Diciptakan dalam Rupa Allah

Edisi C3I: e-Konsel 231 - Keberadaan Manusia

Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (Kejadian 1:26-27)

Kutipan ayat di atas melukiskan gambaran indah mengenai penciptaan manusia -- laki-laki dan perempuan. Manusia sebagai puncak karya Allah, diciptakan menurut "gambar" Sang Penguasa seluruh ciptaan. Karenanya, manusia memiliki hubungan yang unik dengan Allah. "Imago Dei" memegang peranan penting untuk memahami pribadi manusia.

Apa yang dimaksud diciptakan menurut gambar Allah? Apa implikasi dari keserupaan ini? Dapatkah kita tetap sama, entah kita tahu keserupaan ini ada atau tidak? Lebih dari itu, dalam hal apa kita merepresentasikan keserupaan ini? Kita tidak mungkin merepresentasikan keserupaan ini dalam hal tubuh manusia, karena tubuh manusia hanyalah atom-atom (istilah alkitabiahnya "debu"), yang memiliki batas usia, lemah, dan akhirnya mati. Tidak mungkin juga dalam hal kepribadian manusia, karena manusia memiliki kepribadian yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, terlebih dengan Allah.

Mungkinkah keserupaan unik ini direfleksikan dalam sebuah fakta bahwa kita memiliki suatu pribadi? Sebuah pertanyaan yang menarik. Mari kita perhatikan pertanyaan ini dari perspektif alkitabiah dan teologis. Makna "gambar Allah" dalam Perjanjian Baru diperluas dengan menggunakan istilah "cetakan" atau "pola" menyerupai sesuatu yang sudah dibuat. Sebagai contoh, "Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara." (Roma 8:29) Kemudian Allah memberi kita kuasa untuk menjadi sama dengan rupa ini, karena Dia membentuk kita melalui Kristus.

Kita masih bisa belajar lebih lagi tentang doktrin "Imago Dei". Tidak secara kebetulan, gambar Allah adalah "sangat penting" untuk memperbaiki pribadi. Inilah yang memberikan diri manusia sebuah otonomi -- keberadaan yang terpisah. Martin Luther percaya bahwa diciptakan dalam rupa Allah berarti memiliki "kebebasan untuk memilih untuk taat" pada kehendak Allah. Sebaliknya, umat manusia telah menyalahgunakan kebebasan ini. Demikianlah dosa dan kejatuhan manusia masuk ke dalam gambar ini.

Apakah kejatuhan manusia melepaskan rupa Allah dari kita? Martin Luther percaya hal itu bisa terjadi, tapi orang lain tidak percaya. Menurut Martin Luther, dosa telah menyelubungi atau "menutup" gambar ini. Tidak peduli betapa besar kenajisan karena dosa, kita tidak akan kehilangan gambar ini. Proses regenerasi atau kelahiran baru mengembalikan gambar tersebut ke tempat yang tepat dalam inti suatu pribadi. Mungkin ini hanyalah masalah semantik, tapi gambar ini memberikan pengertian yang lebih jelas tentang "Imago Dei" daripada pemikiran tentang kejatuhan manusia yang sama sekali tidak ada dalam gambar ini.

Makna lain dari gambar Allah adalah gambar ini membedakan manusia dari binatang. Binatang tidak memiliki "pribadi" -- pribadi yang bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya, karena dia bisa mengetahuinya dan meramalkan konsekuensi yang ditimbulkan. Jika binatang memiliki kualitas seperti ini, mereka masih terlalu sepele untuk diperhitungkan.

Beberapa psikolog menunjukkan simpanse bisa membuat suatu sistem bahasa yang tidak sempurna atau menunjukkan bagaimana menumpuk satu kotak di atas yang lainnya, supaya bisa menggapai pisang yang digantung dengan menggunakan seutas benang pada langit-langit. Martin Luther tidak yakin penelitian tersebut dapat digunakan untuk menyanggah keunikan penciptaan manusia menurut gambar Allah. Justru semua ini memberitahunya bahwa manusia jauh lebih berharga dibanding simpanse yang manis dan lucu itu. Manusia bisa beriman kepada Allah yang hidup dan penuh kasih. Seluruh hasrat simpanse hanyalah makan pisang. Jelas, sebuah perbedaan yang besar!

Dengan mengikuti ajaran Aristoteles, beberapa teolog mengidentifikasi bahwa kemampuan manusia untuk berpikir dan berargumentasi adalah cerminan penting dari gambar Allah. Martin Luther melihat hal ini hanya sebagai variasi atas apa yang telah ia katakan tentang otonom pribadi.

