Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Alkitab Berbicara tentang Utang dan Meminjam

Beberapa pasangan mungkin pernah bermasalah dengan utang. Sekarang mari kita telaah bagaimana mereka keluar dari utang. Pernikahan mereka selamat karena mereka bersedia bekerja sama dan melakukan hal-hal yang dituntut untuk menata urusan keuangan mereka, seberapa sulit pun itu.

Akan tetapi sebelumnya, kita perlu membahas dahulu prinsip-prinsip dari Alkitab menyangkut utang dan meminjam karena sebagian besar nasihat tentang utang dalam buku ini didasarkan kepada prinsip-prinsip tersebut.

Prinsip-Prinsip Alkitab tentang Utang

  • Prinsip 1: yang Berutang Menjadi Budak yang Mengutangi
  • Utang adalah istilah yang kurang dipahami sekarang ini. Kebanyakan orang menggunakan kata utang untuk menggambarkan pinjaman apa pun; padahal itu tidak sepenuhnya akurat, itu kurang tepat.

    Kitab Suci melampaui definisi tersebut untuk menggambarkan kondisi berutang. Seandainya pun suatu utang itu lancar (semua pembayaran tepat waktu), sang peminjam berpotensi menjadi budak. "Orang kaya menguasai orang miskin, yang berutang menjadi budak dari yang mengutangi." (Amsal 22:7) Akan tetapi, kalau utangnya tidak dibayar, yang mengutangi diberikan kewenangan tidak langsung dari Allah, menurut Alkitab.

    Pada zaman Kristus, kewenangan tersebut termasuk memenjarakan, memperbudak, dan menyita seluruh kepunyaan duniawi sang peminjam. Tidak ada satu ayat pun dalam Kitab Suci yang mengindikasikan bahwa itu bukan hak sah yang mengutangi. Satu-satunya variabel yang diizinkan Kitab Suci adalah bahwa kalau yang mengutangi dan yang meminjam itu sama-sama Yahudi, sang peminjam akan dibebaskan dari perbudakan pada akhir masa tujuh tahun, kecuali ia sendiri secara sukarela memilih tetap menjadi budak. Setidaknya, meminjam itu merupakan keputusan yang jangan dianggap enteng.

    Aturan-aturan dasar yang sama juga berlaku di Amerika bahkan pada abad ke-20. Hampir setiap kota besar, dalam perpustakaannya, masih mempunyai catatan-catatan tentang debitur yang dipenjarakan. Saya temukan beberapa contoh yang baik menjelang pergantian abad di Atlanta. Suatu catatan mengatakan, "Abraham Johnston, pria berkulit putih, dimasukkan ke penjara karena berutang, selama enam tahun atau hingga utangnya lunas karena tidak membayar dua ratus dolar yang telah disepakatinya untuk membeli seekor keledai".

    Catatan lainnya mengatakan, "Sara Wright dihukum penjara untuk waktu yang tidak terbatas karena kebiasaan buruknya berutang". Antara lain disebutkan dakwaan terhadapnya seperti membeli makanan yang tidak sanggup dibayarnya, membeli barang-barang kering di toserba yang tidak sanggup dibayarnya, dan menanda-tangani pinjaman dengan seorang warga setempat tanpa kemampuan membayar. Sementara kita memasuki abad ke-21, jelas sekali bahwa sikap kita sekarang ini tentang utang agak berbeda dengan para pendahulu kita. Penyebab perbedaan ini adalah ketamakan dan sikap memanjakan diri. Bukan di pihak sang peminjam; itu baru muncul belakangan. Ketamakan awalnya adalah di pihak pejabat-pejabat terpilih yang ingin mengembangkan perekonomian kita dengan jalan utang. Untuk itu, dituntut perubahan aturan secara drastis menyangkut soal meminjam dan konsekuensi dari kegagalan membayar kembali.

    Tidak banyak orang sekarang ini mau mengambil risiko melepaskan kebebasan mereka dan terpisah dari keluarga mereka demi meminjam uang. Risikonya terlalu besar. Karenanya undang-undang pun diubah untuk menjadikan risiko meminjam tidak terlalu besar dan menjadikan kredit lebih tersedia. Lagipula, siapa yang mau menoleransi pemerintah yang meminjam uang sebanyak-banyaknya yang tidak sanggup dibayar kembali, padahal teman-teman dan sanak saudara dipenjara karena gagal membayar kembali pinjaman pribadi mereka?

