Pendidikan Orang Bijak & Bajik

Oleh: Sefnat Hontong

Hari Kamis tanggal 2 Mei 2013 kemarin kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Dalam amatan saya, peringatan Hardiknas pada tahun 2013 ini agak ‘aneh’ nuansanya, jika dibandingkan dengan peringatan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya. Jika kita membaca berita media, beberapa ke-aneh-an itu bisa saya catat paling-tidak ada 4 (empat) hal, sbb:

1. Menjelang Hardiknas ada sebagian elemen masyarakat Indonesia yang menuntut agar Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nasional RI Muhamad Nuh mundur dari jabatannya, karena terindikasi tidak professional dalam memenej pelaksanaan Ujian Nasional (UN).

2. Mendekati perayaan Hardiknas ada banyak kritikan dan berbagai opini masyarakat yang menilai pelaksanaan UN sebagai sesuatu yang tidak ‘layak’ dan tidak membawa manfaat apa-apa bagi para siswa dan orang tua siswa, namun hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.



3. Pada pelaksanaan Hardiknas, ada berita mengenai penilaian yang menyedihkan atas dunia pendidikan kita di Indonesia, sebagaimana yang dilansir oleh salah satu televisi Qatar, AlJazeera, pada tanggal 26 Maret 2013 dalam salah satu reportase khusus “101 East”, yang menegaskan bahwa ternyata status pendidikan kita di Indonesia adalah yang terburuk di dunia (dikutip oleh: Siti Muyassarotul; Radar Halmahera, tanggal 2 Mei 2013).

4. Sementara itu, sehari pasca Hardiknas, pemerintah dhi Kementerian Pendidikan dan Kebudayan Nasional RI, melalui menterinya Muhamad Nuh, tetap bersikeras untuk merealisasikan Kurikulum tahun 2013 di tengah berbagai tanggapan, protes dan kritik masyarakat atas kebijakan itu.

Pertanyaan saya adalah apa yang sedang terjadi dengan sistem pendidikan kita sehingga di tengah perayaan Hardiknas justru muncul hal-hal yang ‘aneh’ seperti itu? Bukankah adalah hal yang sangat menyenangkan apabila di tengah-tengah hari perayaan seperti ini kita harus lebih banyak menikmati dan menyaksikan berbagai kemajuan, pertumbuhan dan perkembangan, dan bukan sebaliknya yang menyedihkan seperti itu (bandingkan dengan orang yang melakukan dan tidak melakukan perayaan HUT-nya)? Atau jangan-jangan ada hikmah dibalik semua yang ‘aneh’ itu! Saya berharap moga-moga begitu adanya.

Jika benar ada hikmah dibalik itu, maka pertanyaan selanjutnya adalah: hikmah apa itu? Mengutip Eric Jense, fakta ’aneh’ dalam dunia pendidikan kita seperti yang tergambar di atas disebabkan oleh satu hal saja, yakni: aplikasi sistem pendidikan nasional yang keliru (Radar Halmahera, tanggal 29 April 2013). Membahas pemikiran Eric Jense tersebut dalam konteks polemik dibalik UN, Zulkifri Anas menilai bahwa kekeliruan fatal dalam aplikasi sistem pendidikan nasional kita terletak pada 2 (dua) hal yang saling terkait satu dengan yang lain. Pertama, adanya karakter kamuflase (pengelabuan) standar minimum ketuntasan/kelulusan nara didik yang tidak seimbang dalam konteks kompetensi, sehingga orang umumnya (terutama guru) hanya memperhatikan aspek pengetahuan (kognitif) yang terkesan menghafal saja pada setiap pelaksanaan evaluasi pembelajaran. Kedua, belum adanya sebuah lembaga independen yang capability untuk memvaliditasi seluruh proses evaluasi pembelajaran dalam konteks kompetensi siswa, akibatnya kamuflase standar ketuntasan yang hanya berorientasi pada otak semakin meningkat. Belum lagi ditambah oleh kapasitas dan kapabilitas guru yang tidak kompeten dalam bidangnya (soal rekruitmennya), kurikulum yang tidak matang (cepat berubah-ubah), fasilitas yang kurang memadai, dan masih tingginya praktek korupsi di kementerian pendidikan, lebih menambah parahnya realitas dan kualitas pendidikan kita.

