Sukses dan Skandal

Penulis : Eka Darmaputera

David McCracken dalam bukunya "GOD´S EMERGING LEADERSHIP", menuliskan pengamatannya yang jujur mengenai situasi umum gereja-gereja di abad 20. Tapi kita tahu, "kejujuran" saja tidak cukup.

[block:views=similarterms-block_1]

Kejujuran adalah kebajikan, ya, namun memerlukan kebijakan. "Kebenaran" juga butuh pakaian, tak bisa telanjang.

Itu sebabnya racikan obat yang pahit, perlu dimasukkan ke kapsul atau dibungkus selaput gula. Supaya apa? Supaya tak terasa pahitnya, namun tanpa hilang khasiatnya.

Menurut saya, pernyataan McCracken-walaupun benar-"terlalu terus terang". Bagaikan obat tanpa lapisan gula. Sebab itu, bagi sebagian, mungkin pahit.

Ia mengemukakan tiga hal, sebagian "kabar baik", sebagian "kabar buruk". Mari kita mulai dengan "kabar baik"nya terlebih dahulu. Menurut penilaiannya, abad 20 yang baru berlalu ini, puji Tuhan, merupakan "abad pemulihan" dan "abad kebangkitan kembali"-rennaisance-gereja. Gereja-gereja Tuhan-sebagian, paling tidak-berhasil menemukan kembali dinamika dan vitalitasnya. Terjaga dari tidurnya yang lama.

Kebangkitan ini, katanya, terutama dipicu oleh "ditemukannya kembali" makna dan dinamika KUASA ALLAH dan KARUNIA ROH KUDUS. Ya! Setelah sekian lama keduanya-kuasa Allah dan karunia Roh-itu, seakan-akan menghilang dari kehidupan gereja dan orang Kristen. Maksud saya, kehadiran dan dampaknya tak dirasakan atau memang sengaja diabaikan.

MENGHILANG? Ya. Sebab tertutup serta tertimbun oleh rutinisme, formalisme, dan verbalisme gereja. Apa yang ia maksudkan dengan "isme-isme" itu?

"Rutinisme" -secara sederhana-terjadi, ketika gereja secara mekanis hanya menjalankan apa yang "rutin". Artinya, apa yang telah "biasa" ia lakukan, dari waktu ke waktu-sejak dulu. Enggan mencari terobosan baru. Malas menjajaki rute-rute baru. "Begini saja sudah jalan, untuk apa susah-susah cari yang baru?!", dalihnya.

Orang masih ke gereja pada hari Minggu, tapi tanpa penghayatan. Pokoknya, ini hari Minggu dan saya adalah orang Kristen, ya saya ke gereja. Bahwa di sana saya hanya "numpang tidur" itu lain perkara. Itulah, antara lain, ekspresi rutinisme.

Yang kedua, yang disebut oleh McCracken, adalah "formalisme". Apa ini? Secara sederhana, "formalisme" dapat diterjemahkan sebagai sikap serba "resmi-resmian". Semuanya mesti serba resmi dan serba sah. Harus berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada. Sampai ke titik-koma. Bagaimana pun situasi dan kondisinya.

Ekstremnya begini. Ada orang mengalami kecelakaan hebat, persis di seberang sebuah gedung gereja. Ia membutuhkan darah segera, saat itu juga. Gereja sebenarnya bisa menolong, sebab mempunyai sejumlah donor.

Namun ini tidak ia lakukan. Mengapa? Sebab "SK" untuk menolongnya belum ada. Sedang untuk menerbitkan "SK", mesti rapat dulu. Dan supaya rapat bisa mengambil keputusan yang sah, kuorum harus tercapai. Lalu untuk mengusahakan agar kuorum tercapai, maka undangan rapat sudah harus disebarkan paling sedikit tiga hari sebelumnya.

Apa yang terjadi ketika akhirnya keputusan resmi dapat diambil? Pertolongan itu sudah tidak diperlukan lagi. Si korban telah mati, tiga hari sebelumnya. Yang ia butuhkan adalah darah, bukan "SK".

Dengan "formalisme"nya itu, gereja bisa tetap eksis. O ya! Tapi eksis bagaikan "tugu". Kokoh dan menjulang. Namun selebihnya, cuma diam. Tak mampu berkiprah apa-apa. Tak berdaya untuk merespon kebutuhan.yang segera. Kaki dan tangannya tercencang oleh 1.001 macam peraturan.

Akhirnya, yang ketiga, adalah "verbalisme". Diterjemahkan secara populer, "verbalisme" tidak lain adalah "cuman ngomongnya doang". Segala sesuatu seolah-olah beres, selesai, dan terlaksana dengan sendirinya, hanya karena telah di"omong"kan, diucapkan, diputuskan. Tidak satunya perkataan dan perbuatan.

Gereja-gereja yang terperosok dalam "verbalisme", adalah gereja-gereja yang omongannya terbang membubung, dan pernyataan-pernyataannya tinggi melambung. Tapi praktiknya? Tingkah lakunya? Pelaksanaannya? Nol besar!

Sikap seperti inilah yang membuat gereja acap kali bukan hanya "mandul" ke dalam, tapi sekaligus juga menjadi "skandal besar" ke luar. Ketika yang diteriakkan adalah "kasih", tapi yang ditebar adalah "kebencian". Yang dianjurkan adalah "rendah hati", tapi yang nampak adalah "arogansi". Yang diklaim adalah "keselamatan", tapi-seperti kata Gandhi-mereka kok tidak menunjukkan kelebihan apa-apa tuh.

