Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Peran Konseling Awam: Bertumbuh melalui Pernikahan

Setelah Allah menciptakan Adam, Alkitab mencatat sesuatu yang sangat mengherankan, yaitu Allah sendiri mengatakan "tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia" (Kej 2:18). Kemudian Allah menciptakan Hawa dan memberikannya kepada Adam untuk menjadi istrinya. Allah menghendaki manusia menemukan identitasnya sebagai makhluk sosial, peta dan gambarNya yaitu makhluk yang menemukan dirinya melalui hubungan dengan sesamanya bahkan dalam keterikatan dengan pasangan hidupnya. Manusia adalah makhluk istimewa karena kebebasan dan perkembangan potensinya ditemukan justru dalam konteks "mutual dependency/saling ketergantungan dengan sesamanya" (Steven Covey "Seven Habits"). Pernikahan merupakan salah satu manifestasi kebutuhan tersebut. Melalui ikatan pernikahan, manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan ia tumbuh dan terus tumbuh untuk menemukan aktualisasi dirinya/self-actualization.

Inilah hidup yang dikehendaki oleh Allah. Sayang sekali, dosa telah membuat arah dan tujuan hidup tersebut tidak lagi dapat mencapai sasarannya. Pernikahan dengan potensi pertumbuhan yang tak terbatas seringkali justru menghadirkan hambatan-hambatan untuk pertumbuhan itu sendiri. Seringkali individu-individu yang menikah justru mengalami hambatan untuk tumbuh oleh karena pernikahan dengan persoalan-persoalan yang tak terselesaikan dengan baik. Seringkali watak dan kebiasaan yang jahat justru semakin hidup dan berkembang dalam kehidupan pernikahan. Mengapa demikian dan bagaimana mengatasinya? Coba perhatikan kasus dibawah ini.

Saya menikah dengan pilihan saya sendiri. Bulan-bulan pertama pernikahan kami semua indah dan saya sangat bahagia. Setelah istri mulai hamil, saya merasakan perubahannya. Ia menuntut perhatian dan pelayanan lebih dari biasanya, dan ia sendiri mulai jadi pemalas. Rumah awut-awutan dan saya sendiri tak pernah dilayani dengan baik. Saya sering makan diluar sendiri. Sebetulnya saya tidak senang setiap hari makan diluar, tetapi terpaksa karena dirumah seringkali tak ada makanan. Yang ada cuma snacks kesukaan istri saya dengan kebiasaan ngemilnya. Saya juga tidak suka diperlakukan sebagai pembantu yang disuruh-suruh. Lama kelamaan saya lelah. Saya pikir untuk apa saya menikah kalau begini.

Yah saya akui memang saya pernah beberapa kali jatuh dalam pencobaan. Saya benci kejatuhan saya, tetapi terus terang saja saya juga menikmatinya. Istri saya rasanya makin menjengkelkan dan buruk rupa. Kehamilan saja sudah membuat dia berubah sekali. Sampai bosan sekali rasanya kalau dekat dengan dia. Apalagi ditambah dengan wataknya yang pemarah. Kalau bicara rasanya mau menang sendiri, sinis dan ketus.

Setelah anak-anak lahir, saya tidak ingat mulai kapan saya sendiri jadi pemarah bahkan abusive (suka memukuli istri). Saya tahu itu tidak semestinya, tetapi saya seringkali tidak tahan. Coba bayangkan, untuk kebutuhan seksuil saja saya mesti mengemis-ngemis padanya. Alasannya sih capai dan katanya sakit kalau berhubungan. Makin lama hati saya makin beku padanya. Rasanya cinta itu sudah mati.

Kami pernah ikut ME (Married Encounter) dan beberapa kali konseling dengan hamba Tuhan, tetapi hasilnya tidak nampak. Kami mencoba untuk baik tetapi itu cuma dapat bertahan beberapa hari saja. Sudah lama kami tidak tidur sekamar. Saya seringkali berfikir untuk bercerai saja, tetapi bagaimana dengan anak-anak kami?

Coba bayangkan kalau kasus diatas terjadi pada teman dekat anda dan ia mencari anda untuk sharing dan konseling. Mungkin beberapa poin dibawah ini dapat anda pikirkan.

  1. Kalau benar ia pernah ikut ME dan bertemu dengan beberapa hamba Tuhan untuk konseling maka itu suatu pertanda yang baik bahwa hati nurani mereka masih hidup. Mereka tahu bahwa bagaimanapun juga pernikahan ini mesti diperbaiki.

