Disiplin Anak

Oleh: Dr. Ester Susabda

Di tengah realita makin banyaknya orang-tua kedua-duanya bekerja, sering kali timbul pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab dalam masalah disiplin anak. Kesibukan orangtua baik dalam pekerjaan maupun dalam pelbagai kegiatan sosial seringkali mempunyai dampak langsung terhadap tanggung jawab disiplin pada anak-anak mereka. Konsentrasi yang terbagi-bagi antara pekerjaan, pelayanan, kegiatan sosial dan kehidupan rumah tangga telah membuat banyak orangtua merasa tidak mempunyai waktu untuk memikirkan tentang disiplin.

Sejalan dengan sistim kehidupan tersebut, orangtua menemukan bahwa anak-anak mereka mulai membentuk pola belajar yang kurang bertanggung jawab, malas, suka membantah, dan tidak bisa diatur. Mulailah mereka sadar, prihatin mencoba mencari jalan keluar tapi tanpa hasil yang memuaskan, dan bahkan banyak di antara mereka yang putus asa. Bagaimana dan kapan disiplin diterapkan bagi anak-anak mereka?

Tantangan ini makin dirasakan krusial pada saat orang-tua menyadari akan tuntutan globalisasi di akhir abad ke XX ini di mana keberhasilan hidup sangat ditentukan oleh kemampuan seorang dalam adaptasi sosial dan disiplin diri. Anak-anak harus dipersiapkan untuk nantinya bisa mandiri dalam bekerja, berinovasi, kreatif dan bertanggung jawab penuh dalam kehidupannya.

Kesadaran akan krisis ini semakin dirasakan pada saat orang-tua memahami apa yang terjadi dengan anak-anak mereka di sekolah. Lebih dari separuh guru sekolah yang frustasi dan angkat tangan. Herannya, keprihatinan seperti ini sudah menjadi pergumulan orangtua ribuan tahun yang lampau. Abad ke 5 SM, Socrates pernah mengatakan:

"Our youth now love luxury, they have bad manners, contempt for authority, shoe disrespect for their elders, and love to chatter in place of exercise.....they contrasdict their parents,....and terrorize their teacher."

Sekarang muda-mudi cuma mencintai kemewahan, mereka mempunyai kebiasaan buruk, melawan otoritas, tidak menghargai orang yang lebih tua....dan kurang bertanggung jawab. Mereka tidak mempunyai sopan santun.....melawan pendapat orangtua dan guru (Amundson, K.1991, p.15)

Masalah disiplin adalah masalah yang sudah setua manusia. Sejarah gereja menyaksikan betapa manusia selalu saling melempar tanggung jawab antara orangtua, gereja dan sekolah. Siapa yang sebetulnya harus memikul tanggung jawab dalam disiplin anak, jika anak-anak anda menghabiskan sebagian besar dari waktunya di sekolah? Apakah disiplin anak merupakan bagian utama dari tanggung jawab guru? Atau disiplin harus ditanamkan oleh kedua orangtua.

Ada dua hal yang harus dipikirkan di sini:

Disiplin harus ditanamkan oleh kedua orangtua

Walaupun banyak variasi dari gagasan orangtua dalam pendidikan, tetapi nilai utama yang didambakan oleh orangtua pada umumnya sama. Mereka ingin anak-anaknya mempunyai disiplin yang baik, karena itu setiap kali ada kesempatan berbicara di depan anak mau tidak mau nadanya selalu memberikan arah, pandangan pertimbangan dan nasehat. Agar pertimbangan dan nasehat orangtua berhasil, apakah yang diperlukan?

Perdebatan antara cara menangani disiplin sejak lama sudah ada antara mereka yang permissive (memberi kebebasan pada anak, karena mereka menganggap setiap anak mempunyai tendensi alamiah untuk mengerti kemampuan dirinya sendiri), dan authoriatarian (yang menekankan ketaatan yang optimal dari...* KOSONG* "exert firm control when the young child disobeys, but does not hem the child with restrictions, recognizing the child's individual interests and special ways." "Orangtua mempunyai kontrol yng jelas waktu anak membangkang, tetapi keunikan setiap anak harus diperhatikan dan tidak mengurung anak dengan peraturan-peraturan."

