakat. Jadi perlu selalu punya waktu untuk membaca, mengenal dan menyaring dengan hikmat Tuhan lalu mengadaptasinya dengan bijaksana.

Sekarang ini memang ada aliran musik yang "bukan bahasa saya" tapi saya terus terbuka mengamati apakah orang Kristen betul menyukainya, mampu menyanyikannya dengan mudah dan sPhari-harinya bertumbuh dengan lagu seperti itu. Unsur bertumbuh ini penting sekali. Dan untuk bisa relevan, kita tidak harus selalu ikut tren yang sesaat hilang tanpa ada dampak rohani-nya bagi jemaat. Sama halnya kita tidak perlu mempertahankan beberapa himne lama yang membuat jemaat pasif, dingin, dan tidak rohani.**(vr)

Sumber
: GetLife edisi 20/2006

» forum terkait

Submitted by admin on 26 June, 2006 - 10:44

Komentar