Memaknai Relasi Gereja dengan Sekolah

Penulis : Weinata Sairin

PENDIDIKAN adalah salah satu aspek yang sangat penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Sebagai sesuatu yang khas dan spesifik bagi manusia, pendidikan berperan amat signifikan dalam membekali manusia untuk menyongsong masa depan yang akan dijalani yang diwarnai dengan berbagai tantangan dan perubahan. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tanggal 11 Juni 2003, merumuskan bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan prestasi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara."

[block:views=similarterms-block_1]

Suatu program pendidikan yang tidak mampu membawa perubahan, baik dalam informasi, pengetahuan, keterampilan, maupun dalam sikap mental akan kehilangan maknanya yang hakiki dalam konteks upaya pencerdasan manusia.

Lembaga-lembaga keagamaan memiliki peran yang amat penting dalam pelayanan di bidang pendidikan. Kelahiran sekolah-sekolah Katolik akhir abad ke-19, sekolah-sekolah Muhammadiyah (tahun 1912), sekolah- sekolah Kristen (1920) dan lembaga pendidikan Maarif tahun 1929 adalah bukti nyata kepedulian lembaga keagamaan terhadap bidang pendidikan.

Sekolah-sekolah tersebut yang dibangun dengan menampilkan ciri khas dan identitas masing-masing, diakui banyak orang telah memberi kontribusi yang tidak kecil bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Dalam sambutan pada acara Pembukaan Munas VII Musyawarah Perguruan Swasta tanggal 15 Juli 1996, Prof Dr Wardiman Djojonegoro (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) menyatakan bahwa sepanjang sejarahnya sekolah-sekolah swasta telah membuktikan kelebihannya dalam hal kemandirian pengelolaan sekolah dan kebebasan mengembangkan ciri khasnya.

Kreatif

Dengan kemandirian itu, pimpinan dan pengelola sekolah-sekolah swasta dituntut untuk selalu kreatif dan inovatif dalam meningkatkan penampilan sekolah. Sehubungan dengan ciri khas, Wardiman menyatakan, "Selama ini ciri khas meliputi ciri khas yang berkaitan dengan agama, kebudayaan, kebangsaan dan lain-lain. Pada era selanjutnya dituntut untuk lebih memperluas cici-ciri khas ini selaras dengan tuntutan zaman. Sebagai ilustrasi misalnya, sekolah-sekolah swasta yang mempunyai ciri khas keagamaan hendaknya dapat berfungsi maksimal dalam mengembangkan nilai-nilai agama yang menunjang era industrialisasi."

Senada dengan itu, Indrajati Sidi dalam kapasitasnya sebagai Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas pada pembukaan penataran pembina sekolah swasta tanggal 27 Juli 1998 di Jakarta menyatakan, pengembangan sekolah swasta di era keterbukaan dan globalisasi dihadapkan pada tuntutan mutu dan layanan yang sangat terkait dengan visi dan misi yang harus dikembangkan.

Visi pendidikan pada perguruan swasta antara lain mencakup: (1) menumbuhkan komitmen serta mampu memotivasi perguruan swasta untuk mengembangkan dirinya; (2) membuat kehidupan perguruan swasta lebih bermakna dan terarah; (3) menimbulkan standarisasi operasional pendidian perguruan swasta yang prima dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat; (4) meningkatkan mutu perguruan swasta untuk tetap mampu berdaya saing; (5) mampu menjembatani masa kini dan masa depan.

Sedangkan misi sekolah swasta pada dasarnya tidak profit oriented, mencakup empat aspek (catur citra): (1) kemandirian; (2) mutu; (3) ciri khas; dan (4) tanggung jawab sosial. Tentang ciri khas, sekolah swasta merupakan daya tarik tersendiri bagi masyarakat pengguna jasa pendidikan. Ciri khas tersebut dimaksudkan untuk menampung aspirasi masyarakat yang berbeda-beda.

Sekolah-sekolah swasta di zaman pra-kemerdekaan tidak dapat disangkal telah ikut berperan dalam menggelorakan semangat kemerdekaan bagi para peserta didik, sehingga melalui sekolah- sekolah swasta itu juga kehendak rakyat untuk mencapai kemerdekaan ikut terdorong.

Pemahaman wawasan kebangsaan serta penyadaran tentang pentingnya makna kemerdekaan bagi suatu bangsa telah menjadi agenda pokok dalam perguruan-perguruan swasta di zaman pra kemerdekaan, walaupun latar belakang, identitas dan ciri khas perguruan tersebut beraneka ragam.

