Agama dan Mati Hidup Manusia

SAYA berada di Tokyo untuk mengikuti 19th World Congress of the International Association for the History of Religions, yang diikuti 1.700 pakar ilmu perbandingan agama dari seluruh dunia. Tema kongres adalah "Agama; Konflik dan Perdamaian".

[block:views=similarterms-block_1]

Panitia mengundang enam pembicara dari Indonesia, di antaranya Prof Alef Theria Wasim dari Yogyakarta yang menjadi salah satu anggota Komisi Program. Dari Aceh, Prof Zulkarnaini Abdullah menyampaikan makalah Religion amidst the Catastrophe; Rescue and Activities in Banda Aceh.

Simposium pertama hari Kamis bertema "Religious and Dialogue among Civilizations".

Prof Dr Hans JA van Ginkel dari United Nations University Tokyo, Prof Maria Luchetti Bingemer dari Brasil, Prof Yoshiko Oda dari Kansai University, dan Prof Tu Wei-ming, Confucianis dari Harvard University, tampil selaku panelis.

Sidang pleno kedua pada Jumat pagi, 25 Maret, bertopik "Religious Dimension of War and Peace". Penulis buku Terror in the Mind of God, Prof Mark Juergensmeyer dari UCLA Santa Barbara, tampil sebagai pemakalah dengan dua pembahas, Prof Gerrie ter Haar dari Institute of Social Studies di The Hague Netherland dan Profesor Manabu Watanabe dari Nanzai University Nagoya, Jepang. Moderatornya, Prof Rosalind Hackett dari University of Tennessee, yang juga akan menjadi moderator dari simposium tentang "Proselytization".

Sidang pleno ketiga, Sabtu pagi, menampilkan Prof Ibrahim Moosa yang berasal dari Afrika Selatan dan sekarang berkarya di Duke University di North Carolina AS. Prof William Lafleur dari Pennsylvania University dan Prof Haruko Okano menjadi pembahas makalah berjudul Technology, Life and Death.

Kongres masih akan berlangsung hingga Rabu petang, tetapi saya hari Senin sudah akan menuju Nagoya untuk meninjau Aichi Expo 2005. Kongres ke-19 IAHR itu tentu tidak bisa melepaskan diri dari kondisi politik aktual seperti demokrasi dan juga pro dan kontra euthanasia yang menimpa Terri Schiavo di AS tidak luput dari pembahasan.

Ketika membahas Moosa, Lafleur menyatakan, sudah tiba waktunya manusia mengakui dan menyerah kepada fakta bahwa kematian tidak terhindarkan. Menurut Lafleur, arogansi manusia untuk menciptakan manusia sempurna dengan teori eugenic sudah menghasilkan monster fasisme dan holocaust Nazi Jerman. Karena itu, kalau sekarang ini manusia takut mati dan tidak mau mati dengan berusaha menciptakan segala macam peralatan teknologi, atau membuat manusia seperti robot, itu adalah bertentangan dengan kodrat yang lebih baik dilupakan.

Memang jika manusia mengalami dilema seperti kasus Schiavo, maka pilihan antara euthanasia dengan tetap pasif membiarkan manusia hidup dalam kondisi vegetatif, memang sangat berat. Mantan Menlu Singapore S Rajaratnam sudah lama menyatakan sebagai surat wasiat, bahwa jika sudah tiba waktunya ia harus meninggal dan melalui kondisi koma, ia tidak mau dirawat menjadi vegetatif, lebih baik memakai cara euthanasia saja.

Masalah Terri Schiavo menjadi sulit karena pasien itu memang dari awal sudah tidak normal, tidak sadar, dan kondisi mental terbelakang. Sedang orang intelektual seperti Rajaratnam masih mempunyai kesadaran untuk memilih euthanasia jika kondisi fisik biologisnya memang darurat. Jadi, masalah surat wasiat yang dipilih oleh pasien secara langsung barangkali tidak ada masalah.

Kisah Schiavo menjadi heboh karena suaminya menginginkan proses euthanasia, sedang orangtuanya ingin tetap mempertahankan kondisi vegetatif yang sebetulnya juga memilukan.