Di balik apa yang dikatakan di atas, Braumrind sebenarnya menyadari perlunya sistim yang menyeimbangkan dua prinsip disiplin tadi. Dan itu harus sudah terbentuk di rumah sejak anak-anak masih kecil, karena disiplin yang ditanamkan mendapatkan disiplin di sekolah. Pendidikan baik di rumah maupun di sekolah membutuhkan perhatian, usaha dan tanggung jawab penuh dari orangtua. Seperti pola ketidak- taatan anak merupakan suatu proses, demikian pula pola disiplin merupakan suatu proses yang harus berjalan sejajar baik dari orangtua maupun dari pihak sekolah. Dengan kata lain untuk dapat mendisiplin anak dengan baik, a.l.:

  1. Orangtua harus terlebih dahulu konsisten dengan kriteria disiplin yang akan mereka tetapkan. Anak-anak akan belajar bila ketetapan- ketetapan disiplin dilaksanakan dengan konsisten dan bijaksana. Antara ayah dan ibu harus ada kesepakatan. Jangan sampai ada yang dilarang ayah, diam-diam diberikan oleh ibu. Disiplin tidak cukup hanya dengan peraturan atau larangan saja, namun juga dibutuhkan keteladanan dan tuntunan moral dari keluarga itu sendiri.
  2. Standar yang orangtua pakai untuk mendisiplin anak harus sederhana dan jelas. Misal, suatu hari anda tidak memberikan reaksi ketika anda sedang sibuk menyelesaikan tugas dan membiarkan si anak nonton TV sambil makan malam. Minggu berikutnya anda uring-uringan dan menghukum anak karena karena anda pikir tidak seharusnya ia makan malam sambil nonton TV. Hal ini tentu akan membuat anak berpikir bahwa ketentuan hukuman dan disiplin hanya merugikan anak, mereka tidak akan belajar dari disiplin yang anda terapkan.
  3. Disiplin pada saat yang tepat. Banyak orangtua yang mendisiplin anak setelah frustrasi karena kesalahan yang bertumpuk-tumpuk dari anak. Sehingga anak seringkali tidak mengerti dengan pasti ia didisiplinkan bahkan dihukum karena apa. Seharusnya anak pada saat ia tidak bertanggung jawab, atau melanggar peraturan yang sudah ditetapkan.

Banyak orangtua yang takut mendisiplin karena kuatir anak akan memberontak dan tidak mengasihi orangtua lagi. Hal ini ternyata tidak benar! Oleh karena setiap anak membutuhkan disiplin. Mereka membutuhkan pola kehidupan dan keteraturan yang baik. Sehingga anak bisa bertanggung jawab untuk mengikuti aturan anda untuk mengikuti aturan anda dan mendapatkan disiplin sebagai peringatan akan pelanggaran dan apa yang mereka sudah lakukan.

Disiplin juga harus ditanamkan di sekolah

Ada banyak pendapat yang menekankan bahwa pendidikan akademis harus lebih ditekankan di sekolah dan disiplin sebaiknya diatur di rumah. Di pihak lain timbul pertanyaan, apakah sekolah hanya mendidik anak dari segi kognitif sekitar materi pelajaran saja? Padahal sekarang ini banyak sekolah yang mulai memberlakukan jam-jam pelajaran yang lebih panjang dari tahun-tahun sebelumnya, sehingga otomatis anak lebih banyak waktu di sekolah daripada di rumah. Tidak heran jikalau Greer, P. dan Ryan, K (1989) menulis dengan jelas bahwa ternyata tugas guru lebih daripada hanya mengajarkan materi (content) saja.

"We are living in a time of unparralleled levels of crime, suicide, and antisocial behavior on the part of our young people. The absence of values and self control permeates the life of the school and is evidenced by poor discipline ... Much of the energy of teacher and administrators... goes lack of values and weak character."

"Kita hidup pada masa di mana kejahatan, bunuh diri, dan perilaku anti sosial dari kaum muda tidak dapat lagi disejajarkan dengan angkatan-angkatan sebelumnya. Kevakuman standar nilai dan kontrol diri mempengaruhi kehidupan sekolah yang dapat dibuktikan dari lemahnya disiplin siswa ...Banyak tenaga dari guru-guru dan lembaga administratif sekolah...yang harus dicurahkan untuk mengatasi sikap siswa yang tidak terpuji, yang sebenarnya muncul dari lemahnya standar nilai dan karakter."

