Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Kisah Joanie

Kisah berikut ini diambil dari wawancara dengan penulis Joanie Yoder, yang direkam untuk acara televisi RBC, Day of Discovery.

Saya tidak menyadari bahwa hidup saya selalu diliputi kegelisahan dan kekhawatiran. Saya berhasil menutupinya, seperti kebanyakan orang sampai pada suatu ketika terjadi sesuatu yang menyebabkan saya tak berdaya. Saat itulah saya dipaksa untuk menghadapi kegelisahan, ketakutan, kengerian, dan kekhawatiran. Catherine Marshall pernah mengatakan bahwa hal terpenting yang dapat kita perbuat adalah menyadari bahwa kita tidak cukup mengandalkan kekuatan diri sendiri. Saya sudah membuktikan hal itu. Saya pernah merasakan bagaimana saya sama sekali tidak memiliki kekuatan, baik secara fisik maupun emosional, untuk melanjutkan hidup ini.

Saya menderita agorafobia, yaitu ketakutan terhadap ruang terbuka dan bepergian ke luar rumah. Saya merasa takut saat memasuki pasar swalayan. Rasa takut itu begitu hebat sampai-sampai saya menjadi panik dan berkeringat. Saya takut kalau-kalau saya menjadi gila di depan banyak orang, atau bahkan yang lebih buruk lagi, mati di depan mereka.

Oleh karena itu, kadang-kadang saya tidak jadi berbelanja, lalu mendorong kereta belanjaan ke pojok dan pulang ke rumah. Segera setelah tiba di rumah, rasa lega dan aman kembali melingkupi saya.

Mula-mula saya mengira bahwa saya adalah satu-satunya orang yang merasakan hal seperti ini. Kebiasaan makan saya berubah, tidur saya tidak teratur, saya kerap gemetar dan menggigil, dan selalu khawatir akan kehidupan dan segala tanggung jawab yang menyertainya. Saya tidak mampu menghadapi apa pun. Saya merasa tak berguna menjelang usia 30-an.

Ada beberapa alasan yang mendasari kesulitan saya itu. Jika saya melihat kilas balik kehidupan saya, ternyata ada tiga alasan yang membuat saya tidak mampu menghadapi hidup ini. Pertama, ketidakdewasaan yang sangat. Saya belum berkembang secara emosional untuk memegang tanggung jawab. Kedua, saya mempunyai kebiasaan tidak mudah menerima pendapat orang lain. Saya tidak pernah benar-benar menyadarinya karena saya merasa bahwa kebiasaan itu dapat dibenarkan. Sepertinya perasaan saya selalu yang paling benar. Alasan yang ketiga ini adalah alasan yang saya kira umum terjadi di antara kita, yakni kecenderungan merasa mampu berdiri sendiri. Saya mencoba melakukan segala sesuatu dengan kekuatan sendiri. Dan, saat saya menyadari bahwa ada sesuatu yang tak dapat saya lakukan sendiri, saya merasa bahwa seharusnya saya dapat melakukannya.

Ketiga faktor tersebut mempunyai efek yang menghancurkan, tetapi ternyata justru kehancuran itu yang saya butuhkan. Saya pikir kita semua membutuhkan kehancuran seperti ini. Bukan kehancuran mental, tetapi kehancuran perasaan yang menganggap diri sendiri mampu.

Dari pengalaman saya maupun pengalaman orang lain yang berada dalam situasi menyakitkan karena ketidakberdayaan, muncullah suatu kebutuhan, hasrat untuk mengontrol apa pun -- mengontrol hidup, keadaan, manusia, dan tanpa disadari mengontrol Tuhan -- karena kita merasa takut pada apa yang mungkin akan terjadi. Kita merasa bahwa bila kita dapat mengontrol segala sesuatu dan membuatnya bergerak ke arah tertentu, ketakutan kita berkurang.

Masalah yang saya hadapi adalah merasa tidak mampu melindungi diri dari hal-hal yang saya takuti. Oleh karenanya, saya mulai membuat sebuah "kepompong" bagi diri saya. Kepompong itu kecil seperti maknanya yang sebenarnya. Saya mempunyai sebuah ruangan sempit, di mana saya merasa aman dan tenteram -- yakni keempat sisi dinding rumah saya. Kenyataannya, saya begitu mengungkung hidup saya sehingga hanya ada satu populasi dalam dunia saya, yakni saya sendiri.

Selama masa-masa itu, saya sudah menjadi kristiani. Dan, walaupun saya benar-benar memercayai Allah, saya tidak memberi-Nya tempat dalam hidup saya. Saya benar-benar tidak bahagia. Lebih parah lagi, saya tak mampu memahami tujuan unik Allah yang hendak dicapai dengan menciptakan saya.