Barangkali dilema euthanasia itu harus diterapkan juga dalam perang melawan terorisme. Apakah dunia akan membiarkan teroris merajalela dan mempunyai peluang mempergunakan nuklir menghancurkan dunia? Atau dilakukan upaya preventif dan preemptive untuk memukul lebih dulu calon teroris yang bisa melakukan bunuh diri massal secara global? Kalau manusia normal menunggu dan memberi kesempatan teroris model Mohamad Atta mempergunakan nuklir, maka pencegahan akan terlambat bila nuklir itu sudah diledakkan.

Dari diskusi terungkap, tuntutan politik Atta dan Osama bin Laden adalah religiusasi politik atau politik yang diagamakan, sehingga mencari pembenaran untuk pembantaian lawan politik, termasuk rakyat yang tidak berdosa.

Politisasi agama dan pembajakan Tuhan dalam gerakan terorisme mengakibatkan agama menjadi alat politik dan alat teroris yang malah melenyapkan sama sekali faktor perdamaian dari konotasi agama. Ada juga peserta dari Malaysia yang menuntut agar kongres mengeluarkan resolusi mengecam serangan AS ke Irak. Tentu saja agitasi itu kurang bergema dan tidak ditanggapi, sebab para pakar agama itu justru sedang tergugah untuk memikirkan betapa dunia dan agama menjadi tidak ramah setelah 911 (Peristiwa Teror 11 September, Red).

Seorang biku (biksu) mempertanyakan kenapa Taliban menghancurkan patung Buddha di Bamian dan sama sekali tidak toleran kepada agama lain. Ada juga yang menanyakan kenapa di Teheran ada orang berjualan gambar atau foto Nabi Muhammad, tapi tidak ditangkap dan dilarang. Kalau rezim diktator di Timur Tengah membantai ribuan rakyatnya sendiri, kenapa tidak ada perlawanan dan pengutukan?

Tampak ada "kerelaan" untuk membiarkan pembantaian oleh sesama bangsa penguasa. Yang dipersoalkan adalah siapa yang membantai. Kalau diktator bangsa sendiri, ya sudah, itu dianggap nasib dan kehendak takdir Allah. Kalau bangsa lain yang membasmi diktator, ya harus menimbulkan perlawanan hanya atas dasar perbedaan kebangsaan. Tetapi, solidaritas umat dalam soal Taliban dan Irak memang masih begitu dominan untuk menciptakan kejernihan berpikir, apakah perang agama model Osama harus terus dipuja dan dipopulerkan.

Itulah pertanyaan yang muncul di balik para peserta yang mewakili seluruh agama yang ada di dunia. Kalau Perang Salib abad ke-10 dibawa ke abad ke-20 dengan senjata nuklir, maka akan terjadi risiko bunuh diri global.

Sebetulnya, secara paralel ancaman nuklir tidak hanya datang dari dunia Timur Tengah, tetapi bisa juga datang dari Kim Jong-il. Jepang sangat cemas dengan nuklir Korea Utara. Jadi, dari segi itu, pengelompokan Korea Utara ke dalam axis of evil oleh George Bush memang secara nyata mengungkap bahwa hawa nafsu terorisme bukan hanya monopoli Osama bin Laden, tetapi juga despot model Kim Jong- il.

Menghadapi teroris model Osama dan Kim Jong-il, kalau dunia masih memakai paradigma lama, menunggu bukti dulu baru ditindak, maka pada saat itu sudah terlambat. Sebab, manusia dan dunia sudah hancur oleh nuklir yang diledakkan tanpa kalkulasi kemanusiaan, melainkan sudah nekat model kiamat akhir zaman. Namun, tampaknya dunia lebih cenderung untuk bersimpati kepada kekuatan yang seolah mewakili rakyat tertindas dan miskin, dan dengan dalih hak asasi dan kedaulatan nasional, menolak intervensi dan aksi preventif model George Bush.

Menurut saya, yang kurang diperhitungkan oleh para pendukung kiamat terorisme, ialah kebesaran Tuhan yang pasti tidak akan rela dunia yang secara geofisika sudah berumur miliaran tahun dan masih punya prospek survive miliaran tahun lagi. Tuhan yang sejati pasti akan mempunyai metodologi tersendiri untuk memunahkan dan memusnahkan manusia yang berlagak mewakili Tuhan, ingin menghukum manusia lain melalui 911 nuklir dan euthanasia massal global. Kiamat menurut saya adalah terlalu serius untuk dipasrahkan hanya pada Osama bin Laden dan pendukungnya.

Sumber: Suara Pembaruan