    Undang-undang lama tentang utang yang tidak dibayar tampaknya terlalu keras dan tidak perlu bagi kita sekarang ini, dan mungkin memang benar. Akan tetapi, prinsip-prinsip di baliknya tetap mantap dan adil. Undang-undang mengasumsikan bahwa tidak ada orang yang dipaksa untuk meminjam uang; mereka meminjam uang secara sukarela. Yang mengutangi memberikan kehormatan (uang), dan yang meminjam menyatakan dirinya layak dipercaya. Demikianlah hukuman atas kegagalan membayar kembali itu sesungguhnya lebih keras daripada pencurian karena dianggap sebagai pelanggaran kepercayaan.

  • Prinsip 2: Meminjam itu Diizinkan dalam Kitab Suci
  • Semenjak saya mulai mengajarkan prinsip-prinsip menangani uang menurut Alkitab pada tahun 1973, banyak buku telah ditulis dan seminar diajarkan tentang topik ini. Ada guru yang bermaksud baik mengatakan bahwa meminjam itu dilarang menurut firman Allah dan bahwa, konsekuensinya, umat Kristiani hendaknya tidak meminjam atau pun mengutangi. Hampir tanpa kecuali, acuan Alkitab yang digunakan guru-guru seperti itu untuk mendukung argumentasi mereka adalah, "Janganlah kamu berutang apa-apa kepada siapa pun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat" (Roma 13:8).

    Seandainya saja sesederhana itu, padahal tidak. Ketika saya pertama kalinya membaca Roma 13:8 dalam studi saya tentang keuangan, saya berkata dalam hati: "Aha! Ini dia pembenaran untuk memberi tahu semua umat Kristiani untuk menyingkirkan segala kredit, terutama umat Kristiani yang telah menyalah-gunakan kredit". Akan tetapi, kemudian saya temukan diri saya bingung sendiri. Seandainya Allah, melalui rasul Paulus, berniat mengajari umat-Nya bahwa meminjam itu dilarang, mengapa ada ayat-ayat Perjanjian Lama yang menyuruh manusia membayar kembali apa yang mereka pinjam? Itu sama saja dengan melarang pencurian lalu memberikan petunjuk detail tentang bagaimana caranya menginvestasikan uang curian. Jelas itu menggelikan, dan itulah sebabnya di dalam Alkitab tidak Anda temukan prinsip-prinsip menyangkut menangani barang curian.

    Tentu, Allah mungkin saja memutuskan bahwa sudah tiba saatnya bagi umat-Nya untuk menjadi benar-benar bebas dari utang, dan oleh karenanya dalam Perjanjian Baru mengubah aturan yang sebelumnya berlaku soal utang. Akan tetapi, hanya ada dua alternatif yang mungkin: entah Allah mengubah aturan bagi umat-Nya dan sebaiknya kita segera menghapuskan utang, atau Roma 13:8 tidaklah berarti bahwa umat Kristiani tidak boleh meminjam.

    Jadi, saya pun mengevaluasi ayat dalam kitab Roma tersebut. Saya ingin membagikan kesimpulan saya karena saya percaya kesimpulan saya akurat dan ditegaskan oleh dominasi Kitab Suci. Anda bisa membaca ayat-ayat yang sama dan mengambil keputusan Anda sendiri. Ingat saja bahwa ketika saya memulai studi saya, saya sedang mencari pembenaran untuk mengajar bahwa meminjam itu tidak sesuai dengan Kitab Suci.

    Untuk memahami Roma 13:8, perlu kita baca Roma 13:6, ketika Paulus membahas soal pembayaran pajak. Umat Kristiani pada zaman Paulus sering kali beranggapan bahwa seharusnya mereka tidak perlu membayar pajak kepada pemerintah Romawi karena mereka itu pemerintahan sekuler (kedengarannya tidak asing?). Paulus menasihati orang percaya bahwa sebagai rakyat Romawi, mereka harus mematuhi undang-undang menyangkut perpajakan. Saya yakin bahwa ketika Paulus menuliskannya, ia ingat akan diskusi Tuhan tentang pajak dalam Matius 22:17-21 dan bahwa Paulus percaya bahwa adalah tidak sesuai dengan Kitab Suci kalau umat Kristiani tidak mau membayar pajak. Paulus mengembangkan dan menyatakan ulang petunjuknya menyangkut pembayaran pajak: "Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar; pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat" (Roma 13:7).