Jadi, disiplin juga harus ditegakkan oleh pihak sekolah supaya anak tidak hanya pandai tetapi juga mempunyai karakter yang baik. Seperti yang Dobson (1995) katakan,

"Our school must have enough structure and discipline to require certain behaviour from student, because one of the purposes of education is to prepare our children for life." "Sekolah harus mempunyai struktur dan disiplin yang cukup untuk menghasilkan siswa-siswa yang berkarakter, karena tujuan pendidikan adalah untuk mempersiapkan mereka menghadapi kehidupan yang sesungguhnya di masa mendatang."

Oleh karena ketidak-disiplinan terjadi melalui proses erosi yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, maka penanggulangannyapun harus di lakukan sedikit demi sedikit. Ketaatan anak dan peraturan sekolah merupakan kunci untuk memasuki kehidupan sosial anak dikemudian hari. Karena itu,

  1. Jangan membela anak pada saat ia mendapatkan disiplin dari sekolah. Sedapat mungkin anda mendukung disiplin yang diterapkan sekolah untuk kebaikan anak
  2. Bila anak bermasalah, carilah waktu untuk bertemu dengan guru yang bersangkutan dan ciptakan kerjasama yang baik.

Kepustakaan :
Ambron, S.R (1978). Child Development (3rd Ed.). New York: Holt, Rinehart & Winston
Amudson, K (1991). Teaching Values and Ethics. Arlington, VA.:AASA
Dobson, J (1996). The big D: Do your school get a low mark for discipline? Focus on the Family (April 1996), pp. 2-5. Greer, P.R &
Ryan, K. (1989). Values and Academic Performance, cited by
Amudson,K. (1991) in Teaching Values and Ethics, p.8.

PERTANYAAN ANDA
Dr. Paul Gunadi

Anak laki-laki saya berusia 7 tahun dan luar biasa malasnya belajar. Seolah-olah tidak ada kesadaran pada dirinya bahwa ia harus belajar dengan giat agar jangan sampai mendapat nilai yang buruk. Nilai prestasinya sudah buruk, tetapi masalahnya adalah, ia tidak merasa apa-apa. Apa yang dapat saya lakukan?

Sampai anak berusia sekitar 8-10 tahun, anak belum benar-benar mampu menyadari pandangan orang lain terhadap dirinya. Usia seputar 8-10 tahun merupakan usia transisi dari kehidupan yang berisikan "aku" meuju ke dunia remaja yang dipenuhi dengan "orang lain". Dari lahir hingga masa remaja sebenarnya seorang anak bertumbuh dari dunia yang sangat egosentrik ke dunia yang dikuasai oleh penilaian orang lain. Semasa bayi, anak belum bisa menyadari bahwa tubuh ibunya bukanlah bagian dari tubuhnya sendiri. Setiap kali ia menangis, belaian kasih sayang dan air susu ibulah yang diterimanya. Perlahan-lahan ia mulai mengetahui bahwa tubuh ibunya terpisah dari tubuhnya. Tidak selalu ibu memberikan air susu dan tidak selalu tangan ibu membelai tubuhnya.

Memasuki usia 2-3 tahun anak masih tetap egosentris. Hal ini dapat dengan mudah dilihat dari kesukarannya meminjamkan mainan kepada yang lain dan keengganannya mengembalikan mainan dari rak mainan di toko. Itulah sebabnya saya menggunakan istilah "aku" untuk melukiskan kehidupan anak pada masa kecil ini. Segala milik "aku" dan semuanya harus tunduk pada kemauan "aku". Ketaatan anak pada perintah atau permintaan orangtua didasari semata-mata atas ketakutannya menerima hukuman. Tanggung jawab dilaksanakan bukan karena ia menyadari faedah atau pentingnya tugas itu, melainkan karena ia harus melakukannya.

Anak mulai menyadari penilain orang lain terhadapnya pada usia sekitar 8-10 tahun. Ia mulai merasa malu jika hasil ulangannya buruk, sedangkan sebelumnya, ia tidak peduli dengan hasil ulangan. Nah, pada masa inilah motivasi belajar baru mulai bisa timbul karena ia tidak mau dipermalukan di hadapan teman-temannya.