Saya telah terpuruk pada titik terendah dalam hidup saya. Saya harus merendahkan diri lebih dulu sebelum saya dapat mengizinkan Dia mengubahkan saya dan merasakan bagaimana Kristus mencukupi hidup saya. Allah mulai mengubahkan saya sesuai gambaran Paulus dalam Filipi 1:6, "... Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus." Proses pengubahan ini tidak hanya memuat 6 pelajaran yang mudah atau berlangsung selama 6 bulan, melainkan terus berlanjut hingga "hari Kristus Yesus".

Tatkala saya mulai mengalami kemajuan menuju pemulihan yang sempurna, Allah menyatakan empat hal yang hingga kini masih berpengaruh kuat dalam hidup saya: membaca, berdoa, percaya, dan taat. Membaca Alkitab adalah sesuatu yang perlu dinikmati. Berdoa adalah alat untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Doa tidak terbatas pada ruang dan waktu yang khusus. Kita juga dapat berdoa saat berada di pasar, di dalam mobil, dan dalam segala keadaan kita. Percaya berarti -- memercayakan ha-hal yang berada di luar kemampuan kita kepada Allah. Lepaskan hal-hal itu, bukan ke udara, melainkan kepada Allah. Taat -- Allah menginginkan kita untuk menaati-Nya dalam hal-hal yang masih dalam batas kemampuan kita untuk melakukannya.

Empat hal ini sudah sangat lazim. Ketergantungan kepada Allah adalah suatu kebenaran yang nyata secara alkitabiah, tetapi samar secara lahiriah. Kita harus benar-benar mempraktikkannya, bukan sekadar tahu, berbicara, dan percaya akan hal-hal itu. Kondisi yang lemah dan tak berdaya dapat membawa berkat bagi kita, yakni memotivasi kita untuk melakukan hal-hal di atas yang sebenarnya sudah lama kita percayai.

Tatkala saya mulai mempraktikkan hal-hal ini dalam kehidupan sehari-hari, saya mendapati bahwa hubungan saya dengan Kristus semakin erat sehingga kepercayaan saya kepada-Nya makin bertumbuh. Dia membuktikan bahwa Dia mampu mencukupkan segala keperluan saya mulai dari hal-hal yang kecil. Manakala Dia terus campur tangan dalam hidup saya, saya pun makin memercayai-Nya.

Keempat hal ini -- membaca, berdoa, percaya, dan taat -- berinteraksi satu sama lain. Dengan interaksi ini ada sesuatu yang dapat saya kerjakan. Sementara saya mengerjakan hal-hal yang dapat saya lakukan, Allah mengerjakan hal-hal yang hanya dapat dilakukan oleh-Nya. Oleh karena itu, alasan saya untuk khawatir makin lama makin berkurang. Kekhawatiran saya tak lagi berlebihan. Saya mulai menyadari bahwa ke mana pun Dia membimbing saya untuk melakukan sesuatu, bahkan ketika rintangan menghadang, Dia akan datang untuk menolong saya.

Akhirnya, Allah membimbing saya keluar dari kepompong yang saya bangun untuk diri saya. Dia melakukannya dengan menjadikan saya pemimpin PA (Pemahaman Alkitab) di lingkungan tempat saya tinggal. Saya percaya bahwa saya dapat melayani kaum wanita secara efektif dalam kelompok-kelompok karena mereka menyadari bahwa saya juga membutuhkan Kristus sama seperti mereka. Oleh karenanya, saya tidak menjadi ancaman bagi mereka. Saya menjadi pendorong pertumbuhan iman mereka.

Selanjutnya, Allah memimpin suami saya dan saya pergi ke negara lain. Suatu hari kami bertemu dengan seorang pecandu narkotika di terowongan kereta api di London, dan kami membawanya pulang untuk tinggal bersama kami. Melalui dirinya dan beberapa orang lagi yang kami bawa pulang untuk tinggal bersama kami, saya dihadapkan pada suatu kenyataan. Semula saya merasa menyesal karena terlalu bergantung pada Allah dalam hal-hal yang sebenarnya mudah dilakukan oleh kebanyakan orang. Namun, dalam keterlibatan saya dengan para pecandu narkotika ini, saya menyadari bahwa kesembuhan mereka dan saya tidak terjadi dengan sendirinya. Kuncinya adalah bersandar pada Allah.

Melalui pengalaman saya dengan para pecandu tersebut, saya sadar bahwa saya diciptakan untuk bergantung kepada Allah. Saya juga belajar bahwa sesuatu yang efektif di masa krisis juga efektif di sepanjang waktu. Dengan demikian, saya merasa perlu menawarkan suatu pengobatan yang radikal dan mengejutkan kepada pecandu narkotika. Selama ini mereka telah diajar untuk menyingkirkan segala bentuk ketergantungan dalam hidup mereka. Namun, saya akan menunjukkan bahwa mereka dapat memperoleh pemulihan dengan mengubah ketergantungan kepada narkotika dengan ketergantungan kepada Allah. Bukan menggantikan narkotika dengan Allah, melainkan beralih kepada ketergantungan yang menjadi tujuan unik dari penciptaan kita.

Menurut Anda, bila seseorang ingin dimenangkan bagi Kristus, oleh orang yang bagaimanakah ia ingin dimenangkan? Mungkinkah mereka memilih untuk dimenangkan oleh orang yang kuat, yang tampaknya tidak pernah mengenal apa artinya lemah? Ataukah mereka akan memilih dimenangkan oleh orang lemah yang sudah menemukan cara untuk menjadi kuat? Saya percaya sepenuhnya bahwa mereka akan memilih yang terakhir.

Mungkin kita berpikir bahwa kita sedang melayani pekerjaan Allah dan meyakinkan orang-orang tentang Allah saat kita memberi kesan bahwa kita adalah orang kuat, tetapi hal itu justru dapat menghilangkan harapan mereka bahwa mungkin Allah merencanakan sesuatu yang lain bagi mereka. Ini terlihat dari reaksi mereka. Mereka tak dapat berkata, "Oh, ini cocok untuk saya!? Sebaliknya, mereka berkata, "Saya tak akan pernah mampu menjadi seperti itu." Namun, ketika mereka melihat orang lemah yang sedang belajar menjadi kuat dan masih terus belajar untuk memperoleh kekuatan itu sendiri dari Allah, mereka akan dipenuhi dengan pengharapan. Mereka akan berkata, "Wow! Kalau ia bisa berhasil, mungkin ada sesuatu yang dapat saya pelajari dari keberhasilannya."

Saya hanyalah orang biasa. Ini bukan hanya suatu fakta, tetapi juga keinginan hati saya. Terlepas dari pemahaman bahwa kita adalah ciptaan yang unik, saya hanyalah orang biasa. Tanpa Kristus saya akan tersesat. Bahkan, saya pernah diperkenalkan di hadapan orang banyak demikian dalam suatu pertemuan, "Ini Joanie, yang pasti tersesat tanpa Kristus." Ada saatnya perkenalan semacam ini menakutkan saya. Namun, Allah membawa saya dalam kondisi hidup yang mengizinkan saya melihat dengan jelas kelemahan manusia sehingga saya dapat keluar dan bersaksi pada dunia dan orang lain tentang apa yang dapat Allah lakukan di dalam dan melalui kelemahan manusia. Bila Dia dapat melakukan di dalam dan melalui saya, demikian pula yang akan Dia lakukan bagi mereka.

Ketergantungan kepada Allah menjadi tema dalam kisah hidup saya. Kisahnya menuturkan tentang seorang wanita yang tidak memiliki apa-apa dalam dirinya, tetapi mendapat segala sesuatu yang ia butuhkan melalui hidup yang bersandar kepada Allah. Bukanlah suatu pernyataan yang menyedihkan bila kita harus bergantung kepada Allah karena sikap ketergantungan ini adalah rancangan Allah yang sempurna. Suatu ciptaan akan menjadi yang terbaik bila ia bersandar pada sang Pencipta. Dahulu bersandar kepada Allah adalah usaha terakhir yang saya lakukan. Kini, hal itu selalu menjadi hal pertama yang saya lakukan!

Kemajuan dalam kehidupan rohani saya berawal dari pengalaman hidup saya yang dimulai dari titik yang terendah. Saya tampak begitu buruk dan tidak bahagia. Namun, itulah masa yang paling penting dalam hidup kerohanian saya. Saya berharap kisah ini dapat memberi dorongan semangat bagi orang lain yang mengalami hal serupa. Acap kali kita berpikir bahwa untuk dapat menjadi orang yang dewasa secara rohani kita harus selalu menjadi orang yang hebat. Itu tidak benar. Kita dapat menjadi orang yang dewasa secara rohani tatkala kita tidak lagi bergantung pada kekuatan diri sendiri, melainkan bergantung sepenuhnya kepada Allah.

* Kisah Joanie Yoder selengkapnya terdapat dalam bukunya yang berjudul "Finding the God-Dependent Life", (c)1992, Discovery House Publishers.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul asli buku : What Can I Do with My Worry?
Judul buku terjemahan : Bagaimana Mengatasi Kekhawatiran?
Penulis : Tim RBC
Penerjemah : Lidya Budiwati
Penerbit : Yayasan Gloria, Yogyakarta
Halaman : 51 -- 62

Komentar