    Dengan latar belakang ayat 6 dan 7 tersebut, petunjuk Paulus kepada umat Kristiani agar "jangan berutang apa-apa" itu menjadi lain maknanya daripada seandainya kita membacanya secara tersendiri. Paulus sedang merangkum kewajiban semua orang yang telah ditetapkan secara hukum untuk membayar pajak serta menghormati pejabat-pejabat pemerintah. Ia bukan sedang memberikan ajaran baru tentang meminjam uang melainkan sedang menegaskan nasihat sebelumnya untuk mematuhi hukum. Jadi, dapatlah dikatakan bahwa walaupun meminjam itu tidak disarankan menurut Kitab Suci, itu juga tidak dilarang.

Prinsip-Prinsip Alkitab tentang Meminjam

Prinsip-prinsip tentang meminjam ada dalam firman Allah, walaupun perlu diingat bahwa ini hanyalah prinsip, bukan hukum. Dari waktu ke waktu, guru yang fanatik akan mengemukakan prinsip-prinsip seolah-olah itu hukum. Padahal bukan. Prinsip artinya petunjuk dari Tuhan untuk membantu memandu keputusan-keputusan kita. Hukum itu mutlak. Konsekuensi negatif mungkin timbul ketika kita mengabaikan suatu prinsip, tetapi kemungkinan besar kita akan dihukum kalau mengabaikan hukum Allah.

Contoh dari masyarakat adalah mengemudi dalam keadaan mabuk. Aturan yang baik, atau prinsip untuk diikuti adalah jangan pernah mabuk. Akan tetapi, hukum mengatakan bahwa kalau Anda mengemudi dalam keadaan mabuk, Anda bisa kehilangan surat izin mengemudi Anda dan bahkan dipenjara.

Prinsip meminjam dalam Kitab Suci adalah bahwa lebih baik tidak menjadi penanggung suatu pinjaman. "Orang yang tidak berakal budi ialah dia yang membuat persetujuan, yang menjadi penanggung bagi sesamanya." (Amsal 17:18) Menanggung artinya Anda menerima kewajiban untuk membayar tanpa cara yang spesifik untuk membayarnya.

Hukum meminjam dalam Kitab Suci adalah bahwa merupakan dosa kalau Anda meminjam dan tidak membayar kembali. "Orang fasik meminjam dan tidak membayar kembali, tetapi orang benar adalah pengasih dan pemurah." (Mazmur 37:22) Asumsi dalam ayat ini adalah bahwa orang fasik itu sanggup tetapi tidak mau membayar, bukannya mau tetapi tidak sanggup membayar.

Prinsip-prinsip itu diberikan untuk menjaga kita di jalan Allah sehingga kita bisa mengalami berkat-berkat-Nya. Mengabaikan prinsip menjadikan kita selalu berada dalam bahaya karena setiap saat Iblis bisa membuat kita tersandung.

  1. Prinsip 1: Utang Itu Tidak Normal
  2. Terlepas dari bagaimana tampaknya sekarang ini, utang itu tidaklah normal dalam perekonomian mana pun dan janganlah hendaknya dianggap normal oleh umat Allah. Kita hidup dalam masyarakat yang dibebani utang yang sekarang ini boleh dikata bergantung kepada pemberian kredit terus-menerus untuk terus menumbuhkan perekonomian. Itulah gejala masyarakat yang tidak lagi mau mengikuti petunjuk-petunjuk Allah. Kita melihat ketidaktaatan ini dalam aborsi, homoseksualitas, pornografi, dan perzinaan. Mengapakah kita mengasumsikan bidang uang itu lain? Akan tetapi, umat Kristiani yang tidak akan pernah mau secara aktif berpartisipasi dalam bidang-bidang lain tersebut secara naif mengikuti jalan dunia dalam bidang kredit.