Anak anda masih memerlukan dorongan dari luar sebab motivasi belajar belum berakar. Sudah tentu anda harus menerapkan disiplin agar ia belajar berdisiplin dari melakukan tugas, meski ia tidak menyukainya. Besar kemungkinan ia akan melalui masa ini dan memasuki periode dalam tahun hidupnya di mana ia menyadari artinya malu jika ia memperoleh nilai buruk. *KOSONG* nilainya sudah terlanjur buruk terus, pada waktu ia berusia 10 tahun, ia mungkin akan patah semangat untuk mengejar ketertinggalannya.

RETROSPEKSI
Dr. Yakub B. Susabda

Kehidupan anak hampir selalu dikaitkan dengan pendidikan formal maupun informal, baik di rumah maupun di sekolah. Begitu juga kebahagiaan orangtua juga hampir selalu dihubungkan dengan sukses dari pendidikan tersebut. Apa sebenarnya pendidikan yang dapat disebut sukses?

Dalam suatu seminar untuk orangtua murid pernah saya ajukan pertanyaan kepada mereka yang hadir, "apa sebenarnya tujuan pendidikan yang kalian harapkan?" Dan seorang ibu dengan spontan menjawab, "Kami ingin anak kami dapat menjadi manusia berguna untuk gereja, nusa dan bangsa...manusia dengan jiwa mulia dan karakter yang baik."

Untuk jawaban tersebut, saya mengatakan "bagus." Lalu saya lanjutkan dengan pertanyaan kedua, "tolong sebutkan kepada saya satu dua contoh manusia denga jiwa mulia dan karakter yang baik. Apakah rasul Paulus, apakah mother Teresa, ...atau mungkin Mahatma Gandhi? Apakah betul ibu mau jikalau anak ibu dididik untuk menjadi seperti Paulus, mother Teresa atau Mahatma Gandhi?" Heran ibu tersebut terdiam... betul-betul terdiam, dan selama beberapa puluh detik tak seorangpun yang berbicara. Rupanya pertanyaan saya tadi tak pernah dipikirkan oleh mereka.

Sebagai orangtua Kristen mereka tahu apa itu tujuan pendidikan yang terbaik. Tetapi pengetahuan tersebut hanyalah pengetahuan kognitif yang tak pernah dipikirkan sungguh-sungguh. Suatu ide bahkan suatu teori yang makin lama makin dirasakan "kosong" oleh karena kehidupan praktis jaman ini makin lama makin menutup pintu bagi aplikasi kebenaran tersebut. Menjadi seorang rasul, atau menjadi orang dengan jiwa mulia yang seluruh hidupnya dikurbankan untuk kepentingan sesamanya, merupakan hal yang sama sekali tidak menarik. Apalagi di tengah era globalisasi di mana spirit hedonisme makin dipuja, dan pendidikan serta persiapan hidup semata-mata hanya berorientasikan kenikmatan perasaan dan kelimpahan materi.

Jadi, apa sebenarnya tujuan dari pendidikan? Untuk pertanyaan ini jawabannya sebenarnya cuma satu. Sebagai orang Kristen kita percaya bahwa tujuan pendidikan, baik itu di rumah, gereja, maupun sekolah, tak lain daripada mempersiapkan anak menjadi manusia seutuhnya seperti yang dikehendaki Allah. Memang secara rohani setiap orang percaya sedang dididik dan diproses oleh Roh Kudus untuk menjadi serupa dengan gambar Kristus Yesus (Roma 8:29). Tetapi arti dari "menjadi serupa dengan gambar Kristus" adalah menjadi manusia; yang seutuhnya. Dan keutuhan setiap manusia itu unik pada dirinya masing- masing, karena kepada setiap pribadi Allah memberikan talenta yang berbeda-beda sesuai dengan rencana Allah, dan sesuai dengan kesanggupan mereka (Matius 25:15). Dalam hal ini, pendidikan dengan segala motivasi, tujuan, dan *KOSONG* ........Karena panggilan mereka hanyalah untuk menciptakan suasana pertumbuhan dan menyediakan saran supaya rencana Allah tercapai.