Nampaknya fakta dalam sistem pendidikan kita seperti tergambar di atas sedang membutuhkan ‘sesuatu’ yang dapat menolongnya agar bisa menjadi lebih baik. ‘Kata kunci’ untuk hal itu, menurut hemat saya, adalah mendesaknya sebuah desain sistem pendidikan yang menghasilkan tidak sekedar ‘orang bijak’, tetapi juga ‘orang bajik’. Dalam kamus umum bahasa Indonesia kata ‘bijak’ berarti: ‘pandai; mahir; selalu menggunakan akal budi’. Sedangkan kata ‘bajik’ berarti: ‘kebaikan; perbuatan baik; sesuatu yang mendatangkan kebaikan’. Dengan begitu, maka pernyataan saya ini mengandung arti: bahwa sistem pendidikan kita sedang membutuhkan sebuah desain yang tidak hanya menghasilkan orang yang pandai secara akal, namun juga pandai secara emosi dan perbuatan.

Pertanyaannya adalah bagaimana bisa mendesain sebuah sistem pendidikan yang menghasilkan sosok ‘orang-orang bijak & bajik’? Menurut hemat saya ketika desain itu memperhatikan 3 (tiga) hal sebagai berikut:

1. Adanya desain kurikulum yang utuh.
Artinya sebuah kurikulum yang disusun bukan sekedar sederetan daftar mata pelajaran yang menekankan pada aspek pengembangan pengetahuan saja, namun juga harus mengandung 2 (dua) aspek penting yang lain, yaitu aspek pengembangan spiritual dan pengembangan bakat atau ketrampilan yang relevan. Selama ini, kedua aspek yang saya sebut terakhir ini, memang sudah ada dalam kategori pembelajaran di sekolah-sekolah, yang umumnya disebut dengan istilah ekstra-kurikuler, yang pelaksanaannya dipisahkan atau dibedakan dari jam pelajaran. Dalam usulan saya ini kedua hal itu bukan lagi menjadi ekstra, namun betul-betul menjadi intra; masuk dan menjadi bagian yang utuh dalam bagan dan struktur sebuah desain kurikulum. Bukan itu saja, malah pelaksanaannya juga harus menjadi utuh dalam seluruh proses pembelajaran di sekolah.

2. Adanya perpaduan penilaian antara ketiga aspek tersebut secara merata.
Artinya standar kelulusan/ketuntasan nara didik jangan hanya diukur dan atau berorientasi pada aspek pengetahuan (otak) saja, namun juga harus mencakup 2 (dua) aspek lain tersebut. Dalam prakteknya format penilaian yang berlaku umum sekarang ini adalah membedakan aspek teori dan aspek praktek. Sedangkan aspek spiritual kadangkala dikeluhkan oleh sebagian guru, yaitu: belum adanya format yang baku mengenai penilaian itu. Seolah-olah ada kesulitan dalam hal memberi standar ketuntasan yang berkaitan dengan spiritual seorang nara didik. Padahal menurut hemat saya, untuk aspek spiritual ukurannya hanya ada dua (2) standar, yakni: baik atau buruk.

3. Pola rekriutmen yang memerhatikan secara serius kapasitas dan kapabilitas.
Memang soal ini adalah soal yang sangat kompleks di Negara kita ini. Hal mana sangat terkait mulai dari proses pembentukannya di sebuah lembaga pendidikan (terkesan asal jalan), proses kelulusannya (terkesan yang penting memperoleh gelar), pola rekruitmennya (penuh dengan praktek KKN), bahkan sampai pada pemahaman dan kesadaran filofosi sebagai seorang guru (terkesan hanya mencari gaji). Namun apabila kita sepakat untuk memperbaiki sistem pendidikan kita, maka tidak ada jalan lain, selain mempercayakan tugas dan panggilan guru kepada orang yang punya komitmen yang tinggi untuk menjadi seorang guru bukan gururu!

Situs penulis: http://sefnathontong.blogspot.com/