    Dengarkan janji yang Allah firmankan kepada umat-Nya: "Jika engkau baik-baik mendengarkan suara Tuhan, Allahmu, dan melakukan dengan setia segala perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, maka Tuhan, Allahmu, akan mengangkat engkau di atas segala bangsa di bumi ... Tuhan akan membuka bagimu perbendaharaan-Nya yang melimpah, yakni langit, untuk memberi hujan bagi tanahmu pada masanya dan memberkati segala pekerjaanmu, sehingga engkau memberi pinjaman kepada banyak bangsa, tetapi engkau sendiri tidak meminta pinjaman". (Ulangan 28:1, 12)

  3. Prinsip 2: Jangan Mengakumulasi Utang Jangka Panjang
  4. Sungguh sulit dipercaya bahwa keluarga Amerika pada umumnya menerima hipotik rumah tiga puluh tahun itu sebagai sesuatu yang normal sekarang ini, atau bahwa sekarang ini dimungkinkan meminjam dengan jaminan rumah selama hampir tujuh puluh tahun. Betul. Itu bukan salah cetak. Tujuh puluh tahun. Kebutuhan untuk memperluas basis pinjaman terus memaksa pinjaman hipotik yang semakin panjang jangka waktunya. Mengapa? Sebab pengembangan lewat utang mengakibatkan harga-harga naik lewat inflasi. Sementara harga-harga naik, hipotik pun semakin panjang jangka waktunya.

    Inflasi adalah cerminan dari pengembangan suplai uang lewat pinjaman. Umpamanya, statistik tahun 1999 menunjukkan harga median rumah di Amerika Serikat adalah kira-kira $130,000. Tetapi harga-harga median regional di beberapa kota Amerika yang lebih besar bervariasi: di Timur Laut: $155,000; di Tenggara: $121,000; di Midwest: $143,000; di Barat Daya: $93,000, dan di Pantai Barat: $178,000.

    Dalam kurun waktu yang sama, penghasilan median rumah tangga adalah $37,000. Dengan ukuran paling longgar pun, mengasumsikan bunga hipotik paling murah pun, selama tiga puluh tahun, harga rumah akan menuntut lebih dari 50 persen dari rata-rata penghasilan bersih keluarga yang bisa dibelanjakan.

    Akan tetapi, berapakah nilai rata-rata rumah itu sesungguhnya? Untuk menentukan itu, asumsikanlah bahwa rumah itu tidak lagi mungkin dijual dengan hipotik jangka panjang. Berapakah rata-rata rumah itu akan laku terjual seandainya hanya bisa dibeli secara tunai? Yang jelas bukan $130,000, melainkan lebih murah puluhan ribu dolar. Selisihnya adalah inflasi, yang tercipta lewat penggunaan utang jangka panjang.

    Jangka waktu utang terpanjang menurut Alkitab adalah tujuh tahun. Pada tahun remisi (tahun ketujuh), bangsa Yahudi diperintahkan untuk membebaskan saudaranya dari utang. "Pada akhir tujuh tahun engkau harus mengadakan penghapusan utang. Inilah cara penghapusan itu: setiap orang yang berpiutang harus menghapuskan apa yang dipinjamkannya kepada sesamanya; janganlah ia menagib dari sesamanya atau saudaranya, karena telah dimaklumkan penghapusan utang demi Tuhan" (Ulangan 15:1-2). Jadi, utang yang melampaui tujuh tahun hanyalah utang-utang orang yang bukan Yahudi atau dari yang bukan Yahudi.

    Kok bisa sih, pinjaman rumah diberikan hingga tujuh puluh tahun? Dengan menciptakan pinjaman yang didasarkan kepada jadwal amortisasi tiga puluh tahun, tetapi menggunakan masa pinjaman tujuh tahun. Jadi, pinjamannya harus dinegosiasikan ulang setiap tujuh tahun. Meneruskan siklus tersebut untuk melunasi rumahnya menjadikan masa pinjaman efektifnya kira-kira tujuh puluh tahun.

  5. Prinsip 3: Jangan Menanggung
  6. Sekarang Anda tentu sudah mengerti bahwa menanggung artinya menerima kewajiban untuk membayar tanpa mempunyai cara yang pasti untuk membayarnya. Bentuk penanggungan yang paling umum adalah menjamin utang orang lain. Akan tetapi, penanggungan juga bisa berbentuk pinjaman ketika Anda menandatangani jaminan tak bersyarat untuk membayar.

    Satu-satunya cara untuk tidak menanggung adalah menjamin suatu pinjaman dengan properti yang akan menutup utangnya, apa pun yang terjadi. Banyak pembeli rumah menganggap bahwa karena mereka membeli aset yang akan naik harganya, seperti rumah itu, mereka aman dari penanggungan, padahal belum tentu. Di kebanyakan negara bagian seorang yang mengutangi bisa menggugat untuk menagih kekurangan hipotik rumah kalau sampai terjadi wanprestasi. Dan ingatlah bahwa kebanyakan wanprestasi itu terjadi dalam perekonomian yang buruk, ketika harga-harga rumah kemungkinan besar turun.