Allah adalah pemanah, sedangkan orangtua/guru hanyalah busur yang seharusnya melentur fleksibel di tangan-Nya, demikian dikatakan Kahlil Gibran dalam puisinya yang berjudul "Anak" seperti tertulis di bawah ini. Sebuah puisi yang diilhami oleh Mazmur 127.

Lalu seorang ibu dengan bayi dalam dekapan, datang dengan mengajukan sebuah pertanyaan: bicaralah kepada kami tentang anak keturunan. Maka jawab-Nya: anakmu bukan milikmu. Mereka putera-puteri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri. Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau. Mereka ada padamu, tetapi bukan hakmu. Beri mereka kasih sayangmu, tetapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu. Sebab pada mereka ada alam pikiran sendiri. Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya. Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tidak dapat kau kunjungi, sekalipun dalam impian. Kau boleh berusaha menyerupai mereka, namun jangan buat mereka menyerupaimu. Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur, pun tidak tenggelam di masa lampau. Kaulah busur dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur. Sang pemanah mahatahu sasaran bidikan keabadian. Dia merentangkanmu dengan kekuasaan- Nya, hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat. Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah. Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.

Tujuan pendidikan adalah manusia seutuhnya seperti yang dikehendaki Allah, dan peran guru/orangtua hanyalah menciptakan kondisi dan sarana saja. Allah-lah dan bukan guru/orangtua) yang menentukan apakah anak akan menjadi dokter, atau insinyur, atau ahli hukum atau ekonom, atau apa saja. Untuk itu Allah sudah memberikan talenta khusus kepada setiap anak.

Sayang sekali apa yang Allah kehendaki tak selalu terlaksana. Manusia dengan segala kebebasannya seringkali mengubah garis rencana Allah tersebut sehingga tujuannya tidak tercapai. Dan akibatnya cukup fatal karena aspek-aspek kehidupan ini akhirnya tidak dikerjakan oleh orang-orang yang tepat, yaitu oleh anak-anak Tuhan sesuai dengan talentanya. Banyak dokter Kristen yang melakukan pekerjaan dalam bidang kedokterannya semata-mata sebagai "job", dan sama sekali tak pernah melihat apa yang Allah sediakan dengan mata visi orang beriman. Begitu juga insinyur, ahli hukum, ekonom, dan profesional-profesional lainnya. Seluruh aspek kehidupan manusia, pada masalah keselamatan dan rencana Allah dengan kehidupan manusia. Sejak mula Allah dengan kehidupan manusia untuk menjadi rekan sekerja-Nya dalam menaklukan dan mengerjakan alam ciptaan dengan segala isinya. Kejatuhan (Fall) telah mengubah kepentingan dari panggilan mandat budaya ini, dari "satu-satunya" menjadi "salah satu" panggilan Allah kepada kepada orang percaya. Inilah sebabnya panggilan mandat budaya sering dipisahkan dari panggilan untuk memberitakan Injil, dan bahkan kemudian diabaikan. Akibatnya kehidupan pribadi orang percaya seringkali terpecah (split), tidak integratif (utuh) dan akhirnya tidak menjadi kesaksian yang baik. Itulah sebabnya Paulus dalam suratnya kepada jemaat Roma mencoba menyatukan kembali kedua panggilan utama tersebut. Ia mengatakan, "Seluruh makhluk telah ditaklukan kepada kesia-siaan...sebab kita tahu sampai sekarang makhluk (ciptaan) sama- sama sakit bersalin...menantikan pembebasan...(Roma 8:20-24). Bagi Paulus, seluruh makhluk adalah segenap ciptaan dengan segala aspek- aspeknya. Mereka sudah terjerat dalam dosa dan kesia-siaan. Oleh sebab itu mereka juga menantikan pembebasan yang akan dikerjakan oleh anak-anak Tuhan, supaya segenap ciptaan dapat memuliakan Sang Pencipta.

Prinsip kebenaran ini adalah salah satu dasar filsafat pendidikan Kristen yang terpenting. Karena berangkat dari prinsip inilah pendidik Kristen dapat mengembangkan kurikulum, metode, strategi, planning, bahkan menetapkan pinsip-prinsip dalam disiplin dan kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler.

Tuhan kiranya memberkati dan menambahkan bijaksana kepada mereka dengan tulus menghargai keunikan anugerah-Nya.

Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Parakaleo (Edisi Jan. - Mar. 1997)
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRI