Baik dan Buruk

Oleh: Sefnat Hontong


Saudara-saudara, pasti masih ingat inisial JK, alias Jusup Kala, seorang mantan wakil presiden RI periode pertama SBY. Dia sering berkata, setiap orang selalu ingin pekerjaannya baik, rencana hidupnya berjalan baik, hubungannya dengan orang lain terjalin baik, rumahnya tetap baik, pendapatannya baik, pacarnya baik, orang tuanya baik, anaknya baik, dll baik-baik saja.



Artinya apa? artinya tidak ada orang yang ingin sesuatu yang buruk terjadi dalam hidupnya, selain kalau orang itu so laef (pikun). Contoh, ada seorang bapa yang so laef (pikun) lama. Ia sangat suka berjalan kaki baik siang atau malam, baik panas atau hujan. Suatu waktu ada seorang ibu, ingin menawarkan jasa baiknya kepada bapa yang so laef ini. Kebetulan ibu ini punya mobil. Ia berkata kepada bapa itu: “om mari sudah nae oto (naik mobil) kebetulan saya juga mau menuju ke sana”. Lalu bapa itu berkata: “oh ibu tara usah sudah (tidak perlu), kamuka sudah (duluan saja), soalnya kita mo bacapat (saya mau mengejar), jadi bajalang (berjalan kaki) saja, he…he…..he….”.

Memang berjalan kaki belum tentu buruk, malah bisa lebih sehat. Tetapi dari sudut waktu ‘kan lebih baik naik mobil ketimbang berjalan kaki. Artinya: yang baik itu selalu menjadi pilihan dari setiap orang dalam hidupnya.

Namun, coba kita perhatikan bahan-bahan cerita kita di setiap hari. Atau membaca Koran dan bulletin, atau menonton TV; Atau apa yang selalu kita cari dan yang selalu kita ceritakan ulang? Pasti adalah sesuatu yang tidak baik, alias buruk. Misalnya: kasus Akil Mochtar, kasus Ratu Atut, kasus Anas Urbaningrum, SBY yang tidak toleran, teroris yang tertangkap, KPK menangkap pejabat korup, om itu pangmabo, tante itu cerewet, anak itu narkoba, pemuda itu malas, mahasiswa itu bodoh, dosen ini tidak bertanggung jawab, polisi ini sewenang-wenang, majelis gereja itu tidak melayani, warga jemaat ini kapala batu, dll. Yang babagini ini (begini ini) yang ada di ruang kehidupan kita. Di ruang hidup, yang pada satu segi selalu mengingini dan mengharapkan yang berbeda dengan hal-hal itu.

Kita mengingin tidak ada korupsi, namun yang suka kita ceritakan adalah kasus korupsi. Kita ingin agar ada toleransi dalam hidup beragama, namun yang suka kita kisahkan adalah praktek-praktek anti toleransi. Kita ingin gereja utuh, namun yang suka kita sejarahkan adalah bibit-bibit perpecahan. Kita ingin orang tidak mabuk, namun yang suka kita historikan adalah alkoholisme. Kita ingin Rumah tangga yang harmonis, namun yang suka kita tularkan adalah kisah-kisah kekerasan Rumah tangga orang lain. Kita mengharapkan anak-anak menjadi baik, namun yang suka kita keluhkan adalah anak yang bandel. Kita mengharapkan jemaat bisa bertumbuh, namun yang suka kita perdebatkan adalah soal-soal kemundurannya. Intinya kita mengharapkan yang baik, namun yang suka kita bahas justru adalah hal yang buruk-buruk.

Apakah hal semacam itu adalah keliru? Saya kira tidak keliru, karena dengan berbuat itu kita bisa mendeteksi kelemahan dan kesalahan kita untuk diperbaiki supaya menjadi baik. Namun akan menjadi keliru, ketika kita tidak pernah lagi suka membahas, membangun cerita, membangun kisah, mencatat narasi tentang sesuatu yang baik dalam hidup kita, dan hanya melulu membahas yang buruk-buruk. Karena jika kita suka membahas yang buruk-buruk atau yang buruk-buruk selalu menjadi yang utama, maka sikon itu akan membentuk kita untuk terlena pada keluhan-keluhan dan tidak mempunyai pilihan lagi untuk membangun harapan baru.

Kisah hidup orang yang suka membahas dan mencatat atau melihat sesuatu yang baik, sekalipun ia sedang menghadapi sikon hidup yang buruk bisa kita lihat dalam diri pemazmur 139 tadi. Jika kita mendalami ayat 19 – 24 (yang belum sempat kita baca), ada Empat hal yang sedang digumuli oleh sang pemazmur, al:
1. Ayat 19-20; Ia sedang bertanya kepada Tuhan: Tuhan, bisakah Engkau membinasakan orang-orang fasik, para penumpah darah, yang selalu berkata dusta dan melawan engkau? Supaya mereka menjauh dari hidupku?
2. Ayat 21, apakah bisa aku membenci orang-orang yang membenci Engkau atau merasa jemu dengan orang-orang yang melawan Engkau?
3. Ayat 22-23; aku sungguh-sungguh membenci mereka. Namun demikian, semua ini kuserahkan padamu. Ujilah hatiku dan pikiranku.
4. Ayat 24: Jika sikap, hatiku dan pikiranku yang membenci itu keliru, tuntunlah aku ke jalan yang benar.

Aspek yang paling menarik di sini ialah: sekalipun ia sedang menghadapi suatu sikon hidup yang buruk, yakni: ada sekian banyak orang fasik, para penumpah darah, dan para pendusta yang selalu mengganggu hidupnya, dan ia secara jujur katakan kepada Tuhan bahwa ia sungguh-sungguh membenci mereka semua, namun akhirnya ia meminta Tuhan untuk menilainya; jika sikapnya ini keliru, ia memohon agar Tuhan menuntun kembali jalan hidupnya agar tidak serong atau tidak salah jalan.

Saya memberi kesimpulan bahwa sikap sang pemazmur ini bisa dibilang tidak terlena dan jatuh pada logika permasalahan, namun memilih untuk mengikuti logika jalan keluar/solusi. Artinya apa: artinya sang pemazmur ketika sedang menghadapi sikon hidup yang buruk, ia tidak terlena dengan segala yang buruk-buruk itu, lalu jatuh dalam putus asa mempersalahkan mereka dan tenggelam dalam keluhan semata-mata, namun bercakap-cakap dengan Tuhan meminta jalan keluar dari Tuhan. Jarang ada orang yang begini, dan kita nampaknya harus belajar kepada orang ini, ketika menghadapi berbagai permasalahan atau sikon hidup buruk dalam hidup kita.

Nah, mari kita bertanya kepada sang pemazmur , apa kira-kira gambarannya tentang Tuhan atau apa konsepnya tentang Tuhan sehingga ia mau berdialog mempertanyakan sikapnya itu kepada Tuhan. Dari sekian banyak penegasan sang pemazmur mulai ayat 1-18; sebagaimana yang telah kita baca tadi, menurut hemat saya hanya satu hal yang ia tegaskan sebagai wujud keyakinannya tentang Tuhan, yakni Tuhan yang ia sembah adalah Tuhan yang mengenal hidupnya secara total.
Ayat 1, dst…………………

Pertanyaan saya kepada ibu, bapa dan saudara-saudara adalah: bagaimana kita bisa bisa mengenal pribadi seseorang secara total? Tidak ada cara lain, selain dengan cara kita menjadi bagian dari kehidupan orang itu.

Saya bisa saja bilang, atau bahkan ibu dan bapak warga jemaat pasti bisa bilang torang (kita) samua mengenal pa’ SBY. Jika ada orang bertanya: eh…. kanal (mengenal) pak SBY? Kita semua pasti berkata: ya, saya kenal. Tetapi pengenalan saya, pengenalan kita semua, terhadap pa’ SBY tentu tidak secara total.

Kita hanya mengenal sebagian saja dari beliau (paling-paling hanya luarnya saja). Gambaran yang total (baik luar dan dalam) tentang siapa pa’ SBY, hanya isteri dan anak-anaknya yang tahu. Artinya, kita hanya bisa mengenal seseorang secara total apabila kita sungguh-sungguh menjadi bagian dari orang itu.

Nah, Tuhan yang digambarkan oleh sang pemazmur adalah Tuhan yang mengenal secara total hidup kita. Pertanyaannya dari mana Tuhan tahu secara total hidup kita?

Tidak dari mana-mana, hanya karena Ia mau menjadi bagian dari hidup kita, sekalipun seringkali kita hendak menolak atau melupakannya. Inilah Tuhan kita, begitu setia mau menjadi bagian dari hidup kita. Malah menurut ayat 4; sebelum kita berkatapun, Ia sudah tahu apa yang hendak kita katakan, karena ia adalah bagian dari hidup kita.

Kita selalu dijadikan oleh Tuhan tidak lengkap jika tanpa diriNya. Jadi, sebenarnya hari-hari hidup yang kita jalani ini adalah hari-hari kehidupan Tuhan di dalam diri kita. Dia tahu kelemahan kita, Dia tahu kekurangan kita, tetapi Dia juga tahu kelebihan dan kekuatan kita. Oleh karena itu, selalu tersedia kepada kita saat yang tepat untuk membaharui diri dan hidup kita, apabila ada permasalahan dan persoalan yang kita hadapi. Permasalahan dan persoalan bukan akhir dari segalanya, tetapi awal dari kita menghitung-hitung kekuatan dan kelebihan yang ada pada kita untuk bangkit dan menjalani kehidupan baru.

Oleh karena itu, marilah kita jalani hidup kita ini, apapun sikonnya, termasuk juga sikon yang buruk, dengan hati yang teguh dan langkah yang mantap, karena kita mempunyai Tuhan yang mengenal secara total bentuk kehidupan kita. Ia tahu kelemahan yang ada dalam diri kita masing-masing, karena itu pasti ia tidak menuntut sesuatu yang melebihi kemampuan kita.

Jika ada persoalan dan hal-hal buruk yang kita hadapi, ingat bahwa kita mempunyai kemampuan dan kelebihan untuk keluar dari berbagai persoalan itu sebagaimana yang telah anugerahkan kepada kita untuk digunakan dalam hidup ini. Jangan terlena dengan persoalan dan hal-hal yang buruk, namun carilah solusi untuk menghadapinya. Inilah berita baik yang harus terus kita ceritakan ulang dalam kehidupan yang banyak diwarnai oleh hal-hal yang buruk.

Sumber: pribadi
Situs Anda: sefrnathontong.blogspot.com