    Pembelian dengan kartu kredit telah menjadi bentuk penanggungan paling umum dalam generasi kita. Dalam transaksi ini, seorang pedagang menjual barangnya kepada Anda dan perusahaan lain yang membiayai pembelian tersebut (kecuali kartu kredit toko). Kalau sampai terjadi wanprestasi, dikembalikannya barang yang dibeli itu pun tidaklah membatalkan utangnya, sebab perusahaan pembiayaannya tidak berkepentingan terhadap barangnya.

  7. Prinsip 4: Sang Peminjam Berkomitmen Mutlak untuk Membayar Kembali
  8. Dalam generasi ini, etika tergantung situasilah yang diterima umum, jadi mudah sekali merasionalisasikan tidak membayar utang, terutama ketika produk atau jasanya cacat atau ketika situasi keuangan tampaknya di luar kendali, seperti yang dialami oleh Jack dan Mary. Tingkat perceraian maupun kebangkrutan di Amerika ini membuktikan fakta bahwa kita ini hidup di masyarakat yang situasional. Media massa mengemukakan ekspektasi-ekspektasi yang tidak realistis menyangkut bagaimana seharusnya pernikahan itu, dan generasi "aku" mengharapkan hak-hak individu dijunjung tinggi dalam pernikahan. Ketika ekspektasi-ekspektasi yang tidak realistis itu ternyata tidak menjadi realita, kira-kira separuh dari pasangan menikah itu minta cerai.

Demikian pulalah halnya dengan orang yang meminjam uang. Akses kredit yang mudah sekarang ini menuntun banyak orang untuk beranggapan bahwa membayar utang mereka mudah sekali. Sayangnya, banyak peminjam menemukan bahwa ternyata mereka bisa mengakumulasikan utang lebih banyak daripada yang sanggup mereka bayar kembali dan tetap mempertahankan gaya hidup yang mereka inginkan. Akibatnya, mereka tidak membayar.

Pada tahun 1999, kira-kira 1.500.000 orang memilih menyatakan diri bangkrut sebagai cara untuk tidak lagi membayar. Padahal rata-rata utang pasangan yang menyatakan diri bangkrut itu hanya kira-kira $6,300.

Seperti yang dikatakan oleh seorang pengacara sepasang suami isteri dalam kasus kebangkrutan, "Menyatakan diri bangkrut pasti boleh, kalau tidak, pemerintah tidak mungkin mengizinkannya". Itu benar hanya kalau Anda mengasumsikan bahwa pemerintah Amerika sekarang ini mengikuti prinsip-prinsip Allah, yang sama sekali tidak benar dari perspektif Kristiani.

Ada guru Kristiani yang menyamakan undang-undang modern tentang kebangkrutan ini dengan tahun yobel yang ditetapkan oleh Allah: "Kamu harus menguduskan tahun yang kelima puluh, dan memaklumkan kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, dan kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya dan kepada kaumnya" (Imamat 25:10).

Seandainya saja saya bisa mendukung pandangan bahwa mengajukan diri bangkrut itu bisa disamakan dengan tahun yobel, padahal tidak. Mengajukan diri bangkrut adalah tindakan sang peminjam untuk menghindari para krediturnya. Tahun yobel (maupun tahun penghapusan utang) adalah tindakan sukarela dari yang mengutangi untuk menghapuskan piutangnya -- beda sekali.

Dalam situasi tertentu, mengajukan diri bangkrut itu bisa diterima, tetapi hanya dalam konteks berusaha melindungi para kreditur-tidak pernah dalam konteks berusaha menghindari pembayaran.

Umat Kristiani perlu menerima kebenaran bahwa Allah tidak memberi mereka alternatif untuk memegang sumpah. Itulah sebabnya, Alkitab memperingatkan kita untuk berhati-hati dalam membuat sumpah: "Lebih baik engkau tidak bernazar daripada bernazar tetapi tidak menepatinya" (Pengkhotbah 5:4).

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul asli buku : Debt Free Living
Judul buku terjemahan : Hidup Bebas dari Belenggu Utang
Judul bab : Alternatif Pinjaman Konsolidasi
Penulis : Larry Burkett
Penerjemah : Drs. Arvin Saputra
Penerbit : Gospel Press, Batam
Halaman : 59 -- 69

Komentar