Memang kita percaya bahwa suara hati nurani hanyalah produk dari pengalaman belajar, tetapi kita juga percaya bahwa hati nurani "yang sudah dimurnikan" dari orang yang sudah dilahirkan baru oleh Roh Kudus adalah "salah satu sarana" melalui mana Roh Kudus berbicara (I Tim 1:19, Ibr 9:14). Oleh sebab itu hati nurani akan hidup dan mempunyai kekuatan yang menghasilkan pertobatan jikalau kesadaran akali orang tersebut (mind) bertemu dengan kebenaran firman Tuhan. Dalam konteks itulah karya utama Roh Kudus dimanifestasikan, yaitu "menginsyafkan akan dosa, kebenaran, dan penghakiman ... membawa kedalam seluruh kebenaran" (Yoh 16:7-14). Jadi, jikalau melihat polanya "yang sadar sebentar dan jatuh lagi," kemungkinan besar kebenaran firman yang didengar dan atau dipikirkannya masih "terlalu sedikit," sehingga tidak cukup membuka pintu bagi Roh Kudus untuk menyadarkan dia akan keseriusan dosa dan penghakiman Allah.

Jadi yang anda perlukan sebagai konselor adalah:

  1. Pengetahuan yang kaya dan kepekaan yang cukup atas kehidupan manusia.

Anda perlu membaca banyak dan terus membaca, merenung dan mengkonsepkan kebenaran-kebenaran yang anda dapatkan. Ajukan 1001 macam pertanyaan untuk peristiwa dan kejadian-kejadian dalam hidup manusia. Misalnya, pernikahan si A dan si B. Mengapa dan bagaimana pernikahan itu bisa terjadi? Apakah pertimbangan-pertimbangan yang mereka pakai untuk sampai pada keputusan menikah? Apakah sistim tersebut kondusif untuk pertumbuhan hal-hal positif dalam diri masing-masing? Mengapa demikian dan apa yang seharusnya mereka lakukan? dst. Dengan membiasakan diri memahami kehidupan, anda akan menjadi semakin peka, dan mempunyai peta yang jelas serta mengerti apa yang sesungguhnya seoang terjadi pada pasangan dalam kasus diatas. Mengapa kesadaran bisa muncul dan begitu cepat kesadaran tersebut menghilang? Individu-individu macam apakah si suami dan istri dalam kasus diatas? Apakah ada tanda-tanda (personality disorders)/kelainan kepribadian, atau abnormalitas yang lain dibelakang sikap, tindakan, pikiran dan perasaan mereka berdua?

  • Pengetahuan yang cukup akan kebenaran firman Tuhan.
  • Sebagai konselor kita percaya bahwa konseling yang sejati bukanlah pelayanan pemberian nasehat ataupun kotbah kepada klien. Meskipun demikian kita juga percaya bahwa tanpa pengetahuan yang cukup akan kebenaran, konselor tidak mempunyai bingkai dan pola tentang kehidupan yang sehat dan wajar dari seorang Kristen yang dewasa. Listening dan empathy (kemampuan untuk mendengar dan ber-empati) memang sangat diperlukan, tetapi tidak cukup, bahkan seringkali berbahaya jikalau konselor dan klien tidak jelas akan kebenaran yang seharusnya dihidupi.

    Sebagai contoh kasus diatas. Dengan listening dan empathy, konselor dan klien akan saling memahami perasaan, fikiran dan apa yang sesungguhnya dialami. Namun tanpa pengetahuan akan prinsip kebenaran firman, konselor dan klien tidak pernah menyadari bahwa dirinya harus berubah. Perubahan itu bukan hanya soal penyesuaian diri tetapi oleh karena realita kehidupan dewasa yang menuntut pertanggungjawaban secara Kristiani. Sebagai suami dia harus belajar seni menciptakan komunikasi yang dialogis yang dapat membangkitkan keinginan bagi istrinya untuk menjadi wanita yang pantas untuk dicintai. Ia juga harus peka atas dosa egosentristik dan perzinahan yang begitu kuat hadir dalam jiwanya. Sebaliknya istri harus belajar membebaskan diri dari jerat dan suasana hati yang menenggelamkan dirinya dalam kemalasan dan kebiasaannya untuk menuntut pelayanan dan pengertian orang lain. Mereka berdua sebagai suami-istri harus belajar memahami tujuan pernikahan Kristen (bukan sekedar untuk mencapai kebahagiaan) yaitu pertumbuhan secara rohani dan pribadi. Karena melalui pernikahan yang sehat itulah mereka akan tumbuh, dan melalui pertumbuhan mereka menjadi manusia yang berfungsi semakin maksimal dalam pelayanan kepada Tuhan dan sesama.

