Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Memilih Pasangan Hidup

Edisi C3I: e-Konsel 217 - Masalah-Masalah Pemuda Kristen

Dalam memilih pasangan hidup, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu proses pemilihan dan prinsip kesepadanan. Proses alamiah dalam memilih pasangan hidup melibatkan pengindraan, rasa ketertarikan, dan pendekatan, sementara prinsip kesepadanan yang harus dipegang adalah seiman kepada Yesus, kedewasaan berpikir, latar belakang budaya, ekonomi/status sosial, dan usia.

Ketika seseorang memasuki masa muda dan meninggalkan usia remaja, dia akan menghadapi banyak permasalahan. Salah satunya adalah masalah memilih pasangan hidup.

Sejalan dengan kedudukan pernikahan yang sentral, maka pemilihan pasangan hidup menjadi sangat menentukan dalam proses kehidupan manusia, karena bertumbuh-kembangnya suatu keluarga mulai ditentukan oleh pemilihan pasangan hidup.

Proses Pemilihan

Proses pemilihan pasangan hidup berarti penelusuran langkah-langkah kegiatan yang ditempuh manusia untuk menemukan dan menentukan pilihan atas seseorang yang sepadan sebagai pasangan hidup. Dalam proses pemilihan pasangan hidup, ada beberapa tahapan yang dilalui, yaitu:

1. Pengindraan

Yaitu pengamatan manusia terhadap lingkungan sekitar dengan menggunakan indera, dengan tujuan untuk mendapatkan persepsi tentang lingkungan itu. Salah satu unsur kejiwaan yang turut menentukan persepsi atas proses pemilihan adalah dorongan untuk melanjutkan keturunan.

Naluri itulah yang menggerakkan manusia untuk mencari pasangan hidup. Inilah tingkat awal dari proses pemilihan pasangan hidup secara bebas. Namun dorongan yang berasal dari bawah ambang kesadaran tidak berkemampuan memilih yang baik. Kesadaranlah yang memberikan arah kepada dorongan itu karena kesadaran dapat membedakan yang baik dan yang buruk.

Pasangan muda

2. Ketertarikan

Yaitu yang berhubungan dengan penampilan dan dapat dipilah menjadi ketertarikan naluriah dan ketertarikan rasional.

Ketertarikan naluriah bersifat jasmaniah karena lebih terfokus pada penampilan fisik yang sehat dari lawan jenis. Ketertarikan naluriah adalah sesuatu yang wajar mengingat pemilihan pasangan akan bermuara pada pelanjutan keturunan yang sehat dan berkualitas untuk mempertahankan dan memperkuat eksistensi manusia di bumi.

Ketertarikan rasional, yaitu yang berhubungan dengan daya tarik berdasarkan pertimbangan-pertimbangan logis. Pertimbangan-pertimbangan ini berpusat pada kualitas pribadi serta lebih bersifat psikologis dan dapat dipelajari melalui sikap dan tingkah laku serta karakter lawan jenis.

3. Pendekatan

Hasil pengindraan dan pilihan berdasarkan ketertarikan hanya berarti jika disusul dengan langkah-langkah pendekatan, yang meliputi tahap-tahap:

  1. Perkenalan sebagai langkah pertama dalam proses dialog dengan orang yang berkemungkinan menjadi calon pasangan hidup;
  2. Pertemanan/persahabatan yang dinyatakan dalam bentuk kebersamaan dalam melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, bahkan saling menceritakan hal-hal yang bersifat pribadi dan saling memerhatikan;
  3. Pertunangan sebagai kesepakatan bersama antara 2 orang untuk memasuki pernikahan yang kemudian disetujui oleh keluarga atau orang tua;
  4. Pernikahan.

Setelah mencapai tahap pernikahan terjadi pendewasaan yang meliputi upaya untuk mengembangkan rasa tanggung jawab baik perorangan maupun bersama-sama.

Prinsip Kesepadanan

Menikah adalah hak asasi seorang manusia. Jikalau seseorang yakin akan panggilannya atau karena sesuatu hal tidak ingin atau tidak bisa menikah itu adalah pilihan yang tidak salah. Sebelum menikah, seseorang harus memastikan apakah pasangannya sudah memenuhi syarat dan mampu untuk menjadi suami/istri dan orang tua yang baik bagi anak-anak yang kelak lahir dalam keluarga mereka.