RUTINISME, formalisme dan verbalisme ini secara gradual membuat gereja seperti "mumi" -kelihatannya saja hidup, namun hakikatnya mati. Mati, sebab ia berubah menjadi tidak lebih dari sebuah "organisasi", bukan lagi "organisme".

Sekadar lembaga atau jawatan, bukan lagi gerakan. Beku, karena ke"baku"annya. Spontanitas dimatikan, sebab semuanya mesti "tertib". Dan "ketertiban" diidentikkan dengan "keseragaman".

Dalam gereja yang seperti ini, "kuasa Allah" dan "karunia Roh" tidak lagi mendapat tempat, apa lagi peran. Tata gereja dan aturan gereja lebih "berkuasa". Sampai "karunia Roh" pun harus lolos seleksi terlebih dahulu - lulus "fit and proper test". Apakah ia sesuai dengan rutinitas dan formalitas yang ada?

Apa akibatnya? Tatkala kuasa Allah dan karunia Roh tersingkir dari gereja, maka yang tersisa hanyalah keterbatasan kemampuan manusia. Yang ada hanyalah rantai birokrasi yang panjang. Dan yang dominan adalah seperangkat aturan yang lebih memasung ketimbang menolong. Tatkala "kuasa Allah" dan "karunia Roh" lenyap dari kehidupan yang nyata, maka yang Anda temukan hanyalah "abu", bukan "api". Hanya "ampas" bukan "santan".

MASIH herankah Anda, mengapa gereja ada dan kelihatannya bertumbuh, orang kristen pun banyak serta terus bertambah, tapi rasa-rasanya kok tak ada dampaknya yang berarti bagi sekitar? Anda tahu apa sebabnya? Sebab ia tidak mampu lagi menawarkan apa-apa yang baru dan menarik bagi dunia.

Kehidupannya sendiri hanya menjadi etalase keboborokannya dan kelemahannya. Anda lihat sendiri, bukan, betapa gereja hampir selalu tertinggal? Nyaris selalu kalah bersaing dan berlomba? Tempatnya di belakang, di sudut, di pinggiran, yang tak berarti?

Bukankah itu yang pernah, atau malah mungkin masih, kita alami? Ketika ibadah-ibadah terasa kering kerontang, sebab semua berjalan secara mekanis.Ketika kotbah-kotbah terdengar steril, tidak menyentak atau pun menyapa. Sebab yang dibicarakan begitu jauh dari persoalan nyata.

Ketika hidup persekutuan begitu dingin walaupun gaduh. Seperti kerumunan orang banyak yang menunggu datangnya kereta. Cuma beradu badan, tapi tak bersentuh jiwa. Ketika pelayanan berlangsung rutin - kalau tidak ke panti asuhan ya rumah jompo; kalau tidak bagi-bagi pakaian bekas ya sembako. Dan ketika kesaksian kita semakin lirih tak terdengar, sebab memang tak ada pengalaman yang otentik dan nyata dari kehidupan pribadi yang pantas dibagikan.

Itulah yang terjadi, ketika gereja dan orang kristen adalah semuanya dan segalanya, tapi minus kuasa dan karunia Allah. Bila yang ilahi itulah yang sirna maka, o, tolong beri tahu saya, apa lagi yang tersisa? Kecuali rutinisme, formalisme dan verbalisme tadi. Ketika itulah gereja menabuh genderang kematiannya sendiri.

MENURUT McCracken, dua hal vital itulah yang, puji Tuhan. berhasil ditemukan dan dialami kembali. Berhasil diposisikan kembali ke tempatnya yang sentral dan vital. Maka inilah yang terjadi. Bagaikan ban yang kempis yang kini kembali diisi dengan udara, gereja-gereja menggeliat. Bagaikan tanaman yang menderita kekeringan cukup lama, kini bagaikan tersiram hujan semalam, gereja-gereja bangun. Bangkit. Dengan dinamika dan vitalitas yang baru.

Kebangkitan ini, menurut McCracken, terutama terjadi melalui gereja-gereja Pentakosta dan gerakan kharismatik Mereka amat berjasa dalam mengembalikan Tuhan ke pengalaman nyata dan sehari-hari manusia. Tuhan yang rutin dan formal, menjadi Tuhan yang hidup! Kuasa-Nya tidak lagi sekadar menjadi konsumsi khotbah atau diskusi ilmiah semata, tapi hadir secara kongkret dalam kehidupan sehari-hari manusia.

Itulah yang terjadi, ketika karunia nubuat, kuasa mujizat dan kesembuhan ilahi, dan sebagainya, memperoleh peran dan tempat yang mengemuka dalam kegiatan gereja. Iman diberi kebebasan mengekspresikan dirinya, dilepaskan dari belenggu rutinisme, verbalisme, dan formalisme, yang selama ini mengungkungnya. Spontanitas diberi kesempatan seluas-luasnya. Suasana menjadi hangat, hidup, dinamis! Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, kita dengan gerakan-gerakan itu, bukti-bukti obyektif dari "jasa" mereka ini, tak dapat kita sangkal.

Tapi apakah yang terjadi hanyalah "kisah sukses" melulu? Ternyata tidak! "Sukses" selalu bagaikan pedang bermata dua. Bisa menggairahkan orang semakin maju. Tapi juga dapat menjerat orang terperosok jatuh. Inilah dimensi yang harus selalu dicamkan dalam kehidupan, khususnya dalam kepemimpinan. Bahwa ada bahaya yang selalu mengintai, teristimewa di balik sukses. Inilah aspek berikut yang akan kita bicarakan.

Sumber: http://www.glorianet.org/ekadarmaputera/ekadsuks.html