Teolog liberal menekankan bahwa, karena manusia merupakan makhluk yang diciptakan menurut gambar Allah, berarti hidup manusia itu suci sehingga kita bisa melakukan apa yang harus dilakukan di bumi dan untuk bumi. Para teolog itu menganggapnya sebagai konsep "hubungan". Dengan kata lain, karena seseorang memiliki kapasitas untuk mengasihi orang lain, maka ia pasti memiliki gambar Allah dalam dirinya. Walaupun hal ini sangat benar, Martin Luther menganggap argumentasi seperti ini kurang kuat isinya, karena menurutnya "Imago Dei" melukiskan lebih dari sekadar apakah seseorang mengasihi sesamanya atau tidak!

Dalam hal ini Martin Luther sangat setuju dengan apa yang dikatakan Paul Tillich (1886-1965) -- meskipun tidak semuanya. Tillich menentang pemahaman bahwa gambar Allah hanya ada dalam konsep hubungan [manusia dengan bumi]. Dengan meyakini bahwa gambar Allah mencakup lebih dari kemampuan manusia untuk mengasihi dan mengampuni, Tillich yakin bahwa hal ini berakar dalam "keberadaan diri" manusia -- di bagian inti diri manusia. Tillich tidak hanya menyatakan adanya kemungkinan "keberadaan diri", tetapi kenyataan "keberadaan diri" -- termasuk gambar Allah. "Imago Dei" lebih tepatnya adalah sesuatu yang memampukan kita menjadi apa yang sudah Allah jadikan atas kita.

Barangkali Anda bisa memikirkan gambar ini dalam orang yang belum percaya kepada Kristus, sebagai gambaran orang yang pasif yang menunggu sinar surgawi dan hujan untuk menghidupkannya. Dia seperti benih yang kering terkubur di padang gurun. Saat hujan pembebasan turun atas benih itu, orang lain akan melihat, dia menemukan tunas -- "gambar ulang" Sang Pencipta yang mulia.

Menyentuh Allah

Apa pun yang kita yakini tentang "Imago Dei", setidaknya kita tahu bahwa Allah adalah Roh, demikian juga dengan kita. Dimensi rohani inilah yang menentukan kekhasan kita yang diciptakan menurut gambar Allah. Sesuatu di dalam kita bergema dengan Allah dan merespons bisikan-Nya. Bahkan karena kita masih berada dalam daging, beberapa bagian dari kita mampu melampaui sifat kita sebagai ciptaan dan menjangkau Allah. "Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran." (Yohanes 4:24)

Diciptakan menurut gambar Allah juga berarti bahwa kita bebas untuk bertindak sesuai pilihan kita, entah secara bertanggung jawab atau tidak. Salah satu sisi, kita bisa mendatangkan kedamaian di tengah-tengah anggota tubuh dan pikiran yang bertentangan, serta membawa kita kepada hubungan yang harmonis dengan Pencipta kita. Kita memunyai kemampuan unik ini untuk mengendalikan manusia batiniah kita.

Dengan demikian, roh kita merupakan bagian penting dari diri kita. Kuasa yang tidak berbentuk inilah yang dapat "menghubungkan" kita dengan Allah dan menarik kekuatan dari Allah. Tanpa dimensi rohani ini, kita seperti binatang yang berjalan kian kemari tanpa tujuan -- menjalani hidup dengan tidak memiliki tujuan pasti atas keberadaan kita. Tanpa roh, kita akan dibiarkan hidup dalam rencana-rencana kita sendiri; dan akhirnya akan terhenti, terpotong-potong, hancur, lemah, dan tinggal dalam berbagai jenis kehancuran. Jadi, apa artinya hidup tanpa roh?

Oleh sebab itu, suatu pribadi harus berakar pada Sang Pencipta. Dia harus "dikaitkan" atau dihubungkan dengan Roh Allah sehingga menjadi lengkap.

Doktrin "Imago Dei" mencakup kebenaran bahwa tidak ada satu pribadi yang utuh atas dasar dirinya sendiri. Roh yang tidak tinggal dalam pribadi akan hilang dan berkeliaran tanpa tujuan. Menurut Alkitab, ini berarti kiamat (Yudas 15). Kita dapat mencapai kepenuhan diri hanya dengan menghubungkan kembali diri kita dengan gambar ilahi seperti yang sudah diciptakan.

Segera sesudah kita "dihubungkan kembali" dengan Allah, kita bisa berharap gambar Allah kembali memengaruhi kita dalam tiga cara khusus yaitu: memberdayakan diri, membentuk diri, dan memotivasi diri. (t/Setya)

Diambil dan diterjemahkan dari:

Judul buku : Me, Myself, & I
Judul asli artikel : Made in the Image of God
Penulis : Dr. Archibald D. Hart
Penerbit : Servant Publications, Ann Arbor, michigan 1992
Halaman : 149 -- 151