  • Kemampuan untuk mengintegrasikan kepekaan anda atas klien dengan pengetahuan anda akan kebenaran firman Allah.
  • Tuhan berkata, "jangan melemparkan mutiaramu kepada babi" (Mat 7:6). Artinya, meskipun anda tahu banyak kebenaran firman Allah, jangan sembarangan memberikannya kepada klien anda. Kebenaran firman Tuhan hanya berguna dan mempunyai kuasa memperbaharui kehidupan jikalau individu tersebut berada dalam kondisi siap dan mampu menerimanya. Kata-kata yang diucapkan. tepat waktu adalah "seperti buah apel emas dipinggan perak" (Amsal 25:11). Berarti sebagai konselor, anda harus terlebih dahulu dapat menciptakan kondisi "siap" dalam diri klien anda. Itu dapat berarti, "rapport" atau hubungan yang saling mempercayai sudah terbentuk antara anda dengan klien anda. Sehingga klien anda merasakan adanya kebebasan dan rasa aman yang cukup untuk menyingkapkan apa saja yang dirasakan dan difikirkannya, dan bahkan dapat berfikir objektif untuk menilai kebenaran yang seharusnya dihidupinya.

  • Dari apa yang diungkapkan rupanya mereka sudah sampai pada titik jenuh dalam kehidupan pernikahan mereka. Kehambaran dan kebosanan sudah menjebak sehingga setiap kali ada faktor-faktor pencetus, mereka segera terjebak dalam kebiasaan saling melukai. Jangankan bertumbuh, karena mereka berdua justru mengalami kemunduran pribadi melalui pernikahan mereka. Watak dan kebiasaan buruk dari masing-masing pribadi justru hidup dan berkembang melalui pernikahan yang sistim dan isinya menstimulir natur dosa mereka.
  • Untuk kondisi seperti ini, konselor harus terlebih dahulu menolong membebaskan mereka dari jerat sistim yang ada. Caranya mungkin dengan memisahkan mereka atau dengan menghentikan komunikasi langsung/directive antara mereka berdua. Kalau mereka masih dapat berkomunikasi cukup baik (mungkin dalam hal-hal tertentu saja) mereka dapat dilatih memakai cara berkomunikasi yang lain dari biasanya (mis.: melalui surat). Tetapi kalau dalam setiap komunikasi mereka selalu bertengkar, mereka perlu dipisahkan lebih dahulu sesuai kondisi yang ada. Maksudnya, kalau tak mungkin pisah rumah (misal - untuk sementara tinggal dirumah orang tua) mereka dapat pisah tempat tidur (ingat bahwa tindakan ini dilakukan sebagai strategi yang sengaja dipakai dan bukan oleh karena keinginan mereka untuk pisah), sehingga mereka masing-masing dapat menghirup udara kehidupan yang lebih segar dan relaks tanpa tekanan yang tidak perlu. Nah ditengah proses ini mereka berdua harus terus mengikuti konseling pribadi minimal seminggu sekali.

    Untuk konseling pribadi, konselor perlu menekankan pertumbuhan pribadi mereka masing-masing. Mereka perlu mengadoptir cara dan sikap hidup yang baru yang akan membahagiakan pasangannya. Mereka perlu memiliki hidup dalam tanggung-jawab dan kewajaran sesuai dengan budaya kehidupan keluarga yang sehat, dan itu dapat dilatih secara bertahap. Kemudian setelah mereka mulai dapat menikmati kehidupan pernikahan barulah konseling dapat diarahkan pada pertumbuhan pernikahan itu sendiri. Yaitu pernikahan dengan misi agung dari Allah untuk melayani Dia dan sesama.

    Pernikahan adalah sarana pertumbuhan yang disediakan Allah.

    Sumber
    Halaman: 
    3 - 4
    Judul Artikel: 
    Parakaleo, April Juni 2002, Vol. IX, No. 2
    Penerbit: 
    Departemen Konseling STTRII
    Kota: 
    Jakarta
    Editor: 
    Paul Gunadi Ph.D., Yakub B.Susabda Ph.D., Esther Susabda Ph.D.
    Tahun: 
    2002

    Komentar