Wahana Strategis

Gereja-gereja di Indonesia telah sejak lama memahami bahwa Sekolah- sekolah Kristen (baca: lembaga pendidikan Kristen) adalah wahana yang paling strategis tidak saja dalam konteks pencerdasan kehidupan bangsa, tetapi juga dalam memperkenalkan membagikan serta mentransfer nilai-nilai kristiani kepada para peserta didik.

Sekolah-sekolah merupakan ujung tombak tatkala gereja dan komunitas Kristen berinteraksi denagn masyarakat luas.

Sekolah-sekolah Kristen sepanjang sejarahnya telah turut membentuk pola pikir, wawasan, sikap perilaku para peserta didik, sehingga ketika mereka telah menjadi pemimpin dalam suatu organisasi atau komunitas, wawasan dan kebijakan mereka amat dipengaruhi oleh proses pendidikan yang telah mereka alami di sekolah-sekolah Kristen tersebut.

Dalam konteks itu, di masa depan hubungan Gereja dengan sekolah harus terus menerus dipelihara, dibina dan dikembangkan. Gereja tidak boleh apatis dan membiarkan sekolah berjalan sendiri, lepas dari visi dan misi yang diemban oleh gereja sebagai persekutuan yang diberi mandat oleh Tuhan untuk mewujudkan Syaloom di kekinian zaman.

Memantau

Manajemen sekolah proses belajar-mengajar, sarana dan prasaran, pengorganisasian, kesejahteraan guru dan pegawai non-kependidikan, tak dapat tidak mesti menjadi perhatian serius dari gereja agar iklim kondusif bagi upaya pencerdasan dapat ter- wujud secara optimal di sekolah.

Gereja juga harus terus-menerus memantau agar sekolah Kristen tidak terpenjara pada kekristenan simbolik, kekristenan ornamental.

Artinya, sebuah kekristenan yang hanya dipresentasi melalui pengadaan kebaktian dan doa, pada hiasan-hiasan ayat Alkitab yang terpampang di dinding; tapi kekristenan yang menjadi norma, standar, roh dari kehidupan dalam sekolah tersebut.

Dan, hal itulah yang harus menjadi agenda gereja dan sekolah di masa depan. Penyiapan para pemimpin bangsa, pemimpin umat tak bisa tidak harus menjadi bagian dari agenda sekolah-sekolah kita itu berarti mutu sekolah akan memegang peranan penting.

Di tengah era kompetisi dan liberalisasi sekarang ini, tatkala mutu menjadi andalan utama, masyarakat tidak akan mempersoalkan lembaga mana yang menjadi penyelenggara sebuah lembaga pendidikan. Masyarakat akan berduyun-duyun memasuki sekolah-sekolah bermutu, tanpa mempersoalkan siapa penyelenggara.

Memang pergumulan ke depan adalah bagaimana sebuah sekolah yangbermutu tetap mampu menjangkau masyarakat yang lemah ekonominya. Gereja dan sekolah dapat bersama-sama memecahkan masalah ini dengan mengembangkan pola subsidi silang atau beasiswa, misalnya sehingga peran sekolah sebagai wahana pencerdasan dan penumbuhan nilai-nilai Kristiani tetap terwujud.

Bermutu

Sekolah-sekolah BPK Penabur telah mengukir karya terbaik bagi masyarakat luas selama kurun waktu 55 tahun milik GKI Jabar. Prestasi yang diraih selama ini oleh BPK Penabur telah membuktikan bahwa sebuah sekolah yang dikelola oleh Gereja adalah sekolah yang bermutu, andal, terpercaya dan menjadi kebanggaan masyarakat luas.

Demikian juga halnya prestasi yang dicapai Yayasan IPEKA dari Gereja Kristus Yesus (GKY) dalam usia 25 tahun amat menonjol. Banyak gereja di Indonesia yang concern terhadap dunia pendidikan demi pencerdasan kehidupan bangsa.

Beberapa dapat disebut: BPPK-GKP, YAPENDIK- GPIB, DPP HKBP, YP GMI, Yayasan Pendidikan Kalam Kudus, dan sebagainya.

Concern gereja-gereja terhadap upaya pencerdasan bangsa merupakan sebuah komitmen teologis yang perlu terus-menerus diwujudkan di ruang sejarah.

Sumber: Suara Pembaruan Daily