1. Seiman Kepada Yesus Kristus

Dalam buku yang berjudul Tujuh Pilar Pernikahan, Jaliaman Sinaga mengungkapkan, "Pernikahan yang bahagia didasari oleh falsafah hidup yang sama. Falsafah hidup yang sama didasari oleh iman yang sama." Pendapat ini selaras dengan 2 Korintus 6:14, "Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya... bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?"

Menikah dengan pasangan yang tidak seiman merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar pernikahan yang ditetapkan Tuhan, antara lain prinsip kesepadanan. Antara orang beriman dan orang yang tidak percaya tidak memunyai kesamaan rohani. Tidak mungkin 2 orang yang mencintai dua hal yang bertentangan dapat tetap merupakan kesatuan yang erat, satu daging.

Memilih pasangan yang bukan orang percaya untuk membangun pernikahan memiliki konsekuensi negatif bagi orang beriman, yaitu dapat membahayakan imannya sendiri dan penerusan imannya kepada anak-anaknya (Maleakhi 2:15).

2. Kedewasaan Berpikir (Intelektualitas)

Komunikasi merupakan salah satu kunci penting dalam pernikahan. Komunikasi yang baik akan terjalin bila pihak-pihak yang berkomunikasi memiliki pola pikir dan tingkat pemahaman serta wawasan yang setara. Kesenjangan pola pikir dan wawasan yang terlalu besar dapat menimbulkan kemacetan dalam berkomunikasi dan berpeluang menimbulkan pertentangan karena kesalahpahaman.

Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman yang bisa berakibat pada ketidakharmonisan keluarga, bahkan membuka peluang untuk terjadinya perceraian maka pasangan yang akan menikah harus memerhatikan dan mempertimbangkan tingkat perbedaan jenjang pendidikan dan kemampuan berpikir dari pasangannya.

3. Latar Belakang Budaya

Tradisi budaya seseorang tidak boleh bertolak belakang dengan tradisi budaya pasangannya karena akan menghambat pembentukan keluarga yang harmonis secara optimal dan berpotensi menciptakan konflik keluarga. Misalkan seorang suami berlatar belakang budaya patrilineal sedangkan istri berlatar belakang budaya matrilineal, jika tidak ada kesepakatan bersama maka penentuan status kepala keluarga pasti akan menimbulkan masalah.

Menikah adalah hak asasi seorang manusia.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

4. Ekonomi/Status Sosial

Sekalipun Alkitab mengajarkan untuk tidak membedakan orang berdasarkan status sosial tetapi tidak jarang dalam kenyataan -- khususnya sehubungan dengan pernikahan -- hal ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Pihak yang berasal dari status sosial yang dianggap lebih rendah atau golongan ekonomi yang lebih lemah selalu menjadi pihak yang tertekan. Pasangan suami istri bisa mengabaikan kesenjangan status dengan penerimaan diri satu dengan yang lainnya, tetapi sering kali tekanan-tekanan datang dari anggota keluarga yang lain.

5. Perbedaan Usia

Perbedaan usia antara suami dan istri harus dipertimbangankan. Secara natur, usia yang lebih tua memiliki potensi untuk lebih dahulu mengalami berbagai gejala kemunduran kesehatan dibanding yang masih muda. Perbedaan usia yang terlalu jauh tidak akan terlalu berpengaruh pada usia pernikahan muda (di bawah lima tahun). Tetapi pada usia pernikahan madya (enam sampai dua puluh tahun) permasalahan akan mulai muncul dan berpuncak ketika memasuki usia pernikahan lanjut (dua puluh satu tahun ke atas), yaitu munculnya banyak masalah yang kompleks.

Alkitab secara eksplisit tidak menentukan siapa yang harus lebih tua usianya antara suami dan istri, tetapi bagaimanapun juga Adam diciptakan Tuhan lebih dahulu dari Hawa. Sebagai kepala dan pemegang otoritas tertinggi dalam keluarga, sebaiknya suami berusia lebih tua dari istri. Tetapi di sisi lain, istri bisa berusia lebih tua dari suami dengan syarat bahwa otoritas suami sebagai kepala keluarga harus tetap dihargai dengan penundukan diri istri.

Diambil dan disunting dari:
Judul Artikel : Memilih Pasangan Hidup
Penulis Artikel : Standly Sampelan
Situs : gpdibrisbane.org/gwt/?p=887 (GPdI World Today -- diakses: 7 September 2010)
Sumber
Judul Artikel: 
Memilih Pasangan Hidup
Situs: 

gpdibrisbane.org/gwt/?p=887 (GPdI World Today -- diakses: 7 September 2010)

Komentar